Find Us On Social Media :

Cokelat Indonesia Bukan Cokelat yang Real, Benarkah Kita Selama Ini Telah Tertipu?

By Ade Sulaeman, Jumat, 3 Maret 2017 | 17:00 WIB

Cokelat Indonesia Bukan Cokelat yang Real

Intisari-Online.com - Di Indonesia, baik di toko-toko kecil ataupun pasar swalayan, kita mudah menemukan cokelat yang biasanya dijual dalam bentuk batangan. Ternyata cokelat-cokelat tersebut ‘hanya’ compound chocolate, bukan real chocolate.

(Resep Sarapan Sehat: Kue Cokelat untuk Tingkatkan Fungsi Kognitif Otak)

Apakah istilah “real” dan “compound” (campuran) membuat Anda merasa tertipu? Sebaiknya buang dulu pikiran tersebut. Keduanya tidak seperti istilah “original” dan “KW” dari produk-produk fashion atau elektronik ternama. Hanya para chocolatier (chef dalam pengolahan cokelat) saja yang sering menggunakan kedua istilah tersebut.

Istilah compound chocolate dan real chocolate dimulai dari ramuan cokelat yang akan diolah. Beberapa bahan dasar pembuatan cokelat seperti cocoa mass, cocoa butter, gula, susu serta pengemulsi akan membentuk jenis-jenis cokelat. Mulai dari dark chocolate (campuran cocoa mass dan cocoa butter), milk chocolate (cocoa mass dan milk), hingga white chocolate (cocoa butter dan susu).

(Tak Hanya Menyehatkan Jantung dan Mengurangi Depresi, Cokelat Juga Berkhasiat Menyebuhkan Kaki Pegal)

Nah, salah satu bahan tambahan lainnya adalah lemak. Kakao, si bahan dasar cokelat, sebenarnya sudah menghasilkan lemak yang disebut cocoa fat (lemak cokelat). Namun, terkadang dalam pengolahan cokelat, lemak tersebut diganti dengan lemak nabati yang lain semisal minyak kelapa sawit. Perbedaan lemak yang digunakan inilah yang membedakan real chocolate (menggunakan lemak kakao) dengan compound chocolate (menggunakan lemak non-kakao).

Cokelat yang dihasilkan pun akan berbeda. Salah satu perbedaan, sekaligus cara paling mudah untuk membedakannya adalah mudah atau tidaknya cokelat tersebut untuk meleleh. Dalam suhu yang sama, real chocolate cenderung jauh lebih mudah meleleh dibandingkan dengan compound chocolate. Ada juga beberapa perbedaan lainnya, namun, menurut Christina Erawati, principal dari Chocolate School by Tulip, akan sedikit sulit untuk diketahui oleh ‘orang awam’. Misalnya dalam membedakan aroma, rasa, atau warnanya.

Karena persoalan meleleh tadi mendorong para produsen cokelat di Indonesia memilih compound chocolate sebagai produk penjualannya. Walaupun untuk para penikmat cokelat, real chocolate memiliki rasa yang lebih enak, sifatnya yang mudah leleh membuatnya sulit untuk dipasarkan di negara-negara yang beriklim tropis.

Bisa dibayangkan bagaimana real chocolate yang mudah meleleh harus dijual di wilayah beriklim tropis seperti Indonesia. Cokelat yang sudah sedemikian rupa dibentuk, walau hanya berupa batang, akan mudah meleleh dan tentu saja jadi tidak menarik lagi.