Find Us On Social Media :

(Semoga) Karinding Bikin Politisi Merinding

By Agus Surono, Selasa, 21 Februari 2012 | 18:03 WIB

(Semoga) Karinding Bikin Politisi Merinding

Intisari-Online.com - Penampilan mereka di panggung layaknya anak-anak band ber-genre metal dan punk; t-shirt, celana pendek, jeans, dan sepatu kets. Cuma, sang vokalis saja yang agak beda, yakni bercelana komprang dengan totopong (ikat kepala khas Sunda) di kepala. Begitulah gaya dari grup Karat.Karat tak sekadar nama karena ia merupakan kependekan dari “karinding attack”. Yang unik dari kelompok ini adalah lagu-lagu yang dibawakan khas anak muda, namun ada sentuhan karinding, alat musik tradisional Sunda yang hampir punah.Dari mana anak muda ini mau membawa-bawa alat musik yang berkesan kuno ini? Semua berawal saat mereka bertemu dengan Abah Olot, maestro karinding asal Parakan Muncang, Sumedang, Jawa Barat. Dalam acara yang diadakan Komunitas Metal Ujung Berung Rebels, Bandung pada penghujung 2008 itu, beberapa anggota komunitas tertarik dan memutuskan untuk mempelajari karinding secara serius. Minat mereka makin menjadi-jadi setelah tahu karinding telah punah.

Latihan dilakukan secara intens pada setiap Jumat malam di bawah pengawasan Mang Engkus dan Mang Utun, keduanya murid Abah Olot. Dari hanya bermain papalidan berlanjut terus hingga mempelajari pirigan (pakem-pakem) permainan karinding tradisional. Hingga pada suatu fase, mereka akhirnya mencoba menggabungkan pirigan lawas dengan musik ber-genre metal dan punk. Tentu saja setelah mendapat restu dari Abah Alot. Pada 12 Maret 2009 lahirlah Karinding Attack yang diniatkan untuk mengeksplorasi sekaligus melestarikan alat musik tradisional Sunda itu. 

Kolaborasi berbagai aliran 

Percampuran beat karinding yang kontemplatif dengan musik punk dan metal yang keras menjadikan Karat sebagai band berkarakter khas. Apresiasi masyarakat Bandung atas musik mereka pun cukup baik. Paling tidak, ada sejumlah anak muda yang antusias dan kepingin ikutan mempelajari. 

Tujuan ganda yang diusung Karat sejak awal tampaknya berjalan selaras. Eksplorasi terus dilakukan dengan jalan berkolaborasi dengan banyak band yang berasal dari beragam aliran, mulai dari jazz, pop hingga beat box. Kolaborasi ini memperkaya musik mereka, sekaligus memperluas khalayak yang dapat menikmatinya. 

Meluasnya penikmat musik Karat juga mendongkrak tujuan lain, yakni memperkenalkan karinding ke masyarakat kota Bandung. Dari sinilah para personel Karat memberanikan diri membuka kelas karinding untuk umum dan gratis. Kelas yang diadakan di Common Room setiap Rabu dan Jumat malam ini kini sudah meluas sampai ke sekolah-sekolah dan karang taruna. Upaya mereka berbuah manis: sudah ada delapan band yang ikut ber-karinding-ria di panggung.

Bagi Karat, bermusik bukan hanya menghasilkan karya yang bagus untuk dinikmati oleh masyarakat, namun juga aktif melestarikannya. Tidak cukup hanya dengan mempelajarinya dan memainkam karinding sebagai benda antik, tapi harus terus diekplorasi sesuai zamannya sehingga akan lebih mudah diterima oleh publik.

Setelah dua tahun bertahan memainkan alat musik tradisional, Karat mencoba membuat album perdana yang akan rencananya akan diluncurkan Februari 2012. Album 18 lagu itu mengangkat tema sosial dan keseharian masyarakat. Mimpi mereka adalah membawa karinding ke pentas nasional melalui pintu Jakarta. 

Simak salah satu lirik dalam lagu Karat menegur para politisi yang haus akan kekuasaan melalui lagu: “Maaf, Kami Tidak Tertarik Dengan Politik Kekuasaan”. Ditingkahi suara-suara mistis karinding, mudah-mudahan mampu membuat para politisi itu merinding. 

Tiga filosofi   

Menurut para personel Karat, karinding tak sekadar alat musik tradisional namun memiliki tiga nilai filosofi di dalamnya, yakni “yakin-sabar-sadar”.

“Yakin” bermakna: harus yakin dengan alat musik yang dimainkan serta percaya bahwa alat yang akan dimainkan akan berfungsi dengan baik sehingga akan berguna bagi masyarakat luas.

Pemain juga harus melatih “kesabaran” diri. Apa pun yang dihasilkan, pemain harus sabar. Jika pertama kali dimainkan ternyata suara yang dihasilkan tidak baik, maka pemain harus terus-menerus mencoba hingga berhasil mengeluarkan suara yang baik dan lantang.

Saat bunyinya sudah bagus, pemain harus “menyadari” bahwa bunyi itu bersumber dari Tuhan. Di sini pemain tidak sekadar memainkannya, melainkan mengangkat nilai-nilai kehidupan di balik alat musik itu.

Mau mendengar suara karinding? Klik video di bawah ini.