Penulis
Intisari-Online.com - Pertanian saat ini masih menjadi pilarpemenuhan pangan masyarakat Indonesia. Namun tantangan pemenuhan pangan inisangat besar. Misalnya saja penyempitan lahan pertanian akibat konversi lahan, perubahanRTRW, degradasi kualitas lahan akibat pengelola monokultur, serta mekanisasi dengan penggunaan bahan kimia pertanian yang merusak ekosistem.Perubahan iklim pun turut menyumbang terjadinya anomali cuaca ekstrim. Akibatnya timbulbanjir ataupun kekeringan dan ancaman hama penyakittanaman. Laporan Intergovermental Panel onClimate Change (IPCC) yang berjudul "Mitigation of Climate Change" memastikan bahwaaktivitas manusia merupakan penyebab perubahan iklim (IPPC, 2007).Berdasarkan data IPCC, antara tahun 1970 hingga 2004, di Indonesia telahterjadi kenaikan suhu rata-rata tahunan antara 0,2 - 1 derajat Celcius. Halini akan berdampak pada terjadinya kenaikan muka air laut, penurunanproduksi pangan, kerusakan pesisir akibat banjir, dan badai. Diperkirakan,dengan kenaikan muka air laut 50 cm di Pulau Jawa, produksi padi akan berkurang sebesar 1,2 juta ton/tahun (total produksi 2006 adalah 54,6 juta ton).Indonesia sebenarnya memiliki potensi untuk berkelit dari ancaman-ancaman tadi. Lebih dari 800 spesies tumbuhan, 77 jenis karbohidrat, 75 jenislemak/minyak, 26 kacang-kacangan, dan 389 buah ditemukan di Indonesia.Masyarakat Indonesia memiliki berbagai sumber karbohidrat, seperti sagu, talas, dan ubi (Papua dan Maluku), umbi-umbian (Papua dan Jawa), gebang, sorghum/cantel (NTT), sukun, dan lain sebagainya. Demikian juga sumberkacang-kacangan, buah, dan sayuran lokal yang melimpah.Hanya saja, politik pangan Pemerintah yang mengalihkan sumber pangan karbohidrat pada beras menyebabkan angkat ketergantungan beras sebagai makanan pokok mencapai 100%. Hanya wilayah Maluku dan Papua saja yang ketergantungan pada beras masih di bawah angkat 100%, yakni 80%. Diversifikasi yang dilakukan pun salah kaprah. Tidak mengacu pada pangan lokal. Konsumsi pangan lokal yang beragam beralih ke beras,terigu, dan pangan olahan. Tak cuma itu, pemerintah juga membuka keran imporpangan. "Yang perlu digarisbawahi, diversifikasi atau penganekaragamanpangan tidak hanya sumber karbohidratnya, melainkan sumber protein dan vitamin (buah-buahan dan sayuran). Semua harus dari lokal dan bukan bukan impor," jelas Tejo Wahyu Jatmiko, kordinator Aliansi Desa Sejahtera. Menurut Tejo,kemandirian pangan yang dibangun harus berbasis komunitas. Sayangnya, meski Pemerintah telah menerbitkan kebijakan soal kemandirian pangan lokal, kebijakan tersebut belum menjadi gerakan bersama yangmenjadikan pangan lokal sebagai makanan sehat dan bermartabat di negerinyasendiri. Pada 2010, pemerintah menggulirkan kampanye "One Day No Rice" yang mengajak masyarakat mengurangi konsumsi beras dengan memanfaatkan pangan lokal seperti ubi, singkong,jagung, sukun, ganyong, atau yang lain. Cara ini diharapkan dapat menghemat1,1 juta ton beras senilai Rp 6 Triliun. Jika uang tersebut dialihkanuntuk konsumsi pangan lokal, maka akan memberikan dampak yang luar biasa.Berdasar data Biro Pusat Statistik, terjadi penurunan konsumsi beras sebesar 113kg/kapita/tahun/orang dari 139/kg/kapita/tahun/orang. Akan tetapi di sisilain angka impor gandum meningkat."Pemerintah memang telah banyak mengeluarkan kebijakan yang mengatur tentangpangan lokal. Sayangnya, ini masih terbatas pada slogan belaka, danbelum menjadi gerakan bersama," tambah Puji Sumedi, program officerEkosistem Pertanian Yayasan KEHATI. Jika sumber pangan lokal banyak dikonsumsi, otomatis masyarakat akantertarik untuk melestarikan sumber pangan lokalnya yang bersumber darikeanekaragaman hayati Indonesia.