Find Us On Social Media :

Hidup Akrab dengan Bencana

By Rusman Nurjaman, Senin, 13 Agustus 2012 | 16:45 WIB

Hidup Akrab dengan Bencana

“Nah, itu yang disayangkan. Niatnya membantu, tetapi malah membuat susah. Karena kalau barang-barang kedaluwarsa itu sudah masuk, untuk mengembalikan, membuang, dan menghancurkannya memerlukan biaya sendiri,”

Selanjutnya, pertolongan yang mencakup rehabilitasi atau rekonstruksi. Jika terjadi gempa, yang paling sulit adalah pemulihan mental. Karena, rumah bisa langsung dibangun kalau ada dana. Orang yang terguncang gempa pasti mengalami trauma. Pemulihannya pun membutuhkan waktu yang panjang. Jika anak kecil, bisa delapan tahun. Orang dewasa malah bisa lebih lama lagi. Di sini, yang paling diperlukan perannya adalah dokter, psikolog, psikiater, dan ahli bangunan. Proses ini memakan waktu hingga satu tahun atau bahkan lebih, tergantung persediaan dananya.

Masyarakat perlu dilatih siaga bencana.

Masa-masa menghadapi bencana (pra-bencana) juga tidak kalah penting. Setidaknya terdapat tiga hal yang perlu dilakukan: pencegahan, mitigasi (penjinakkan), dan kesiapsiagaan (sistem peringatan dini). Pencegahan itu salah satunya adalah pembuatan peta pemetaan potensi bencana seperti dalam atlas dari Bakosurtanal. Menurut Narto, sebaiknya peta seperti itu disebarluaskan, walau kadang orang enggan membuka peta. “Ini salah satu bentuk prevensi, karena yang namanya bencana itu tidak bisa ditiadakan,” katanya.

Kedua, mitigasi. Misalnya, jika tahu daerah yang ditinggalinya itu rawan gempa 6 SR, berarti rumah yang di bangun harus kekuatannya melebihi 6 SR. Hanya saja, memang tidak setiap lokasi sama kekuatan gempanya, sehingga tidak boleh digeneralisasi.

Terakhir, peringatan dini (kesiapsiagaan). Ini perlu dilatihkan kepada masyarakat. “Kalau menurut saya lebih baik menggugah guru geografi, guru olahraga, dan guru pembina pramuka. Pada suatu saat bisa membuat simulasi gempa dalam materi olahraga atau kepramukaan. Tapi teorinya melalui pelajaran geografi. Jika  dimasukkan sebagai mata pelajaran baru dalam kurikulum malah dikhawatirkan akan membebani siswa,” ungkapnya.

Selanjutnya adalah bagaimana agar sistem peringatan dini itu berjalan dengan baik. Tidak boleh ada kekeliruan. Karena kekeliruan menurunkan tingkat kepercayaan. “Siapa yang membunyikannya juga tidak bisa sembarang orang. Jadi, harus ada semacam SK kepada petugasnya” tegasnya.

Kendati berbagai temuan ilmiah menunjukkan Indonesia sebagai negeri rawan bencana, kajian tentang kebencanaan masih tergolong langka di negeri ini. Namun demikian, menurut Narto, hal itu tidak serta merta dari segi akademik tidak siap. Beberapa perguruan tinggi kini sudah mempunyai pusat studi bencana. PSB UGM sendiri berdiri sejak 15 Juli 1995. Berbeda dengan pusat studi bencana di ITB dan IPB yang mempunyai fokus lebih spesifik, PSB di UGM masuk kelompok sosio-humaniora dengan perspektif kajian multidisiplin. Sehingga kiprahnya pada masyarakat sangat luas.

Selama ini PSB sendiri sudah melakukan sosialisasi di banyak tempat. Di antaranya Lampung, Banten, Cilacap, Pacitan, Bali, Ambon, dan Ternate. “Di sana, kita mengadakan penyuluhan, menyebar selebaran, dll. Ini menunjukkan kalau dari sisi akademik kita sudah siap. Tinggal masyarakatnya. Yang penting 'kan justru masyarakatnya,” paparnya. “Kalau benar-benar akademik, nanti malah jadi menara gading. Masyarakat nggak tahu,” ujar pengampu mata kuliah Geomorfologi Bencana ini, menambahkan.

Masyarakat lekas lupa

Hanya saja, selama ini yang menjadi kendala adalah masyarakat memang cenderung menyepelekan. Jika diberi penyuluhan, seringkali tidak siap. Mereka menganggap bencana yang membahayakan dirinya itu sebagai peristiwa alam yang sudah biasa. Di Imogiri, gempa susulannya masih sering terjadi sampai sekarang. Tapi karena sudah terbiasa, orang yang tinggal di sana sudah tidak kaget dan merasa tidak perlu keluar rumah jika terjadi gempa.

Mereka juga sering alpa bahwa daerahnya rawan bencana. Padahal, setiap daerah ada kerawanannya. Bahkan, di ibukota Jakarta lebih dari satu potensi bencana. Misalnya, gempa, tsunami, banjir, dan petir. Oleh karena itu, ”Masyarakat kita perlu dibangkitkan lagi kesadarannya,” tegasnya.