Find Us On Social Media :

Seks Memang Bisa Redakan Stres, Tapi Tidak Serta Merta Bisa Dijadikan Terapi

By Agus Surono, Jumat, 24 Februari 2017 | 20:40 WIB

Terapi Seks yang Bukan Terapi

Intisari-Online.com - Banyak yang mengakui bahwa aktivitas senggama bisa meredakan stres. Hal itu bermuara dari rasa nikmat yang memenuhi naluri. Sebenarnya, sekadar kedekatan yang intim antara dua tubuh bagi orang yang mengalami depresi atau stres sudah cukup untuk menghilangkan stres. Masing-masing merasakan adanya dukungan yang akrab. Jadi sebenarnya tak perlu harus mencapai orgasme untuk menghilangkan stres itu.

(Mulai Pelupa hingga Gula Darah Bermasalah, Inilah yang Terjadi pada Tubuh Bila Tidak Sarapan) Jika diakui seks bisa sebagai terapi, mekanisme apa yang membuat seks bisa menjadi terapi terhadap stres atau ketidaknyamanan? Orang menduga, karena seks membuat suatu peristiwa pelepasan ketegangan yang sebelumnya ada, dengan tercapainya orgasme. Otot-otot berkontraksi, kejang tonik-klonik alias klojotan, kemudian otot-otot melemas kembali.  Berbagai penelitian menunjukkan bahwa seks bisa membuat orang awet muda, bahkan tampak lima tahun lebih muda dari usianya. Ketika seseorang mengalami orgasme, tubuh mengalami relaksasi. Pembuluh-pembuluh darah terbuka, peredaran darah menjadi lancar, dan jantung berdenyut lebih kuat, sehingga oksigen ke otak dan bagian tubuh lainnya lebih banyak. Pembuluh darah halus (kapiler) di kulit menjadi terbuka dan terisi darah, sehingga oksigen ke kulit terpenuhi. Tubuh menjadi segar, seperti habis berolahraga. 

(Bukan karena Teknik atau Posisi Seks, Penyebab Perempuan Gagal Orgasme Bisa Jadi Sifat Multitasking?) Sebenarnya, hubungan seks tidak semata-mata terbatas pada perjumpaan tubuh dengan tubuh atau alat kelamin dengan alat kelamin. Sejak semula pada kedua insan yang sedang dilanda asmara, saling bercinta, dan menjadi suami-istri itu sudah terjadi interaksi yang menyenangkan, seperti paras yang elok atau tubuh yang gemulai. Aroma si dia yang khas tidak hanya parfumnya, tetapi campuran lemak tubuh dengan parfum yang dipakai. Sentuhan jari-jemarinya yang lentik, bibir bertemu bibir. Semuanya memberikan kenikmatan tersendiri. Namun, hal itu mungkin jadi berkurang maknanya jika perjumpaannya terlalu sering atau sepasang merpati itu telah menjadi suami-istri. Sudah menjadi kebiasaan yang lazim dan tidak "syur" lagi. Sanggama sendiri memang memberikan kesempatan lain. Dengan tubuh ketemu tubuh, dekapan dan sentuhan menciptakan kehangatan yang luar biasa. Seperti seorang anak yang selalu berdekatan dengan boneka beruangnya, dalam dekapan seolah terasa belaian dan kehangatan yang cukup menimbulkan kenikmatan tersendiri.  Selain itu, dalam sanggama orgasme memang memberikan kenikmatan yang tiada tara. Suatu peristiwa sebagai pernyataan kasih, rasa nikmat, rekreasi yang selalu bisa diulang, sah, dan murah, serta membuat kerinduan untuk perjumpaan kembali pada hari-hari berikutnya. Lalu, mengapa kita tak menyebut seks sebagai terapi? Suatu upaya terapi semestinya final dan itu menjadi yang usaha terakhir yang diberikan. Namun, seperti diketahui, seks banyak kelanjutannya, misalnya pada keadaan hipo- atau hiperseksualitas, adanya gangguan impotensi pada pria, frigiditas pada wanita, gangguan pemilihan jenis seks seperti homoseksualitas dan lesbianisme, cenderung memilih anak-anak sebagai objek pemuasan hasrat (pedofilia), seks dengan orang tua (presbiofilia), dan perilaku sanggama dengan kekerasan (masokisme). Semua ketidaknormalan ini dengan berkonotasi seksual, sehingga apakah dapat disebut sebagai terapi? Sebab, peristiwa ketidaknormalan ini membutuhkan terapi tersendiri, jadi tidak final. Lagi pula, para profesional medis melihatnya lebih sebagai suatu perilaku yang menuju pada pemenuhan kebutuhan naluri untuk berprokreasi sekaligus meningkatkan rasa sejahtera, mutu kehidupan (quality of life), dan pernyataan kasih sayang pada individu lain dalam spesiesnya. Sementara bagi orang awam, segala sesuatu yang berakhir dengan peredaan rasa sakit atau pemenuhan kebutuhan dan kenikmatan lalu disebut sebagai terapi atau pengobatan.  Karena itu, untuk stres yang mengganggu kesejahteraan diperkenankan untuk menggunakan hubungan seksual sebagai terapi tambahan. Terapi lain, misalnya terapi organik seperti olahraga fisik, penggunaan obat antistres, anticemas, atau antidepresi, dan teradang penggunaan stimulan saraf dengan bijak amat membantu. Di samping itu, interaksi psikologis dan edukasi dengan konselor akan lebih memberikan peluang bagi pasien untuk mengemukakan masalah pribadi dan keluarga. Semakin baik, dan bila memungkinkan, adanya perubahan lingkungan. Akan tetapi, perlu diingat, seperti jenis terapi lain, seks tidak selalu menjadi jalan keluar suatu persoalan. Mereka yang merasa tertolong dengan terapi seks umumnya tetap memerlukan komunikasi yang terjalin dengan baik, saling percaya, kejujuran, dan dapat menerima pasangan apa adanya.