Penulis
Intisari-Online.com - Dra. Ratna Djuwita Dipl. Psych., peneliti masalah bullying sejak 2004 sekaligus dosen psikologi Universitas Indonesia, mengungkapkan bahwa suatu tindakan bisa disebut bullying ketika yang melakukan itu berniat menyakiti, mengintimidasi korban, dan si korban merasa tidak berdaya untuk melawan.
Orang Indonesia, menurut Ratna, memang cenderung mengolok-olok kekurangan fisik seseorang. “Orang dahulu lebih punya norma, misalnya enggak boleh mengejek orang. Ketika napas demokrasi menyebar di negara ini dan kita bebas mengungkapkan apa saja, norma-norma ini menjadi sesuatu yang kuno dan tidak diperhatikan lagi di sekolah dan di lingkungan keluarga,” jelas Ratna.
Penampilan tubuh gemuk justru menjadi objek untuk jualan di televisi, atas nama hiburan. Kalau itu terjadi dalam waktu yang lama, menurut Ratna, itu menjadi pendidikan norma yang tidak tepat kepada masyarakat, karena hal itu dianggap biasa. “Sama juga seperti kekerasan yang dieksploitasi di televisi sebagai bahan hiburan,” Ratna melanjutkan.
Ketika anak ada masalah dengan berat badan, misalnya kurus atau gemuk, seharusnya yang menjadi acuan adalah kesehatan. Terlalu kurus atau terlalu gemuk, memang rentan terhadap penyakit. “Tapi, kondisi tidak ideal, tidak berarti dia tidak boleh bahagia,” kata wanita kelahiran 19 Oktober 1956 ini.
Ratna juga mengingatkan bahwa kemasan fisik bukanlah segalanya, walaupun memang itulah yang menjadi daya tarik pertama dari seseorang. “Tapi jangan lupa bahwa di balik itu masih ada sesuatu yang lain, yang lebih kuat daripada daya tarik fisik,” kata Ratna.
Di bidang psikologi, Ratna mengingatkan, selalu disebutkan bahwa, “Jangan minta orang lain berubah. Kita yang harus berubah, dan orang lain akan berubah sikapnya terhadap kita.”