Find Us On Social Media :

Hantu Bernama Ujian Nasional

By Susianah Affandy, Senin, 27 Juni 2011 | 16:00 WIB

Hantu Bernama Ujian Nasional

Secara teori, sistem pendidikan seharusnya mengedepankan aspek pengembangan anak didik. Dunia anak adalah dunia bermain. Maka sistem pendidikan juga harus mengedepankan karakter yang khas pada diri anak tersebut. Seiring kemajuan teknologi komunikasi, sejak tahun 1990-an sampai saat ini bermunculan institusi pendidikan yang menerapkan teori belajar. Sistem pembelajaran terintegrasi dalam medan permainan sehingga anak didik merasa nyaman, senang dan kecanduan belajar. Bahkan belakangan muncul konsep pendidikan “home schooling” yang tidak mengharuskan anak pergi ke sekolah menyusul konsep sebelumnya “sekolah alam” dengan anak tidak harus belajar di kelas namun di alam terbuka. Sayangnya, institusi sekolah seperti ini keberadaannya ada di kota-kota besar dan hanya bisa dijangkau oleh keluarga dengan finansial yang mencukupi.

Di desa-desa, intitusi sekolah benar-benar “menjadi hantu”. Anak didorong menjadi robot yang harus “nurut” pada petuah guru yang maha mengetahui. Jika ada siswa melakukan kesalahan, tidak jarang guru memberi sanksi yang justru dapat membuat anak trauma. Seperti halnya penulis ketika menjalani pendidikan di sekolah dulu, anak-anak didik ini akan bersorak gembira jika guru pengajarnya tidak masuk kelas. Jika ujian tiba, hantu itu kian menghantui siswa, orangtua dan penyelenggara pendidikan. Secara filosofis, dulu kita mengenal ujian dengan istilah “ulangan” artinya “mengulang kembali apa yang telah diajarkan”. Lalu mengapa sistem ulangan dengan istilah “ujian nasional” ini begitu menghantui kita kecuali makna “ulangan” itu akan paradok ketika apa yang menjadi materi ujian tak pernah diajarkan.

Mengakhiri tulisan ini, jika sistem pendidikan kita tak mampu membuat anak didik percaya dengan dirinya sendiri, mandiri, bertanggung jawab, memiliki kecakapan akademik dan kecakapan sosial lalu sebenarnya - meminjam istilah sosiolog fungsionalis struktural - apakah sekolah itu masih memiliki fungsi? Meski tidak menutup mata ada satu fungsi yang masih dipertahankan sekolah sampai hari ini adalah memproduksi pengangguran. Wallahu ‘alam

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB