Penulis
Intisari-Online.com – Adalah seekor anak kepiting, bernama Herman. Ia tinggal di sebuah karang indah warna-warni ciptaan Tuhan. Namun, pada suatu hari, ketika sedang menikmati riak-riak ombak kecil di dekat istananya, dengan agak tergesa-gesa ia berlari ke rumahnya, di bawah batu karang itu.
“Saya mau bebas…!” begitu teriaknya kepada ayahnya.
“Masa saya harus pakai cangkang jelek ini 24 jam sehari! Cangkang ini sesak dan membuat saya enggak bisa bergaya!”
Ia terus menggerutu dengan nada yang keras. Ayahnya, seekor kepiting yang gagah dan kuat, dengan lembut menatap Herman, sang anak yang sangat dikasihi dan dibanggakannya itu. Sambil menaruh capitnya yang besar di pundak Herman, ia berkata,
“Nak, maukah kau tenang sejenak dan mendengarkan kisahku ini? Ayah ingin bercerita tentang Humphrey, seorang anak manusia yang tidak mau ke sekolah memakai sepatu. Ia protes, karena sepatunya sesak dan jelek. Ia ingin bebas berlari dengan kaki telanjang di taman dan bermain-main di sungai. Akhirnya dengan sedih dan air mata berlinang, ibunya mengizinkannya. Ia pergi dari rumah, tanpa sepatu. Kamu tahu apa yang terjadi?” Herman baru buka mulut mau menjawab, tetapi ayahnya sudah meneruskan ceritanya.
“Dengan bebas dan lincah ia melompat-lompat ke kiri dan ke kanan. Melewati jalan-jalan di pinggir desa. Tiba-tiba Humphrey menjerit sangat keras dan kelihatan ia terjatuh memeluk kakinya. Merah, darah di di kedua telapak kakinya. Ternyata ia menginjak pecahan botol yang dibuang orang begitu saja dan akibatnya, kakinya harus dijahit dengan 20 jahitan. Dan sejak hari itu ia hanya bisa duduk di rumah, seminggu bahkan hampir sebulan, sementara teman-temannya pergi menonton pertunjukan lumba-lumba, berdarmawisata dan berkemah di desa tetangganya.”
“Ah, Ayah, itu cerita yang menyedihkan,” kata Herman.
“Memang begitu, Herman. Kau juga bisa belajar dari kisah Humphrey tadi. Kau tahu Nak, semua kepiting akan lebih bebas kalau bisa hidup tanpa cangkang. Tapi keinginan seperti itu, sama saja seperti seorang pelaut yang bosan terkurung di kapal dan loncat ke laut bebas. Tampaknya ia punya kebebasan, karena sudah tidak terkurung lagi di kapal. Tetapi bukankah itu kebebasan yang konyol dan membahayakan jiwanya Nak? Kalau ia tidak dapat kembali ke kapal atau ke pantai, dia akan tenggelam dan jadi makanan ikan hiu dan jika ia jatuh ke dasar laut, wah, jadi santapan kepiting-kepiting seperti kita ini.” Herman diam menunduk merenungkan perkataan ayahnya.
“Cangkangmu akan segera lepas dan akan diganti dengan cangkang baru yang lebih besar, sebab sekarang kau memang sudah lebih besar. Pelan-pelan kau akan jadi sehebat ayah, Tapi ...,” kata Ayahnya dengan penuh peringatan.
“Saat pergantian cangkang ini terjadi, tahukah kamu, bahwa justru kamu berada dalam situasi yang paling berbahaya dan tidak bebas. Kamu akan sangat mudah diserang oleh musuh sebab cangkangmu membutuhkan waktu untuk menjadi kuat dan keras lagi seperti yang Ayah punya ini,” kata Ayahnya sambil mengetuk cangkangnya sendiri.
“Nah kalau kamu nanti mengalami hal itu, Ayah berharap kamu akan lebih berhati-hati dan waspada daripada biasanya. Tanpa cangkang yang keras seperti punya kita saat ini, kamu tidak bebas kemana-mana. Juga kamu tidak akan kuat bertahan di batu karang jika ombak dan tsunami datang menyerang. Jika musuh mencoba menangkap dan menaklukkanmu, ini senjata kita, ini alat kehidupan kita. Ini adalah tangan dan kaki kita untuk bergerak cepat dan tangkas, juga untuk mengejar makanan dan menangkap makanan yang melintas. Dan tanpa ini, kita justru lemah tak berdaya, bukannya lebih bebas seperti yang selama ini kau pikirkan.”
Ada kesempatan ketika kita diberikan kesempatan untuk berubah. Ada kesempatan saat kita diberikan kebebasan baru, kebebasan lebih besar. Tapi perlu hati-hati sebab di saat-saat itu kita gampang lupa diri dan diserang oleh lawan.