Penulis
Intisari-Online.com – Seorang guru Matematika bertanya kepada Laiq, bocah berumur tujuh tahun, “Jika saya memberimu satu apel dan satu apel dan satu apel lagi, berapa banyak apel yang kau miliki?”
Dalam beberapa detik Laiq menjawab dengan yakin, “Empat!”
Guru itu tampaknya kecewa. Ia mengharapkan jawaban yang benar, karena pertanyaannya sangat mudah. “Mungkin anak ini tidak mendengarkan pertanyaan dengan baik,” pikirnya.
Ulangnya, “Laiq, coba dengarkan baik-baik. Jika saya memberimu satu apel dan satu apel dan satu apel lagi, berapa banyak apel yang kau miliki sekarang?”
Laiq melihat kekecewaan di wajah gurunya. Ia menghitung lagi dengan jari-jarinya. Tapi ia berusaha mencari jawaban yang membuat gurunya senang. Usahanya mencari jawabannya bukan karena salah, tapi yang akan membuat gurunya senang.
Kali ini dengan ragu-ragu ia menjawab, “Empat.”
Wajah guru itu terlihat kecewa lagi. Tapi ia ingat, Laiq menyukai stroberi. Ia pikir mungkin Laiq tidak suka apel dan itu membuatnya tidak fokus.
Kali ini dengan mata bersinar senang, guru itu kembali bertanya, “Jika saya memberimu satu stroberi dan satu stroberi dan satu stroberi lagi, maka berapa stroberi yang kau miliki?”
Melihat guru itu senang, Laiq kembali menghitung dengan jarinya. Tidak ada penekanan pada dirinya, ia merasa berhasil membuat guru itu senang.
Dengan senyum ragu Laiq menjawab, “Tiga?”
Guru itu terlihat tersenyum senang. Pendekatannya berhasil. Ia mengucapkan selamat kepada dirinya sendiri.
Tapi guru itu tetap penasaran. Sekali lagi ia bertanya, “Sekarang jika saya memberimu satu apel dan satu apel dan satu apel lagi, berapa banyak apel yang kau miliki?”
Segera Laiq menjawab, “Empat!”
Guru itu terperanjat. “Bagaimana mungkin, Laiq?” Suaranya agak keras bertanya.
Dengan suara rendah dan ragu-ragu, Laiq menjawab, “Karena saya sudah memiliki satu apel di tas saya.”
Ketika seseorang memberi jawaban yang berbeda dari apa yang kita harapkan, jangan berpikir dulu bahwa mereka salah. Mungkin ada sudut pandang jawaban yang tidak kita pikirkan. (*)