Penulis
Intisari-online.com - Ledakan bom di tiga gereja di Surabaya merupakan serangan bom bunuh diri satu keluarga, yakni Dita Oepriarto (47) dan istrinya serta empat anaknya.
Pelaku adalah warga asal Wisma Indah, Jalan Wonorejo Asri 11 Blok K/22, Surabaya.
Istri Dita yang ikut aksi bom bunuh diri adalah Puji Kuswanti (43)
Sedangkan keempat anaknya adalah, Yusuf Fadhil (18), Firman Halim (16), Fadhila Sari (12), dan Famela Rizqita (9).
BACA JUGA:Bom Bunuh Diri Surabaya, Begini Analisis Ali Fauzi Adik Amrozi yang Juga Mantan Dedengkot JI
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan pelaku yang merupakan satu keluarga ini melakukan serangan bom bunuh diri lantaran balas dendam.
Dita merupakan Ketua Jamaah Ansarud Daulah (JAD) di Surabaya.
Selain JAD, juga di Indonesia ada kelompok Jamaah Ansarud Tauhid (JAT). Kelompok ini merupakan afiliasi ISIS.
"Memang motif internasional, ISIS sedang ditekan di Barat, mulai AS dan Rusia, sehingga terpojok," terang Tito, saat di RS Bhayangkara, Polda Jatim, Minggu (13/5/2018).
Di Indonesia sendiri, pendukung utama ISIS itu JAD dan JAT. Ketua JAD Indonesia Maman Abdurrahman dan JAT dipimpin Jainal Ansari.
Keduanya sudah ditangkap dan sedang menjalani proses hukum.
Orang nomor satu di Polri ini menuturkan, lantaran para pemimpin ditangkap, kelompok ini reaksi serangan.
"Salah satu buat kerusuhan rutan Mako Brimob," ucap Tito dilansir dari Tribunnews.com.
BACA JUGA:Takut Diselingkuhi? Ini Cara Mudah Menyadap Whatsapp Pasangan
Menurut Tito, sel-sel ISIS di Indonesia ambil momentum balas dendam.
Sedangkan Dita dan keluarganya, lanjut Tito, melakukan aksi bom bunuh diri dengan cara berpencar ke tiga titik ledakan.
Dia menuturkan pelaku di Gereja Pantekosta Pusat di Jalan Arjuno adalah Dita.
Tapi sebelum bom bunuh diri, Dita sempat mengantarkan istri dan dua anak perempuannya ke Gereja Kristen Indonesia, Jalan Diponegoro.
Istri dan dua anak perempuannya pun meledakkan diri di sana.
Sedangkan dua anak laki-lakinya berboncengan menuju Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, di Ngagel.
BACA JUGA:Menurut PBB, Ternyata Begini Cara Mengenali Pelaku Bom Bunuh Diri
Pendapat hampir senada diungkapkan pengamat terorisme dari The Community Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya menyoroti fenomena ini.
"Apakah faktor kemiskinan membuat mereka menjadi bomber maut? Dari indikasi rumah hunian, mereka bukan orang miskin, namun dari kelas ekonomi berkecukupan," ujar Harits kepada Kompas.com, Senin (14/5/2018).
Jika bukan ekonomi, lantas apa yang mendorong ayah, ibu dan anak ini untuk melakukan serangan bom?
"Analisis saya, energi terbesar yakni soal pemahaman teologi beku yang diadopsi suami-istri, yang kemudian diperkenalkan ke putra-putrinya dengan waktu sekaligus intensitas yang cukup," ujar Harits.
BACA JUGA:Adik Menyusul Kakak Meninggal Karena Bom, Kisah Pilu Kakak Beradik yang Rutin Bergandengan Tangan
Menurut Harits, pelaku berasumsi bahwa mereka dan kawan-kawannya saat ini tengah menjadi korban kezaliman. Cara mereka dalam mengekspresikan keyakinan pun terhalang langkah-langkah negara melalui aparat keamanan.
Faktor-faktor di atas, lanjut Harits, menstimulasi rasa dendam, keputusasaan dan kenekatan dalam diri si ayah dan ibu.
"Artikulasi puncaknya, mereka memilih sebagai bomber maut, mengajak serta anak-anak mereka," kata Harits.
BACA JUGA:Takut Diselingkuhi? Ini Cara Mudah Menyadap Whatsapp Pasangan