Find Us On Social Media :

Sejauh Mana Darah PMI Aman HIV? (1)

By K. Tatik Wardayati, Jumat, 8 Mei 2015 | 08:00 WIB

Sejauh Mana Darah PMI Aman HIV? (1)

Intisari-Online.com – Bertepatan dengan Hari Palang Merah Sedunia, mungkin pernah timbul pertanyaan sejauh mana darah PMI Aman HIV? Darah yang diperoleh PMI dari donor selalu diuji saring secara teliti untuk mengetahui ada-tidaknya kuman penyakit termasuk human immunodeficiency virus (HIV). Idealnya, hasil uji saring bisa memastikan ada-tidaknya virus mematikan itu. Bagaimana kenyataannya?

--

Dengan semakin majunya ilmu kedokteran dan canggihnya teknologi kedokteran, telah banyak orang terselamatkan oleh transfusi darah. Dahulu, satu kantung darah dalam bentuk darah lengkap (whole blood/WB) Cuma bisa digunakan untuk seorang pasien. Penggunaannya pun terbatas pada kasus-kasus perdarahan. Sekarang, sekantung darah sudah bisa dipisahkan atas beberapa komponen sehingga dapat digunakan untuk kepentingan medis secara lebih tepat dan efisien. Sekantung darah pun dapat menolong beberapa orang dengan penyakit berbeda. Sel darah merah, misalnya bisa digunakan untuk penderita anemia, sementara trombositnya untuk penderita demam berdarah.

Sayangnya, tindakan transfusi (komponen) darah masih menyisakan sedikit bahaya tertular penyakit. Penderita gagal ginjal dan hemofili termasuk orang-orang berisiko tinggi tertular penyakit melalui transfusi darah. Betapa tidak, karena setiap tindakan hemodialisis (cuci darah) paling tidak mesti membutuhkan tambahan darah. Sementara, pada penderita hemofili luka kecil saja bisa menyebabkan perdarahan hebat, sehingga mutlak memerlukan transfusi darah.

Tersembunyi di masa induksi

Malaria, sifilis, hepatitis, dan HIV termasuk beberapa penyakit yang bisa menular lewat transfusi darah. Karenanya, menurut dr. Sukantini, kepala Unit Transfusi Darah Daerah (UTDD) PMI DKI Jakarta, UTDD PMI DKI Jakarta melakukan uji saring terhadap keempat penyakit tersebut.

Pemeriksaan terhadap kemungkinan teridapnya penyakit pada seorang donor dilakukan melalui wawancara tertulis sebelum donor menyumbangkan darahnya. Kecuali untuk malaria, pemeriksaan dilanjutkan dengan uji saring darah terhadap virus penyakit lainnya di laboratorium serologi UTDD DKI Jakarta, segera setelah darah diterima. Pemeriksaan virus sifilis dilakukan dengan metode Rapid Plasma Reagen (RPR). Sedangkan, uji saring terhadap hepatitis B & C, dan HIV dengan metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (Elisa)

Jelas, dari keempat virus penyakit, orang paling ngeri bila tertular HIV. Selain karena melemahkan sistem kekebalan  tubuh yang bisa memperpendek usia, virus ini juga sering menimbulkan citra buruk bagi pengidapnya. Sementara, dari sisi kesehatan dan keamanan darah yang disumbangkan donor, HIV juga menyumbang kekhawatiran. Masalahnya, setelah infeksi ada masa keberadaan HIV tidak bisa diketahui!

Setelah tubuh terinfeksi HIV, terjadilah viremia pertama, virus masuk ke dalam aliran darah dan berkembang biak di sana. Masa inilah yang dinamakan window period (masa induksi). Lamanya bisa sampai dua bulan, tergantung kondisi tubuh. Pada masa ini tubuh belum membentuk zat  anti (antibodi, bagian dari sistem kekebalan spesifik tubuh) terhadap HIV. Padahal, zat anti inilah yang dilacak dalam uji saring metode Elisa.

Setelah masa ini, virus memasuki masa inkubasi, yang bisa berlangsung selama 5 - 12 tahun, di antaranya tergantung pada kondisi fisik. Pada masa ini antibodi terhadap HIV mulai terbentuk, sehingga antibodi bisa dilacak. Setelah masa inkubasi, penyakit AIDS {acquired immuno-deficiency syndrome), atau sindroma penurunan kekebalan tubuh, barulah menampakkan dirinya. Pada masa ini terjadi viremia kedua.

Dengan metode Elisa, bila donor yang terinfeksi HIV menyumbangkan darahnya masih pada masa induksi, maka antibodi terhadap HIV belum bisa dideteksi dalam darah. Darah pun lolos dari pengujian meskipun virus sudah bersarang di dalamnya. Kalau darah tersebut ditransfusikan, HIV pun bersarang di tubuh resipien.

Tak sembarang pilih