Find Us On Social Media :

Menikmati Air Terjun Awet Muda di Bodogol

By Agus Surono, Sabtu, 19 April 2014 | 11:00 WIB

Menikmati Air Terjun Awet Muda di Bodogol

Intisari-Online.com - Sejak 1999, berkali-kali saya ke Lido Lakes Resort & Conference, Jln. Raya Bogor � Sukabumi Km. 21. Meliput terjun payung, menikmati 15 m terbang keliling kawasan dengan trike si pesawat microlight, atau berseminar di hotel. Namun baru lima tahun kemudian saya sadari, hanya 7 km ke belakang arah barat laut di kaki Gunung Pangrango, saya bisa mereguk segarnya air sungai dan mandi air terjun (konon berkhasiat awet muda) di Bodogol.

Kawasan di ketinggian 797 mdpl ini bagian dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Awalnya agak sulit menyebut dan mengingat namanya, rancu dengan Bedugul, kawasan danau di dataran tinggi Bali. Dua kali saya nikmati Bodogol. Yang pertama, 5 - 6 Maret 2004 dengan keluarga Lody Korua - Amalia Yunita di persinggahan menuju arena arung jeram Arus Liar yang mereka usahakan di Sungai Cicatih, Sukabumi.

Kali kedua, 10 - 11 April 2004, saya ditraktir konsorsium Conservation International Indonesia (CII), BirdLife, Flora Fauna International Indonesia Programme, the Nature Conservancy Indonesia Program, Yayasan WWF Indonesia. Saat itu, saya menjadi satu di antara tiga pemenang utama kuis di situs Indonesia Forest and Media Campaign, www.inform.or.id yang digelar pada Januari tahun yang sama.

Saat kunjungan pertama ke Bodogol, lepas senja, Lody Korua mengemudikan Land Rover-nya, dengan Amalia Yunita, putra-putri Salsa dan Kiham, serta saya, dari apartemen mereka di Kuningan masuk Tol Jagorawi. Keluar Ciawi, ambil arah Sukabumi, masuk kawasan Lido Lakes Resort, dan tiba di kantor pengelola Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol (PPKAB) untuk melaporkan kedatangan dan minta izin masuk. PPKAB dikelola Balai TNGGP, CII, dan Yayasan Alami sejak 12 Desember 1998 untuk memberi kesempatan masyarakat "Menyingkap Rahasia Hutan Hujan Tropis."

Kami lintasi paving block ke arah belakang Resort. Seekor kupu-kupu raja - sebenarnya ngengat besar - yang sudah lama tak saya lihat, tiba-tiba menabrak kaca depan jip, menandai awal jalan tanah berbatu, berkubang-kubang diapit rimbun pohon. Kami berkemah di pendopo yang tadi jadi arena makan malam. Suara jangkrik dan tonggeret, udara sejuk tak menggigilkan menemani nyenyak.

Naik si Bloon

Saat kunjungan kedua, saya, Mirsya ditemani Martha Andriana dari Inform, Sabtu pagi ber-Kijang dari kantor CII di Pejaten, Jakarta Selatan. Sayang, satu lagi pemenang kuis, Anita, sedang keluar kota. Untung suasana meriah oleh tujuh rekan AISEC, organisasi internasional mahasiswa dan lulusan ekonomi yang ikut bergabung.

Dalam 1,5 jam, kami tiba di kantor PPKAB. Bila berkendaraan umum, dari Terminal Baranangsiang, Bogor ambil angkot jurusan 02 Cicurug, atau bis tiga perempat jurusan Sukabumi-Bogor atau Bogor-Pelabuhan Ratu, turun di depan Lido Lakes Resort.

Petualangan terulang lagi. Kali ini, kami pindah ke si Bloon, julukan bagi jip 4x4 Ford Ranger milik PPKAB agar bisa sekitar 20 - 60 menit, tergantung cuaca, ber-off road ria di jalur sempit yang lebarnya hanya satu jalur, berlantai tanah, berlumpur, dan menanjak. Berkali-kali si Bloon terhuyung-huyung di antara kebun cabe atau kebun jagung, milik 220 kepala keluarga Kampung Babakan Kenanga, dan tentu saja lembah!

Berpadu keindahan Gunung Salak disaput kabut tipis yang kian kami jauhi, sementara hutan pinus di kiri jurang menyongsong Gunung Pangrango. Hutan pinus meruapkan aroma khas menyegarkan.

Tepat jam makan siang, kami tiba di resort PPKAB. Menaiki berpuluh tangga batu, kami disambut Ibu Dedeh dengan sayur asam, ayam goreng, ikan asin, lalap dan sambal terasi "jahanam" yang membuat saya punya alasan menambah nasi lagi.

Kami simpan ransel di asrama yang masing-masing menampung 18 orang, bermatras di lantai atau berdipan. Kamar mandi di dalam. PPKAB memang bukan untuk wisata massal. Kuotanya hanya sekitar 200 pengunjung per hari saja yang bisa menginap sesuai jumlah tempat tidur asrama.

Ada rumah panggung kayu untuk diskusi seputar PPKAB dan hutan hujan tropis, asrama relawan, kantor pengelola, dan gardu genset yang dinyalakan bila ada tamu yang menginap, pukul 18.00 � 22.00. Penerangan selebihnya dengan lampu teplok, petromaks, dan senter. Ada biaya tambahan jika ingin menambah jam nyala lampu. Wajar saja, ini lokasi terpencil.Anjungan pandang & titian gantung

Pada dua kesempatan ke Bodogol, acara pertamanya sama: menjelajah hutan hujan tropis sepanjang 1,4 km di arah belakang pondok. Jalur ini sebenarnya tak sulit karena ada jalan setapak dari pelur semen dan conblock. Tapi jadi sulit sekali karena berlumut licin sehabis tersiram hujan, tak tersentuh sinar Mentari yang tertutup rimbun pohon.

Meski sudah hati-hati berjalan miring - sesuai teori, kalau licin, masih tertahan, tak terjengkang ke depan - berpegangan pagar dan tongkat, tetap saja saya dan rekan lain terpeleset. Tak apa, asal jangan sampai jatuh duduk berposisi riskan cedera fatal.

Untunglah, sekitar 200 m dari pondok, ada anjungan pandang. Lantai kayu 5x5 m berpengaman pagar besi sumbangan WWF Indonesia itu menjorok ke jurang bak rumah pohon. Dari sini, rimbun pakis dan hutan pinus jelas di bawah sana, dan matahari tenggelam di balik Gunung Halimun - Salak di kejauhan bisa dinikmati bila tiada kabut.

Dari anjungan, jalur menurun dan mendaki sekitar 700 m. Di sepanjang jalan ada foto satwa hasil camera trap. Kami tiba di Cisuren, sungai kecil yang mengalir melalui jeram-jeram kecil jernih. Saya raup air bening itu, dan menghirupnya. Segar, bersih - terbukti kemudian saya tak sakit perut, diare. Dijamin.

Di batas "batu-batu belah" berair itu, suasana menggelap oleh rimbun juntaian akar gantung dan dedaunan. Setelah menyeruak, terbentanglah canopy trail elok yang dibangun pada 1997. Tingginya 25 m dari dasar hutan sepanjang 100 m dengan pengaman jala kawat, mengikat alas besi bordes 30 cm, digantung 4 bentang ke pohon dengan tali baja. Di sekitar sinilah diduga paling banyak kesempatan menjumpai satwa endemik, owa jawa (Hylobates moloch). Titian ini juga mempermudah peneliti mengamati perilaku owa jawa tanpa membuat mereka terganggu.

Saya memilih tak mencoba jembatan goyang yang tinggal separuh jalan itu. Maklum, pohon terujung tumbang tersambar petir. Harus menunggu sekian tahun agar pohon muda bisa jadi pengait lagi, atau diganti tiang besi yang tak alami. Titian itu sebenarnya penghubung ke tanah seberang. Tapi kini kita harus melipir tebing untuk tiba di seberang, dengan ekstra hati-hati menginjak tanah basah sambil sesekali memegang pokok atau bagian pohon yang kuat agar tak tergelincir.Flora nan kaya

Di areal 56 ha PPKAB di perbatasan kabupaten Bogor dan Sukabumi ini kita bisa mengamati sekitar 300 jenis tanaman obat, 700 jenis bunga dan, bila beruntung, bertemu dengan fauna langka endemik macam elang jawa (Spizaetus bartelsi), lutung, kucing hutan, anjing hutan, suruli, dan macan tutul. Jagawana sejak awal mewanti-wanti: jangan membuang secuil pun sampah, bahkan biji-bijian bila kami jalan sambil makan buah bekal dari rumah. Ekosistem asli harus terjaga, termasuk dari "pendatang" yang menebar biji.

Di sejumlah pohon ada papan berketerangan nama lokal dan Latin plus manfaat. Yang pertama menarik perhatian saya adalah rotan. Ada yang berbentuk sulur memanjang berduri, ada pula yang seperti pohon salak. Bodogol punya empat jenis. Rotan cacing untuk gelang. Rotan darah naga buahnya seperti salak. Rotan seti untuk kerajinan tangan. Rotan badak untuk pertolongan penduduk bila tersesat di hutan. Konon, durinya bila dikerik-kerik bisa membuka jalan pulang. Sekadar sugesti? Entahlah.

"Ini karastulang," kata Udo si relawan tentang tanaman berdaun mirip pohpohan yang biasa dilalap, tapi lebih besar. Batang tua dekat akarnya, plus akar pahit dicampur gula merah direbus bisa jadi obat pegal-pegal, agar kuat berjalan jauh. Ini saya ketahui pertama kali dari suku Baduy, awal 2003.

Aada cipatuher yang batang dan daunnya mengatasi sipilis dan cacar air. Handeleum untuk wasir, kapol dan ki urat untuk batuk, ki beling untuk diabetes, dan kumis kucing untuk sakit ginjal. Pakis di sini banyak ragam dan manfaatnya. Daun pakis kebo penumbuh rambut. Paku tiang, luarnya rapuh tapi dalamnya ada kayu kuat. Paku telur daunnya disayur.

Ada juga tanaman yang mesti diwaspadai. Misalnya, tanaman fulus pemicu gatal yang luar biasa jika kita tergores daunnya. Ada tanaman berbuah mirip anggur tapi menimbulkan gatal di sekujur tubuh.Awet muda di Curug Cikaweni

Esoknya, usai sarapan, kami turuni tangga batu, menyusuri jalan tanah berbatu pasir, dan belok ke kanan, melewati hutan pinus, semak-semak rapat dan di hadapan kami pun terbentang Curug Cikaweni di 650 m dpl. Inilah hulu Cikaweni yang selama ini memenuhi kebutuhan air Kampung Lengkong di 500 mdpl. Perlu 15 menit saja jalan kaki santai dari pondok.

Kami duduk di batu-batu besar sekeliling "kolam air tumpah" mencelupkan kaki, lalu berbasah-basah di bawah kucuran air dari ketinggian 5 � 10 m itu. Iming-iming Udo, aiapa yang mandi di air terjun ini bakal dapat bonus: awet muda. Ya iyalah, jika kita selalu segar dan ceria, tentu saja bakal awet muda!

Curug Cikaweni adalah alur jelajah pendek. Kelak, saya ingin coba jalur panjang Curug Cipadaranten 4,7 km dalam 3,5 jam perjalanan naik turun punggungan bukit.

Pada kunjungan pertama ke Bodogol, pulangnya, di padang hijau terbuka di belakang Lido Lake Resort, kami sempatkan mendaki bukit kecil setinggi 20-an meter yang biasa jadi tempat latihan awal paralayang sebelum diuji di bukit perkebunan teh Puncak. Pada kunjungan kedua, kami mampir ke Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa yang berdiri sejak 2003. Saat itu ada si primata berbulu tebal abu-abu, Chimoy (14 tahun) dan Yuki (13 tahun) hasil sitaan, yang siap dilepasliarkan kembali.

Owa Jawa memang paling indah di habitat aslinya walau dalam dua kunjungan itu, saya belum beruntung melihat mereka bermain dari pohon ke pohon. (Christantiowati/Intisari Februari 2009)