Find Us On Social Media :

Mulut Berduri, Seisi Kantor Terlukai

By K. Tatik Wardayati, Jumat, 5 Oktober 2012 | 20:00 WIB

Mulut Berduri, Seisi Kantor Terlukai

Intisari-Online.com – Gaya komunikasi tanpa disadari sering jadi masalah. Teman atau bawahan jadi sakit hati jika kritik disampaikan dengan cara kasar. Bagaimana mengalahkan tanpa kawan merasa dikalahkan?

Menurut Dr. Bambang Bhakti, MBA, gaya komunikasi amat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut seseorang. Termasuk budaya kantor tempatnya bekerja. Bila budaya kantor itu kental dengan birokrasi, maka nilai dalam diri orang itu adalah rasa aman, sehingga ia akan cenderung mudah mengatakan ‘ya’ kepada siapa pun, terutama pada atasan. Yang kemudian berkembang di sini pastilah budaya menghindari konflik, budaya harmonis, sehingga yang terjadi adalah komunikasi semu, yang tidak mencerminkan pendapatnya sendiri.

Pada kantor dengan budaya demokratis, tatanan nilai yang tercipta adalah egaliter. Memang tak semua karyawan perusahaan multinasional yang demokratis itu juga egaliter. Hanya, ciri karyawan egaliter pastilah bersikap lebih terbuka, bicara tanpa dibungkus, apa adanya.

Kita bekerja bukan mencari popularitas, melainkan ingin menjadi professional effective. Untuk menjadi efektif, harus ada rantai nilai yang sama dengan karyawan sekantor, bahkan dengan bagian lain dalam perusahaan itu. Katakanlah, rantai nilai itu kepuasan pelanggan. Demi rantai nilai itu, antarkaryawan boleh saling menuntut (demanding) ataupun mengkritik, agar kinerja melayani pelanggan tetap dan semakin baik.

Komunikasi efektif bukan banya mengerti What tetapi juga How. Seseorang seolah tampak mengerti, “Ya, memang harus begitu Pak, kita harus saling melayani.” What-nya mengerti tapi How-nya? Bagaimana ia menuntut atau mengkritik, ini jadi masalah. Tak diperhatikan cara bicaranya, intonasi suaranya, bahasa tubuh, dan sebagainya.

Tak jarang, kritik yang niatnya baik justru dirasa menyakiti. Ini bukan hanya seputar pertemanan horizontal saja, namun juga vertikal antara atasan-bawahan. Sebaiknya, setiap orang memiliki sikap ‘Jelas, Lugas, dan Tegas’ dengan siapa pun ia berkomunikasi, walaupun tiga ‘As’ ini sering berbanding terbalik dengan popularitas.

Apa itu 3 As, resep ala Dr. Bambang Bakti, MBA.?

Bila tak punya “Tiga As” kita hanya jadi karyawan penurut, “Terserah pengarahan Bapak.” Jika bos memarahi atau menyindir, jangan marah sebab sebagai bawahan kita tak punya warna pribadi. Apa yang menjadikan kita berwarna? Ya, tiga As tadi.

Pimpinan yang tidak terlatih dalam teknik komunikasi memang ngomongnya nyelekit, mencari kesalahan manusianya (bukan prosesnya), penyindir, dan sebagainya. Siapa pun pimpinannya atau apa pun yang ia lakukan, bawahan harus menerima. Sebab, dia ditempatkan oleh orang yang berkuasa.

Tapi, “Mendukung bos agar sukses bukan berarti membuat dia senang”. Kedua hal itu sangat berbeda. Kalau sekadar menyenangkan bos, jilat saja dia. Padahal, beda pendapat sangat dimungkinkan. Hanya, ketika beradu argumentasi perlu keterampilan komunikasi. Dari wajah, sinar mata, bahasa tubuh dan ucapan bawahannya, bos bisa menangkap bahwa ia mendukung. Setidaknya, ia tak lagi senyinyir sebelumnya.

Ada cara bijak agar keterbukaan tetap berlangsung. Bila kita menjual gagasan dengan pendapat berbeda, maka dalam diri kita jangan mengklaim bahwa itu pemikiran kita. Sedapat mungkin kredit poinnya diambil oleh bos. Ini teknik, bagaimana pendapat yang kita keluarkan dipersepsikan sebagai pendapat bos, sehingga dia merasa tertolong dan mendapat nama. Jadi, menaikkan gengsinya tanpa ada unsur penjilatan.

Yang utama adalah pemilihan kata-kata agar keterbukaan tak saling menyakiti. Pikirkanlah dulu baik-baik sebelum mengucapkan sesuatu, sebab dampaknya bisa kemana-mana. Inilah seni dalam berkomunikasi dan berdebat. Walau bisa dipelajari, pada sebagian orang ada yang memiliki talenta.