Find Us On Social Media :

Ingin Anak Sukses, Optimalkan EQ-nya!

By Moh Habib Asyhad, Rabu, 9 Maret 2016 | 12:00 WIB

Ingin Anak Sukses, Optimalkan EQ-nya!

Intisari-Online.com - Banyak orangtua beranggapan bahwa kecerdasan anak bergantung pada IQ (intelligence quotient) semata; mereka yang sukses adalah yang juara matematika di kelas atau juara olimpiade fisika berkali-kali. Padahal ada faktor lain yang menjadi kunci kesuksesan seseorang, dan sayangnya tidak semua orangtua tahu itu, yaitu dengan mengoptimalkan EQ (emotional quotient)-nya.

***

Tidak seperti teman-temannya yang lain, pada usianya yang ke-8, Ishaan Nandkishore belum bisa membaca, menulis, juga menghitung. Ishaan sempat tinggal kelas dan terancam mengulang tahun keduanya di sekolah dasar. Karena persoalan ini, orang-orang di sekitarnya menganggapnya sebagai anak bandel, malas belajar, suka bolos dari kelas, dan mengejeknya sebagai anak yang bodoh. Termasuk ayahnya.

Tidak tahan, ayah Ishaan lantas memindahkannya ke sekolah berasrama. Ia berharap, dengan pola pendidikan yang ketat dan disiplin ala pendidikan asrama, Ishaan bisa lebih giat belajar. Ia ingin Ishaan seperti kakaknya yang selalu mendapat ranking satu di kelasnya dan kerap menjuarai kompetisi tenis junior sekolah. Tapi asa ayah Ishaan nyaris sia-sia, karena di sekolahnya yang baru Ishaan justru menjadi stres.

Pada sebuah pelajaran kesenian, Ishaan bertemu dengan seorang guru pengganti bernama Ram Shankar. Dan Pak Ram—begitu pak guru itu disapa—inilah yang tahu bahwa Ishaan tidak lancar membaca dan menulis bukan karena malas belajar. Ada faktor lain yang bahkan tidak diketahui orangtua dan guru-gurunya yang lain.

Sejak kecil Ishaan mengidap disleksia sehingga tidak bisa mengenali huruf-huruf, tidak bisa menghitung, bahkan tidak bisa melempar bola tepat sasaran. Terlepas dari “kekurangannya” itu, ada satu hal yang tidak disadari orang-orang terdekat Ishaan: ia jago menggambar dan melukis.

Pak Ram tahu, bakat istimewa itu tidak akan muncul jika tidak ada dukungan dari orang-orang di sekitar. Oleh sebab itu, Pak Ram membuat inisiatif menyelenggarakan lomba melukis yang melibatkan seluruh guru dan murid di sekolah tersebut. Ishaan bahagia. Ia menjadi bersemangat melukis, juga belajar.

Potongan cerita dari film Tare Zameen Par (2007) di atas tidak hanya menyoal soal kepedulian terhadap penyandang disleksia. Lebih dari itu, film produksi Bollywood itu juga mencoba menyadarkan orangtua bahwa anak-anak tidak hanya memiliki satu kecerdasan, matematika misalnya, tapi lebih. “Tiap orang, tiap anak, minimal memiliki lima kecerdasan dari delapan yang ada pada manusia,” jelas Hana Yasmira, MSi, psikolog anak dari Bunda’s Consulting.

IQ hanya salah satu modal

Masih banyak orangtua beranggapan bahwa IQ (intelligence quotient) tinggi merupakan satu-satunya penentu kesuksesan seorang anak. Masalahnya, IQ yang tinggi melulu diidentikkan dengan kemampuan akademik di kelas. Sementara anak yang tidak pernah mendapat ranking, yang tiap ulangan mendapat nilai lima, selalu diidentikkan dengan anak dengan IQ rendah.

Perlu diketahui, kecerdasan anak tidak hanya kemampuan akademik di kelas. Howard Gardner, penemu konsep kecerdasan majemuk (multiple intelligence) pada 1983 menyebut, ketika lahir, setidaknya manusia dibekali dengan delapan kecerdasan bawaan: bahasa, matematika, visual spasial, musikal, kinestesik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis.

Berbekal konsep kecerdasan majemuk itu, mitos anak cerdas dan anak tidak cerdas tidak ada lagi. Kutipan menarik yang diucapkan Pak Ram dalam film Tare Zameen Par “Setiap anak terlahir istimewa” seirama dengan konsep kecerdasan majemuk yang menyebut setiap anak terlahir cerdas namun dengan bakat yang berbeda-beda.