Find Us On Social Media :

Jakarta Langganan Banjir Sejak Zaman Tarumanagara (2)

By K. Tatik Wardayati, Jumat, 23 Januari 2015 | 18:30 WIB

Jakarta Langganan Banjir Sejak Zaman Tarumanagara (2)

Intisari-Online.com - Jakarta langganan banjir sejak zaman Tarumanagara. Tentu bukan excuse untuk Jakarta yang sampai sekarang masih sering kebanjiran. Namun sedikitnya ini suatu hiburan karena banjir bukan hanya datang akhir-akhir ini saja.Banjir abad yang lalu pernah begitu hebatnya sehingga peneliti alam Junghuhn ketinggalan kapal sebab tidak ada perahu yang bisa membawanya ke kapal. Waktu itu di dalam kota pun ia harus naik perahu. Tahun 1699 ketjka Gunung Salak meletus, pantai Jakarta bertambah luas 75 m dan saluran-saluran mampet. Inilah sejarah banjir di Jakarta yang berhasil dikumpulkan oleh Siswadhi, dan dimuat dalam Intisari edisi Maret 1982.

--

Sementara itu pada pertengahan abad ke-17 di sebelah Selatan Ciliwung di sebelah Selatan antara benteng Jacatra (di ujung Jl. Jakarta sekarang) dan benteng Noordwijk (di seberang Hotel Sriwijaya sekarang) dibelokkan alirannya yang sekarang merupakan terusan yang ada di sepanjang jalan Gunungsahari dan membelok ke Pasar Baru-Jalan Juanda dan dihubungkan dengan terusan Molenvliet (di bundaran Harmoni sekarang).

Banjir lumpur Gunung Salak

Nama Molenvliet dihubungkan dengan kilang-kilang gula (molen= kilang). Karena dari sini harus diambil aliran air untuk penggerak kilang-kilang itu, maka air Ciliwung dibendung di Pintu Air, sekarang dekat Mesjid Istiqlal.

Pembuatan terusan-terusan dan saluran air lainnya mungkin memang berguna untuk pertahanan kota, lalu lintas air dan pertanian, tetapi tata air di sekitar Jakarta mengalami kemunduran. Sistem jaringan terusan itu malah menambah bahaya banjir dan pengendapan lumpur. Area tanah yang digenangi air tak mengalir makin luas.

Dalam keadaan tata air demikianlah pada tahun 1699 Betawi ditimpa musibah meletusnya Gunung Salak yang mendatangkan banjir lumpur dari pegunungan disertai dengan hujan abu yang lebat. Semua jalan air tersumbat lumpur. Pertambahan tanah pada pantai juga makin memperburuk keadaan masalah drainase yang sudah dalam keadaan tak baik.

Garis pantai berpindah sekitar 75 meter ke arah laut dalam waktu sebulan, yang setengahnya terjadi pada tanggal 4 dan 5 Januari sesudah letusan Gunung Salak itu. Setiap banjir, lumpur menyumbat jalan air kembali, padahal pada musim kemarau sebelumnya dikeruk dengan susah payah. Cara melancarkan jalan air dengan pengerukan itu hanya bisa bertahan beberapa tahun, sehingga orang berdaya untuk mengatasi masalah banjir yang datang setiap musim hujan.

Pencemaran oleh kilang tebu

Pada waktu ini pencemaran air sudah mulai menjadi masalah. Pengendapan lumpur di kali dan saluran lainnya kecuali disebabkan oleh sebab-sebab alami jugaditambah dengan adanya kilang-kilang gula dan persawahan di luar kota. Kilang-kilang gula membutuhkan air, sebab itu selalu dibangun di tepi air, terutama tepi Ciliwung. Semua produk limbahannya, terutama ampas tebu dibuang ke kali. Juga konon meluasnya areal persawahan di luar kota menjadi penyebab pengotoran air sungai. Ada catatan dari tahun 1701 di daerah hulu Ciliwung, yang waktu itu tiada sawahnya, airnya jernih, hilirnya di daerah Seringsing sudah kotor dan berlumpur.

Untuk membebaskan saluran-saluran dari lumpur dipakai cara-cara yang bersahaja. Dalam tahun 1685 di terusan dekat Kasteel sudah ada alat pengeruk mekanik, tetapi agaknya kurang berhasil. Kalau kompeni harus turun tangan sendiri, mereka mengerahkan narapidana yang melakukan pengerukan dengan tangan dan alat seperti pacul dan keranjang.

Sejak tahun 1700 dipergunakan tenaga pekerja rodi dari daerah Karawang, Ciasem, Pamanukan, dan Cirebon. Tetapi Kompeni hanya mau mengurusi daerah yang langsung menyangkut kepentingannya sendiri seperti sekitar Kasteel dan terusan pelabuhan, sedang untuk terusan-terusan  lain, para penduduk sendiri harus mengurusnya.