Find Us On Social Media :

31 Tahun Tragedi Chernobyl: Himbauan Tiga Hari Mengungsi Ternyata Berubah Menjadi 31 Tahun

By Moh Habib Asyhad, Rabu, 26 April 2017 | 15:30 WIB

30 Tahun Tragedi Chernobyl: Kembali ke Zona Bahaya Chernobyl Setelah 30 Tahun

Intisari-Online.com - Tragedi Chernobyl telah mengubah semua kehidupan warga Pripyat—kota terdekat dari reaktor nuklir di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Chernobyl: kehidupan, kegembiraan, dan keluarga, dan lain sebagainya.

(Baca juga: Gotham Shield, Operasi Khusus yang Disiapkan AS untuk Hadapi Serangan Nuklir, Termasuk dari Korut)

Setelah 31 tahun, beberapa orang memutuskan kembali ke kota yang masuk zona berbahaya Chernobyl ini. Bukan untuk tinggal, tapi untuk berdamai dengan masa lampau.

Pagi 26 April 1986 itu, tak seorang pun mengira bahwa ledakan di reaktor nuklir nomor empat di PLTA Chernobyl akan berubah menjadi bencana nuklir terbesar sepanjang sejarah. “Waktu itu begitu panas, tapi cuaca sangat baik,” ujar Elena Kuprianova yang berusia 12 tahun ketika dievakuasi dari Pripyat waktu itu.

Sejak itu, kota dengan sekitar 50 ribu penduduk ditetapkan sebagai bagian dari zona eksklusi dan tetap tak berpenghuni hingga sekarang. 

(Baca juga: Bungker Super Mahal Ini Diklaim Sanggup Menghadapi 20 Kiloton Ledakan Nuklir, Harganya Bikin Kita Menganga)

“Semua pohon-pohon sedang mekar dan saya pikir, ‘apa benar ada radiasi?’ Terlebih cuaca sangat baik di luar, dan Anda tidak akan melihat (tanda) apa-apa,” tambah Elena.

 

Keluarga Elena dan sebagian besar warga kota lalu dievakuasi menggunakan bus. Mereka hanya diperintahkan untuk membawa barang seperlunya karena evakuasi akan berlangsung selama tiga hari saja. Mereka hanya membawa beberapa dokumen dan sebuah koper kecil.

“Ini sangat menyakitkan bahwa begitu banyak orang yang hidupnya hancur, bahwa, kota yang begitu indah ini harus ditinggalkan. Sulit rasanya di jiwa,” katanya.

Suami Zoya Perevozchenko, Valeriy, adalah seorang mandor di reaktor yang meledak itu. Zoya tidak tahu apa-apa, tapi ia merasa aneh ketika suaminya tak kunjung pulang dari jaga malam. Ia juga merasakan bahwa udara sekitar tiba-tiba menghangat dan melihat orang-orang berlarian menggunakan masker.

“Tapi merek tidak menjelaskan semuanya kepada kami langsung, itu semua rahasia. Dan anak-anak berjalan di sekitar tanpa mengenakan alas kaki di genangan air,” tutur Zoya.

Siangnya, ia menemukan suaminya berbaring di sebuah klinik lokal. Ia telah mendapatkan pengobatan dengan dosis tinggi akibat radiasi yang telah membakar kulit wajahnya. Ia kemudian diterbangkan ke  Moskow untuk mendapatkan pengobatan yang lebih laik, tapi meninggal 45 hari kemudian—satu dari 31 korban tewas akibat radiasi.