Penulis
Waktu kecil, suka berantem dengan murid Belanda dan membuatnya dikeluarkan dari sekolah. Besarnya culik Bung Karno dan memaksanya segera baca proklamasi.
Artikel ini pertama kali tayang di Majalah HAI pada Juli 1986 dengan judul "Sukarni Kartodiwirjo"
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Onlone.com -Dwitunggal, Sukarno-Hatta, mungkin saja tidak memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Kenapa?
Keadaan politik di tanah air menjelang tanggal itu sungguh tidak menentu. Ada beberapa kondisi yang membuat kedua pemimpin rakyat Indonesia itu ragu-ragu.
Di antaranya janji pihak Jepang yang akan "memberi" kemerdekaan lewat sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), antara tanggal 16 sampai 23 Agustus 1945.
Janji jepang itu tentu saja tidak bisa diterima oleh golongan pemuda. Kelompok muda ini tidak ingin kemerdekaan diberikan sebagai hadiah. Harus direbut!
Apalagi begitu Jepang bertekuk lutut kepada sekutu pada tanggal 14 Agustus. Makin keras desakan kelompok pemuda kepada Soekarno dan Hatta agar segera menyatakan kemerdekaan.
Di manakah Sukarni pada waktu itu?
Sukarni dan segolongan pejuang pemuda yang telah berapat di jalan Cikini Raya 71, pada tanggal 15 Agustus memutuskan memaksa Soekarno dan Hatta.
Malam harinya, bersama beberapa rekan pemuda, Sukarni menculik Sukarno dan Hatta dari tempat kediaman mereka di Jakarta. Mereka mengendarai mobil dan membawa dwitunggal itu ke Rengasdengklok, kota kecil yang jaraknya 70 kilometer dari Jakarta.
Di kota itulah Bung Karno dan Bung Hatta didesak untuk segera menyusun teks proklamasi dan mengumumkannya. Perdebatan seru terjadi antara golongan "pejuang tua" dengan kelompok "pejuang muda".
Hingga kemudian muncullah kesepakatan, proklamasi kemerdekaan harus dilaksanakan paling lambat tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta.
Terus terang, kemerdekaan Indonesia hanya tinggal waktu saja. Tapi, pada kondisi yang serba kacau itu, bukankah tidak mungkin hari kemerdekaan akan tertunda lama?
Nah! Di sinilah Sukarni beserta segolongan pemuda cepat bereaksi mengambil inisiatif. Dia reaksioner, emosional, pantang menunggu. Dan tentu saja patriot.
Dari Dusun ke Pergerakan
Sukarni lahir Kamis Wage, 14 Juli 1916, di desa Sumberdiren, Blitar, Jawa Timur. Ayahnya Kartodiwirjo dan ibunya bernama Supiah.
Nama Sukarni yang diberikan kedua orangtuanya bukannya tanpa arti. Su artinya lebih, dan Karni berarti banyak memperhatikan. Sehingga dia memang diharapkan oleh kedua orangtuanya itu untuk lebih banyak memperhatikan nasib rakyat Indonesia yang telah berabad-abad terjajah.
Konon ayahnya, Kartodiwirjo, seorang warok. Yakni jagoan dalam ilmu beladiri. Tentu saja Sukarni, juga saudara-saudaranya dapat gemblengan keras dari sang ayah.
Dan warok Kartodiwirjo, meskipun orang dusun, dia berpikiran maju. Semua anaknya dimasukkan ke sekolah Mardisiswo (setaraf Taman Siswa) di Blitar.
Di sekolah Mardisiswo inilah Sukarni mulai berkenalan dengan nasionalisme. Pimpinan sekolah, Moh. Anwar yang menyusupkan semangat antipenjajah itu kepada Sukarni.
Begitu dia menginjak dewasa mulai terlihat ketidaksenangannya kepada orang Belanda. Tak jarang ia berbaku hantam dengan anak-anak Belanda. Dan selalu menang.
Tentu saja, karena dia dibekali ilmu silat yang paten oleh ayahnya.
Sementara itu, Sukarni juga menyempatkan diri mengajar anak-anak di desanya. Belajar bahasa Belanda setiap malam. Dan hanya diterangi dua buah lampu tempel.
Bakatnya mengumpulkan orang nampak nyata ketika dia mendirikan perkumpulan Persatuan Pemuda Kita. Padahal saat itu usianya baru 14 tahun.
Kegiatannya di luar sekolah membawa dia jadi ketua Indonesia Muda cabang Blitar. Dan makin membawa dia giat mengerahkan massa pada rapat-rapat umum. Tapi, polisi rahasia Belanda sudah mencium segala tingkah Sukarni. Dia mulai diawasi.
Dari Blitar ke Kalimantan
Lantaran kegiatannya yang dianggap Belanda mulai berbahaya, Sukarni nyaris dipecat dari MULO. Tapi atas jasa baik direktur sekolahnya, Sukarni dapat juga ijazah meskipun dia harus cabut dari MULO.
Sukarni kemudian melanjutkan sekolah ke Yogyakarta. Dilanjutkan di Jakarta dan memilih sekolah guru. Atas bantuan Ibu Wardoyo (kakak Bung Karno), Sukarni bisa sekolah di Bandung jurusan jurnalistik.
Di sinilah dia mulai akrab dengan Bu Karno.
Aktivitasnya di organisasi Indonesia Muda semakin meningkat. Bahkan Sukarni membentuk perkumpulan baru. Yakni Persatuan Pemuda Kita (PPK). Suatu organisasi pemuda yang menampung tidak hanya siswa sekolah lanjutan belaka seperti Indonesia Muda. Tapi juga pemuda lulusan sekolah dasar, dan semacamnya.
Polisi rahasia Belanda alias PID (Politieke Inlichtingen Dienst) makin mengawasi gerakan Sukarni. Dia yang waktu itu tahun 1934 sudah menjadi ketua pengurus besar IM tidaklah kendor semangatnya. Malah kian revolusioner.
Sehingga 19 Juni 1936, PID menggerebek anggota-anggotanya dan pengurus besar IM. Tapi Sukarni berhasil lolos dan menghilang dari penangkapan.
Barulah menjelang perang di Pasifik meletus, Sukarni tertangkap di suatu kapal di pelabuhan Samarinda, Kalimantan Timur. Rencana Belanda untuk mengirimnya ke penjara Digul gagal lantaran tentara Jepang keburu masuk ke Indonesia. Dan ini berarti kebebasan buat Sukarni.
Dari penjara ke penjara
Perang Pasifik meletus pada tanggal 8 Desember 1941. Sukarni yang saat itu bekerja di kantor Berita Antara ditangkap kembali oleh Belanda.
Juga beberapa rekannya yang dianggap Belanda "berbahaya". Di antaranya ada Adam Malik, Pandu Kartawiguna, dan sederet pejuang muda lainnya.
Pertama kali Sukarni dan teman-temannya ditahan di Pasar Baru, Jakarta. Setelah itu diangkut ke Sukabumi. Kemudian disekap di Garut, dan dibawa lagi ke Sukabumi.
Tanggal 2 Maret 1942, Sukarni dan rombongan tahanan akan dikirim ke Australia. Tapi baru sampai di Nusakambangan, Cilacap tempat berlabuh kapal yang akan membawa mereka ke Australia digempur Angkatan Udara Jepang.
Tanggal 9 Maret Belanda menyerah. Sukarni dan rekan-rekannya dibebaskan.
Dari Murba ke Duta Besar
Setelah meninggalkan tugas kewartawanannya, Sukarni bergiat lagi menyusun kader tenaga muda untuk kepentingan perjuangan kemerdekaan. Gedung di Menteng No. 31, Jakarta dipakainya sebagai markas besar.
Di tempat itulah berkumpul tokoh-tokoh pejuang Angkatan 45, macam, Soekarno, Hatta, Muh. Yamin, Mr. Sunarjo, Mr. Iwa Kusumasumantri, Mr. Amir Sjarifuddin, dan lainnya.
Masih pada masa pendudukan Jepang, Sukarni berkenalan dengan Tan Malaka dan PARI (Partai Republik Indonesia)-nya. Kepada Tan Malaka inilah Sukarni banyak belajar mengenai perjuangan menuju Indonesia merdeka.
November 1948, Partai Murba berdiri. Dan Sukarni diangkat jadi ketua umum. Di samping duduk sebagai anggota Badan Pekerja KNI Pusat. Dalam pemilihan umum pertama, tahun 1955, Sukarni terpilih sebagai anggota konstituante.
Tahun 1961, oleh Bung Karno dia dikirim ke Peking, RRC. Jadi duta besar. Dan baru kembali lagi ke tanah air pada Maret 1964.
Pada masa itu Partai Komunis Indonesia (PKI) makin nampak berkuasa di peta politik Indonesia. Dan pada suatu hari di bulan Desember 1964, Sukarni sudah mengingatkan Bung Karno agar berhati-hati terhadap PKI.
Tapi apa yang diterimanya? Partai Murba malah dibekukan pada Januari 1965. Sukarni juga dipenjarakan, karena difitnah akan membunuh presiden Soekarno.
Dari DPA ke Kalibata
Barulah setelah meletus peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S), dan tampilnya Orde Baru, Sukarni dibebaskan dan Partai Murba direhabilitasi. Saat itu sudah tanggal 17 Oktober 1966.
Tahun 1967, Sukarni ditunjuk jadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Inilah jabatan resminya yang terakhir.
Akhirnya Sukarni yang bicaranya selalu tegas itu tetap tidak kuasa menolak panggilan Illahi. Pada 7 Mei 1971, Sukarni kembali kepadaNYA. Pemegang bintang jasa Mahaputra kelas empat ini dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta.