Penulis
Bukan perkara mudah menentukan di mana letak pasti pusat Kota Jayakarta yang didirikan oleh Fatahillah. Diperlukan kejelian sejarah untuk melakukannya.
Artikel ini ditulis olehP.A. Heuken SJ/pengamat sejarah Jakarta dengan judul "Menelusuri Letak Kota Jayakarta" untuk Intisari November 1996
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Kawasan Kota Tua (biasa disebut kawasan Kota) terus ditata sedemikian rupa. Salah satu tujuannya supaya tempat yang sarat nilai sejarah ini bisa dijadikan tujuan wisata yang nyaman, aman, bersih, dan tertata rapi.
Berbicara Kota biasanya merujuk dua tempat: pusat Kota Batavia yang sudah jelas lokasinya (di sekitar Museum Fatahillah sekarang) dan pusat kota Jayakarta yang didirikan oleh Fatahillah. Untuk yang kedua, masih meraba-raba, di mana sejatinya lokasinya?
Bagaimanapun juga, tidak mudahmenentukan dengan tepat letak Kota Jayakarta yang didirikan Fatahillah di atas puing Bandar Sunda Kelapa (1527).
Pelabuhan Kerajaan Sunda Pajajaran ini pasti terletak di sebelah selatan rel kereta api dan Jalan Tol Tanjung Priok - Cengkareng (Jalan Tol Pelabuna). Sebab, Tugu Padrao dipasang di pantai Sunda Kelapa oleh pelaut Portugis setelah perjanjian dengan para penguasa bandar tersebut diresmikan (1522).
Tugu ini ditemukan kembali pada 1918 di pojok Prinsenstraat - Groenestraat (kini Jl. Cengkeh dan Kali Besar Timur I). Benda cagar budaya itu saat ini disimpan di Museum Nasional yang dikenal sebagai Museum Gajah.
Jadi, Kota Jacatra atau Jayakarta dimulai di sebelah selatan garis tersebut di atas. Mulut Sungai Ciliwung yang menjadi pelabuhannya terdapat di sekitar jembatan Gantung dekat Hotel Omni Batavia (sekarang Mercure Jakarta Batavia).
Pada masa itu Ciliwung belum lurus seperti Kali Besar sekarang, melainkan berbelok-belok menuju Teluk Jakarta.
Antara mulainya Kota Jayakarta (1517), yang berada di bawah kekuasaan sultan Banten, dan penghancurannya oleh tentara kompeni Belanda (1619), bandar ini berkembang terutama di tepi barat Ciliwung. Namun, di tepi timur terdapat juga beberapa kampung, terutama kampung pedagang Cina, kurang-lebih di antara Kali Besar dan Jl. Tongkol sekarang.
Karena pantai laut selalu mundur ke arah utara, maka daerah sekitar 100 m di sebelah utara rel kereta api baru dapat dihuni orang sejak awal abad 17. Tetapi daerah antara Jl. Pakin dan batas kota tersebut hanya digunakan untuk pos pabean dan kubu pertahanan guna menjaga pelabuhan.
Pada 1615, Pangeran Jayawikarta, bupati ketiga Jayakarta, memberikan izin kepada orang Inggris untuk mendirikan rumah dan gudang serta kubu dengan meriam kira-kira 50 m di sebelah selatan pos pabean, yang letaknya sedikit di sebelah selatan Menara Syahbandar sekarang, persis di pantai pada masa itu.
Kubu Inggris ini persis di tepi Ciliwung dan menghadap gedung Belanda, yang dinamai Mauritius. Gedung ini, bersama gedung Nassau, merupakan awal benteng atau Kastil Batavia yang pertama di tepi timur.
Guna melindungi kota dan keratonnya Pangeran Jayawikarta membangun tiga kubu dengan meriam di sebelah timur laut kotanya. Dari tempat-tempat itu meriamnya ditembakkan kepada orang Belanda di dalam kastil, yang jauhnya sekitar 130 m.
Sering disalah tafsirkan
Untuk menentukan pusat Kota Jayakarta, yakni alun-alun dan masjid serta dalem (keraton) pangerannya, sebaiknya diambil lukisan Batavia dari tahun 1629, yang memperlihatkan letak rumah serta gudang Inggris yang kedua (1620 - 1628).
Menurut dokumen-dokumen dari tahun 1620, rumah Inggris itu dibangun di atas tanah bekas keraton tersebut.
Jadi, dapat dipastikan, letak pusat Kota Jayakarta di sebelah utara dan selatan Jl. Kopi sekarang (dahulu Utrechtsestraat) di tepi barat Kali Besar, dengan mengingat bahwa Ciliwung sampai tahun 1630/32 mengalir ± 20 m di sebelah timur Kali Besar tersebut.
Hal ini bisa diketahui antara lain dari catatan sejarah, bahwa Oude Hollandse Kerk (Gereja Belanda Lama) didirikan pada tahun 1640 persis di atas bekas tikungan Ciliwung yang diuruk. Hal ini menjadi alasan mengapa dinding gereja tersebut cepat retak.
Tempat ini sekarang digunakan oleh Museum Wayang, yang dibangun pada tahun 1938 sebagai Museum Batavia (Jakarta).
Jadi, dapat disimpulkan secara pasti bahwa:
Pertama, Bandar Sunda Kelapa dan Jayakarta terletak di sebelah selatan rel kereta-api atau jalan tol sekarang. Kedua, Fatahillah mendarat (1527) di pantai yang terbentang kurang-lebih pada garis rel kereta api tersebut dan seluruh daerah ke Utara pada masa itu masih berupa laut, sehingga sebuah patung peringatannya dari segi historis hanya dapat ditempatkgn di sebelah selatan garis rel tersebut.
Seandainya Fatahillah mendarat lebih ke Utara, dia pasti mati tenggelam di laut. Para pelaut kapal Portugis yang dipimpin Duarte Coelho dipukul mundur di pantai ini juga (1527).
Ketiga, pusat Jayakarta (masjid, alun-alun, dalem) terletak di sebelah utara dan selatan Jl. Kopi, di tepi barat Kali Besar. Sedangkan Kota Jayakarta terbentang kira-kira dari tepi barat Ciliwung (yang pada masa itu tidak sama dengan Kali Besar sekarang) sampai ke Jl. Tiang Bendera (di barat) dan kurang-lebih dari Jl. Roa Malaka (selatan) sampai 100 m di sebelah utara jalan tol yang baru (utara).
Keempat, pada masa Pangeran Jayawikarta dan intervensi Banten (1619), garis pantai berada sedikit lebih utara dari Jl. Pakin dan jembatan di sebelah timur Menara Syahbandar lurus menuju ke arah timur.
Daerah Museum Bahari, Pasar Ikan, Jl. Lodan, dan Pelabuhan Sunda Kelapa sekarang masih laut lepas, walaupun dangkal. Daerah ini, bersama Kampung Luar Batang, Jl. Pluit, dan kantor-kantor Pelabuhan Sunda Kelapa sekarang, masih merupakan rawa-rawa dan tanahnya baru diuruk antara tahun 1620 dan 1672.
Daerah itu semula digunakan sebagai gudang rempah-rempah (kini Museum Bahari), pos pabean ("batang") dan tempat penumpukan kayu.
Orang Jawa dari Cirebon, yang bertanggung jawab memperdalam pelabuhan menjadi orang pertama yang menetap di Kampung Luar Batang, artinya, di luar daerah sebelah utara pos pabean, tempat pelabuhan ditutup dengan "batang" pada waktu malam.
Itulah kira-kira letak persisnya letak pusat Kota Jayakarta yang didirikan oleh Fatahillah setelah menaklukkan Sunda Kelapa. Bagaimana?