Penulis
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com -Di antara gemerlap bintang-bintang pemikiran yang menghiasi langit Indonesia di era pergerakan, terdapat satu nama yang bersinar dengan cahaya kebijaksanaan yang khas: Prof. Dr. Soepomo.
Seorang begawan hukum, negarawan, dan pemikir ulung yang turut merajut benang-benang konstitusi Indonesia.
Pandangannya tentang konstitusi, bagaikan sebuah simfoni kebangsaan, mengalun merdu, harmonis, dan penuh makna, mengantarkan Indonesia menuju cita-cita luhur kemerdekaan.
Ia menamatkan pendidikan hukum di Batavia Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) pada tahun 1927, kemudian melanjutkan studi doktoralnya di Universitas Leiden, Belanda, dan meraih gelar Meester in de Rechten pada tahun 1927.
Di negeri kincir angin itu, ia mendalami ilmu hukum adat di bawah bimbingan Cornelis van Vollenhoven, seorang ahli hukum adat terkemuka.
Sekembalinya ke tanah air, Soepomo mengabdikan dirinya sebagai dosen di almamaternya, yang kemudian berganti nama menjadi Rechtshogeschool te Batavia.
Ia juga aktif menulis dan menyebarkan gagasan-gagasannya tentang hukum dan ketatanegaraan melalui berbagai forum.
Soepomo muda, dengan semangat patriotisme yang membara, memiliki keyakinan teguh bahwa Indonesia harus merdeka dan berdaulat.
Keyakinan ini membawanya terlibat dalam kancah pergerakan nasional. Soepomo aktif dalam berbagai organisasi kepemudaan, seperti Jong Java dan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI).
Ia juga menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dua badan yang berperan penting dalam merumuskan dasar negara dan menyusun konstitusi Indonesia.
Di tengah pergolakan sejarah yang menentukan nasib bangsa, Soepomo tampil dengan gagasan-gagasan brilian tentang konstitusi.
Baginya, konstitusi bukanlah sekadar sebuah dokumen legal formal, melainkan cerminan jiwa dan cita-cita bangsa.
Konstitusi adalah sarana untuk mewujudkan Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
"Konstitusi harus dijiwai oleh semangat kekeluargaan dan gotong royong, yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia,"
demikian Soepomo menegaskan dalam pidatonya di sidang BPUPKI pada 31 Mei 1945. Ia menolak individualisme dan liberalisme yang dinilai bertentangan dengan jiwa ketimuran.
Ia mempelajari konstitusi berbagai negara, menganalisis kelebihan dan kekurangannya, dan mencari bentuk yang paling sesuai dengan karakter bangsa Indonesia.
Soepomo menyadari bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk, baik dari segi suku, agama, bahasa, maupun budaya.
Oleh karena itu, konstitusi harus mampu mengakomodasi keberagaman tersebut dan menciptakan kesatuan nasional.
Soepomo menolak sistem mayoritas-minoritas yang dinilai dapat menimbulkan diskriminasi dan konflik. Ia menganjurkan musyawarah untuk mufakat sebagai prinsip pengambilan keputusan.
"Konstitusi harus menjadi payung besar yang melindungi semua golongan, tanpa terkecuali," tegas Soepomo.
Ia bercita-cita mewujudkan sebuah negara yang adil dan makmur, di mana setiap warga negara memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk berkembang.
Soepomo juga menekankan pentingnya pemerintahan yang kuat dan stabil.
Ia berpendapat bahwa pemerintah harus memiliki wewenang yang cukup untuk melaksanakan tugas-tugasnya, tetapi juga harus dibatasi oleh konstitusi dan hukum.
Soepomo mengingatkan akan bahaya tirani dan despotisme, yang dapat menghancurkan demokrasi dan merampas hak-hak rakyat.
"Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut," kata Lord Acton, seorang sejarawan Inggris, yang kutipannya sering diulang oleh Soepomo.
Ia menganjurkan sistem pemerintahan presidensial dengan sistem checks and balances, di mana kekuasaan dibagi dan diawasi oleh lembaga-lembaga negara.
Gagasan-gagasan Soepomo tentang konstitusi tertuang dalam pidatonya di sidang BPUPKI, yang kemudian dikenal sebagai "Risalah Sidang BPUPKI."
Soepomo menyadari bahwa konstitusi bukanlah dokumen yang mati dan kaku. Ia harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman dan menjawab tantangan baru.
Oleh karena itu, Soepomo menekankan pentingnya interpretasi dan amandemen konstitusi.
"Konstitusi harus dibaca dan ditafsirkan sesuai dengan konteks zamannya," ujar Soepomo.
Ia mengingatkan bahwa konstitusi bukanlah kitab suci yang tidak boleh diubah. Amandemen konstitusi diperlukan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan aspirasi rakyat.
Setelah Indonesia merdeka, Soepomo terus mengabdikan dirinya untuk negara. Ia menjabat sebagai Menteri Kehakiman dalam Kabinet Presidensial pertama dan kedua.
Ia juga aktif dalam berbagai organisasi internasional, seperti Mahkamah Internasional dan Komisi Hukum Internasional.
Soepomo meninggal dunia pada 12 September 1958 di Jakarta. Meskipun telah tiada, namun pemikiran dan gagasannya tentang konstitusi tetap relevan hingga saat ini.
Soepomo adalah salah satu pendiri bangsa yang telah mewariskan sebuah pondasi kokoh bagi Indonesia merdeka.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---