Penulis
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com -Nyala api perlawanan berkobar di jantung kota Surabaya.
Di tengah gemuruh senjata dan jerit prajurit yang gugur, seorang perempuan tegar berdiri, suaranya menggema di antara reruntuhan, menjadi penyemangat bagi para pejuang.
Lahir di Glasgow pada 18 Februari 1898, takdir membawanya jauh dari tanah kelahirannya, menuntunnya ke pulau dewata Bali, di mana ia menemukan cinta, jati diri, dan panggilan jiwanya.
Di Bali, Muriel bertemu dengan Cokorde Gde Rake Soekawati, seorang bangsawan dari Kerajaan Klungkung.
Cinta mereka bersemi, melampaui batas budaya dan ras. Muriel diangkat menjadi anak oleh keluarga kerajaan, diberi nama K'tut Tantri, dan memeluk agama Hindu.
Ia membenamkan diri dalam budaya Bali, mempelajari bahasa, tarian, dan adat istiadat setempat.
Namun, ketenangan hidup di pulau dewata terusik oleh derap langkah penjajahan. Perang Dunia II meletus, Jepang menduduki Indonesia, dan Muriel menjadi saksi bisu penderitaan rakyat di bawah kekuasaan asing.
Api nasionalisme yang membara dalam dirinya mendorongnya untuk turut berjuang, menyuarakan perlawanan melalui tulisan-tulisannya.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Muriel pindah ke Surabaya, kota yang menjadi medan pertempuran sengit antara pejuang Indonesia dan pasukan Sekutu.
Di sana, ia bergabung dengan Radio Pemberontakan Republik Indonesia, suaranya menjadi senjata ampuh melawan propaganda musuh.
Dengan nama samaran "Surabaya Sue", Muriel mengudara, menyampaikan berita perjuangan kepada dunia internasional, menggalang dukungan, dan membakar semangat juang arek-arek Suroboyo.
Siaran-siarannya yang berani dan tajam mengundang decak kagum sekaligus kemarahan pihak Sekutu. Ia menjadi target buruan, namun tak pernah gentar.
"Ini adalah Surabaya Sue! Sekutu telah membombardir rumah sakit dan membunuh dokter-dokter kami! Mereka menembaki perempuan dan anak-anak! Dunia harus tahu kekejaman ini!" serunya lantang melalui gelombang radio.
Suaranya yang berapi-api menggetarkan hati para pendengarnya, baik di dalam maupun luar negeri.
Ia menjadi simbol perlawanan, sosok perempuan tangguh yang tak kenal takut di tengah kobaran api peperangan.
Muriel tak hanya berjuang di balik mikrofon. Ia juga terjun langsung ke medan laga, merawat para pejuang yang terluka, menyelundupkan senjata, dan mengirimkan pesan-pesan rahasia.
Ia menjadi mata dan telinga bagi para gerilyawan, bergerak lincah di antara reruntuhan kota, mengelabui tentara musuh.
"Saya mungkin dilupakan oleh Indonesia, tapi Indonesia adalah bagian hidup saya," tulisnya dalam memoarnya, Revolt in Paradise.
Pengabdiannya kepada Indonesia tak pernah pudar, bahkan setelah kemerdekaan diraih.
Ia terus menulis, berkarya, dan memperkenalkan Indonesia kepada dunia. Ia menjadi duta budaya, jembatan penghubung antara Timur dan Barat.
Muriel Stuart Walker, perempuan Skotlandia yang memilih Indonesia sebagai tanah airnya. Ia adalah pejuang, jurnalis, penulis, dan duta budaya.
Kisahnya adalah bukti nyata bahwa cinta tanah air tak mengenal batas ras dan kewarganegaraan. Ia adalah inspirasi bagi perempuan Indonesia, simbol keberanian dan pengabdian yang tak terlupakan.
Sumber:
Tantri, K'tut. (1960). Revolt in Paradise. London: Heinemann.
Vickers, Adrian. (2005). A History of Modern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.
Ricklefs, M.C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c.1300. Basingstoke: Palgrave Macmillan.
*