Penulis
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com - Angin samudera berbisik di antara dedaunan pohon kelapa yang menjulang tinggi di pesisir Aceh.
Aroma kemenyan semerbak dari Masjid Raya Baiturrahman berbaur dengan aroma asin air laut, menciptakan simfoni khas Tanah Rencong.
Namun, di balik keindahan alam dan kedamaian yang tampak, bergelora semangat perlawanan yang membara di dada rakyat Aceh.
Mereka menginjakkan kaki di Malaka, kota pelabuhan strategis yang menjadi jalur perdagangan rempah-rempah, menguasainya dengan kekuatan senjata, dan menebar benih-benih imperialisme.
Malaka, yang sebelumnya menjadi pusat perdagangan yang ramai dan makmur, kini merintih di bawah cengkeraman Portugis.
Rakyat Aceh, yang dikenal dengan keberanian dan semangat jihadnya, tak tinggal diam. Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar (1537-1571), sang penguasa Aceh yang bijaksana dan pemberani, menyerukan jihad melawan Portugis.
Baginya, penjajahan Portugis bukan hanya ancaman terhadap kedaulatan Aceh, tetapi juga penghinaan terhadap agama Islam.
Gelora Jihad di Tanah Rencong
"Wahai rakyat Aceh yang gagah berani!" seru Sultan Alauddin dalam pidatonya yang menggelegar di hadapan lautan manusia.
"Portugis, kaum kafir yang rakus dan kejam, telah merampas Malaka, saudara kita seiman! Mereka merampok kekayaan kita, menindas rakyat kita, dan menghina agama kita! Apakah kita akan tinggal diam menyaksikan kekejaman ini? Tidak! Kita harus bangkit melawan! Kita harus merebut kembali Malaka dan mengusir Portugis dari bumi pertiwi!"
Pidato Sultan Alauddin membakar semangat jihad rakyat Aceh.
Para ulama, panglima perang, hulubalang, dan rakyat jelata bersatu padu, siap mengorbankan jiwa dan raga demi membela agama, bangsa, dan tanah air.
Mereka berlatih keras, mengasah senjata, dan mempersiapkan armada perang.
Pada tahun 1537, armada perang Aceh yang dipimpin oleh Sultan Alauddin sendiri berlayar menuju Malaka. Pertempuran sengit tak terelakkan.
Deru meriam menggelegar, membelah langit biru. Kilatan pedang dan benturan baja menciptakan simfoni maut di medan laga.
Prajurit Aceh bertempur dengan gagah berani, pantang menyerah. Mereka bagaikan harimau yang terluka, semakin ganas ketika terdesak.
Namun, Portugis memiliki persenjataan yang lebih modern. Meriam-meriam mereka memuntahkan peluru-peluru besi yang mematikan.
Kapal-kapal perang mereka lebih besar dan kuat. Meskipun bertempur dengan gagah berani, Aceh belum berhasil merebut Malaka pada serangan pertama ini.
Kegagalan tersebut tidak mematahkan semangat rakyat Aceh. Mereka belajar dari pengalaman, menyusun strategi baru, dan memperkuat armada perang.
Sultan Alauddin menjalin aliansi dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, seperti Johor dan Demak, untuk bersama-sama melawan Portugis.
Perlawanan Aceh terhadap Portugis berlangsung selama puluhan tahun, diwarnai dengan berbagai pertempuran, intrik politik, dan diplomasi.
Aceh tidak hanya berjuang di medan perang, tetapi juga di bidang ekonomi.
Mereka melakukan blokade perdagangan terhadap Portugis, mencari dukungan dari negara-negara lain yang memusuhi Portugis, seperti Turki Utsmani, dan mengembangkan industri persenjataan sendiri.
Jejak Kepahlawanan
Salah satu tokoh penting dalam perlawanan Aceh terhadap Portugis adalah Laksamana Malahayati, seorang laksamana perempuan pertama di dunia.
Ia memimpin armada perang Aceh dalam beberapa pertempuran melawan Portugis dan berhasil menewaskan Cornelis de Houtman, seorang laksamana Portugis yang terkenal kejam.
Keberanian dan kehebatan Laksamana Malahayati menjadi inspirasi bagi para pejuang Aceh dan menjadi legenda yang terus dikenang hingga kini.
Perlawanan rakyat Aceh terhadap Portugis merupakan salah satu babak penting dalam sejarah Indonesia.
Perjuangan mereka menunjukkan semangat patriotisme, keberanian, dan kegigihan dalam melawan penjajah.
Meskipun Aceh tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka, perlawanan mereka telah melemahkan kekuatan Portugis dan menghambat ekspansi mereka di Nusantara.
Sumber:
Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Balai Pustaka, 2008.
Perlawanan Aceh terhadap Portugis, Denys Lombard, Kepustakaan Populer Gramedia, 2005.
Kerajaan Aceh: Sejarah, Budaya, dan Perdagangan, M. Adli Abdullah, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2001.
Laksamana Malahayati, Sri Mulyati, Grasindo, 2000.
Catatan:
Artikel ini merupakan narasi sejarah yang didasarkan pada sumber-sumber yang disebutkan di atas. Beberapa detail mungkin berbeda dengan versi sejarah lainnya. Tujuan artikel ini adalah untuk memberikan gambaran umum tentang perlawanan rakyat Aceh terhadap Portugis pada pertengahan abad ke-16 dengan gaya bahasa yang puitis dan elegan.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---