Penulis
Soedirman sejak kecil bercita-cita menjadi guru agama. Dia juga aktif di Hizbul Wathan milik Muhammadiyah. Tapi siapa sangka, dia justru menjadi jenderal dan panglima besar TNI.
Artikel ini digubah dari tulisan berjudul "Jendral Soedirman" oleh Retnowati di Majalah HAI, 1980
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com - Akhir 1914,suami-istri Karsid Kartowirodji dan Sijem datang ke Rembang, Purbalingga. Mereka menuju ke rumah camat Rembang, Pak Tjokro. Pada saat itu Sijem sedang mengandung. Pak Radji ini mencari nafkah dengan menjual genteng keluar-masuk kampung.
Tanggal 24 Januari 1915 Siyem melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Soedirman.
Tak ada yang istimewa pada Soedirman. Dia sama dengan kebanyakan anak yang lahir di desa. Dia diangkat anak oleh pak Tjokro. Selain karena tidak punya anak juga karena dia ingin membantu keluarga pak Radji. Dia juga berniat menyekolahkan Soedirman.
Tetapi pada saat Soedirman baru bisa merangkak, Pak Tjokro pensiun. Mereka pun pindah ke Kampung Kemanggisan, Cilacap, bersama kedua orangtuanya. Di Cilacap, kehidupan Pak Tjokro tidak sebaik sebelumnya. Karena itualah dia menjadi agen mesin jahit Singer.
Ikut HW
Soedirman mulai masuk sekolah pada 1925, tepatnya di Hollands Inlandsche School (HIS) di Purwokerto. Itu adalah sekolah yang setingkat sekolah dasar. Di HIS dia termasuk murid yang biasa-biasa saja, pintar tidak, bodoh juga tidak.
Meski begitu, Dirman termasuk murid yang rajin.Setiap pelajaran dia ikuti dengan sungguh-sungguh. Hampir tidak pernah membolos. Yang paling dia sukai adalah pelajaran agama.
Terkait agama, Dirman termasuk sosok yang taat. Karena itulah teman-temannya memanggil "kajine" alias haji. Selain itu, Dirman kecil juga suka bermain perang-perangan dan sepakbola meskipun terkadang kasar mainnya.
Pulang sekolah Dirman lebih banyak membantu orangtuanya. Mulai dari menyapu, membersihkan kalaman, bahkan sampai mengisi air di bak mandi, tempayan tempat air minum, juga menyiram bunga. Karena itulah dia tak punya banyak waktu untuk bermain dengan teman-teman sebayanya.
Meski ayah angkatnya mantan camat, Dirman tidak tidur di atas tempat tidur yang beralaskan kasur. Jika ada tamu yang menginap, dia akan menyerahkan tempat tidurnya itu kepada sang tamu. Dia sendiri akan tidur di lantai dan selalu tidursetelah tengah malam. Saat makan, dia tidak pernah duduk di depan meja makan, cukup duduk di dapur.
Di sekolah, Soedirman aktif di Hizbul Wathan, sebuah organisasi kepanduan di bawah Muhammadiyah. Di situ dia belajarbaris-berbaris seperti tentara, memasak, dan menjahit pakaian. Di HW dia juga belajar sifat tolong-menolong terhadap sesamanya.
Suatu ketika, HWmengadakan kemah di Dieng. Pada malam hari udara menjadi dingin sekali. Para anggota tidak tahan lagi dan mereka mengungsi ke rumah-rumah penduduk dan penginapan terdekat.
Hanya Soedirman yang tinggal di kemah. Dia menjawab pertanyaan kawan-kawannya dengan berkata: "Kita harus membiasakan diri hidup dalam kesulitan. Siapa tahu kita nanti menemukan keadaan yang lebih sulit lagi. Kalau sudah terbiasa, kita tidak akan merasa canggung lagi".
Setelah lulus HIS pada 1931, Soedirman melanjutkan sekolah di Taman Siswa. Tapi dua tahun kemudian di pindah ke Wiworotomo--karena Taman Siswa ditutup oleh Ordonasis Sekolah Liar, sebuah sistem yang dibuat oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Setelah lulus dari Wiworotomo, Soedirman melanjutkan ke Perguruan Muhammadiyah di Solo. Di situ dia ingin menjadi guru agama. Tapi sayang,Pak Tjokro meninggal sebelum dia berhasil menyelesaikan sekolahnya. Dia pun terpaksa kembali ke Cilacap danmemutuskan bekerja sebagai guru di sana.
Masuk militer
Pada 1942 Jepang masuk Indonesia. Soedirman ketika itu masih mengajar di Muhammadiyah. Selain menjadi guru dia juga aktif dalam bidang koperasi. Pada waktu Jepang membentuk Peta di daerah Banyumas kesempatan itu tidak disia-siakan olehnya. Maka ketika Jepang akhirnya membom Banyumas, mulailah Soedirman mengangkat senjata.
Jepang masih di Indonesia pada waktu kemerdekaan diproklamasikan. Di mana-mana terjadi pertempuran sengit melawan Jepang. Bersama-sama dengan beberapa kawannya Soedirman membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di daerah Banyumas.
Soedirman menjadi komandan resimen. Kemudian oleh Kepala Staf Umum TKR, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo, dia diangkat menjadi Komandan Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel.
Sebagai komandan divisi, dia menghadapi tugas yang sangat berat. Perebutan senjata dan pertempuran melawan Jepang terjadi di mana-mana juga di Banyumas. Mereka dapat mengumpulkan senjata banyak dan kemudian dikirim ke daerah-daerah lain. Inilah jasa pertama Soedirman setelah Indonesia merdeka.
Kolonel Soedirman dikirim ke Magelang untuk melawan tentara Inggris dan Belanda. Ketika tentara Inggris berhasil mundur ke Ambarawa, dia mengumpulkan seluruh komandan pasukan untuk mengatur siasat penyerangan.
Pertempuran ini memakan waktu empat hari terus menerus. Tentara Inggris berhasil dipukul mundur sampai Semarang. Kemenangannya ini makin menambah harum nama Soedirman.
Karena jasa-jasanya itulah maka pada tanggal 18 Desember 1945 Kolonel Soedirman diangkat menjadi Panglima Besar TKR, dengan pangkat Jenderal. Pada 25 Mei 1946, dalam rapat Panitia Besar Reorganisasi, Soedirman dikukuhkan sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Indonesia.
Sungguh tak ada yang menyangka Soedirman menjadi seorang jenderal. Terlebih, badannya begitu ramping,kecil serta tindak tanduk yang lemah gemulai. Tidak banyak bicara dan memang tidak mencerminkan seorang yang berkemauan keras.
Sebagai Jenderal, Soedirman diserahi tugas dan tanggung-jawab yang besar. Baginya tugas yang dihadapi untuk keselamatan negara dan seluruh rakyat Indonesia, dia mempunyai peranan yang besar dalam pemerintahan Indonesia.
Meskipun begitu tingkah lakunya tetap terpelihara, sederhana dan rendah hati. Hal inilah yang menambah semarak nama Soedirman.
Bergerilya di atas tandu
Desember 1948, Yogyakarta, ibukota Rl diserang Belanda. Ketika itu Soedirman sedang terbaring sakit. Dia telah lama sakit bahkan paru-parunya telah terkena juga. Dia harus banyak istirahat. Obat-obatan sukar didapat, harus diselundupkan dari luar kota.
Serangan itu terutama ditujukan untuk menangkap Jenderal Soedirman. Atas permintaan presiden Soekarno, Soedirman mengungsi keluar kota. Kalau sampai dia tertangkap maka akan patahlah semangat Angkatan Perang.
Maka mulailah perjalanan jenderal Soedirman ke luar kota Yogya dipimpin kapten Soepardjo. Dalam perjalanan itu kadang-kadang jenderal Soedirman naik mobil, andong tetapi yang paling sering naik tandu. Rombongan ini selalu berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran Belanda.
Dalam perjalanannya ini jenderal Soedirman menggunakan nama samaran 'Pak De'. Dia menggunakan pakaian gerilya dan memegang tongkat. Tidak berbeda dengan bapak-bapak pensiunan yang sedang jalan-jalan menghirup udara segar.
Bahkan pernah sekali waktu dia menyuruh bawahannya Kolonel Bambang Soepeno untuk memakai pakaiannya. Ditandu ke arah selatan dan berhenti di sebuah rumah.
Dengan diam-diam rombongan itu kemudian keluar dari rumah tersebut. Benar juga pada sore harinya rumah itu diserang dan dibom pesawat-pesawat Belanda. Pada waktu itu suasana saling curiga.
Demikian juga waktu rombongan Jenderal Soedirman melewati desa Bendo, sebelah tenggara Tulungagung. Komandan Batalyon 102, Mayor Zainal curiga dan memerintahkan anak buahnya menahan rombongan itu. Bahkan menggeledah Kapten Soepardjo. Jenderal Soedirman tetap ada di dalam mobil.
Ketika waktu sembahyang tiba, jenderal Soedirman pergi ke masjid. Pada waktu itu pula Mayor Zaini datang. Segera dia pergi ke masjid menemui tawanannya. Serta merta dia memberi hormat dengan sikap sempurna. Ternyata yang ia tawan adalah pemimpinnya Jenderal Soedirman.
Peristiwa lain menimpa rombongan ini ketika mereka terkepung di hutan rotan. Segala jalan dicoba tapi mereka tetap tidak bisa keluar dari hutan ini. Malam hari hujan turun dengan lebatnya, ini saat terbaik untuk melepaskan diri dari tangan musuh.
Jalan sangat licin, turun gunung, jenderal Soedirman harus jalan kaki tidak bisa ditandu. Pada waktu itu keadaannya sangat buruk. Telah dua hari tidak makan nasi. Seluruh rombongan hanya makan sayur dan buah nangka. Sedang obat-obatan rusak kena hujan. Bagaimanapun juga, mereka terus jalan.
Dalam suasana kedinginan dan kelaparan ini, mereka memutuskan berhenti di sebuah gubuk di tengah ladang jagung. Kapten Soepardjo menukar kain sarung dan kemejanya dengan 3 kg jagung dan seekor ayam. Dengan itulah seluruh rombongan yang berjumlah 10 orang makan.
Akhirnya kembali ke Jogja
Tanggal 1 April 1949, rombongan berhenti di desa Sobo, kelurahan Pakis, wilayah Solo. Yogya telah berhasil direbut dari Belanda. Presiden meminta jenderal Soedirman kembali ke Yogya, tetapi ia menolak dan mengatakan:
"Anak-anak masih di hutan. Selama mereka mau saya akan tetap menyertai mereka. Tempat saya yang terbaik adalah di tengah-tengah mereka. Tidak di tengah-tengah orang yang begitu saja mau menyerah kepada Belanda."
Ketika dia dibujuk dengan memberikan alasan sakitnya maka ia berkata: "Saya tidak memikirkan kesehatan saya. Yang saya pikirkan adalah anak-anak saya. Mereka akan menuduh saya tidak setia dan sampai hati meninggalkan mereka di saat mereka dalam penderitaan."
Ternyata kemudian Soedirman lebih dibutuhkan di Yogya dalam menghadapi Belanda. Maka tanggal 10 Juni Jenderal Soedirman berangkat ke Yogya. Sangat berat baginya meninggalkan anak buahnya berjuang sendiri. Sampai batas kota Yogya ia tidak dapat menahan perasaannya lagi. Dia menangis.
Seluruh lapisan masyarakat Yogya menyambut kedatangannya. Di lapangan seluruh tentara berbaris dalam bentuk parade. Rakyat berdiri menyaksikan jalannya upacara. Suasana hening dan khidmat. Dia mengenakan mantel hitam panjang, berblangkon dan berpiyama. Langkah perlahan lemah, ditopang sebuah tongkat, Jenderal Soedirman memeriksa barisan.
Soedirman setiap kali berhenti untuk memberi selamat pada komandan Batalyon. Semua menjadi terharu, tak dapat menahan perasaan mereka. Mata mereka basah dan bibir bergetar, kasihan melihat penderitaan Jenderal Soedirman.
Sejak tiba di Yogya, kesehatan Jendral Soedirman tidak pernah berangsur baik. Ketika penyakitnya semakin memburuk, dia dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih. Tak lama kemudian pindah ke Magelang, tinggal di Rumah Peristirahatan Tentara di Taman Badakan.
Siang hari tanggal 29 Januari 1950, Jenderal Soedirman memeriksa rapat para putranya. Belum sempat menandatangani, penyakitnya kambuh.
Sore harinya kira-kira pukul 18.30 mengembuskan napas yang terakhir, meninggal dalam usia 39 tahun. Seluruh bangsa Indonesia diliputi suasana berkabung. Dia telah memimpin Angkatan Perang selama 4 tahun dengan memberi contoh yang baik.
Walaupun sakit dia tetap memimpin anak buahnya bergerilya. Itulah sebabnya maka dia tak begitu saja dilupakan seluruh TNI dan kemudian diangkat sebagai bapak TNI. Keesokan harinya jam 13.00 jenazah Jenderal Soedirman dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta, berdampingan dengan makam Jenderal Oerip Soemohardjo.