Penulis
Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya tak hanya melibatkan arek-arek Surobyo dan sekitarnya. Ribuan orang-orang keturunan Tionghoa juga ikut berjuang melawan Sekutu.
Artikel ini digubah dari tulisan YDS Agus Surono yang terbit di Majalah Intisari pada November 2018
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Pada 17 Februari 1946 menulis sebuah artikel yang menggugah jiwa. Judulnya gagah. "Pendoedoek Tionghoa Membantoe Kita". Artikel itu tayang dalam rangka memperingati enam bulan kemerdekaan Republik Indonesia.
"Rakjat Tionghoa poen insjaf akan hal ini. Dengan bekerdja bersama, bahoe-membahoe dengan bangsa Indonesia, rakjat Tionghoa toeroet berdjoeang di Soerabaja oentoek Indonesia Merdeka," begitu bunyi salah satu paragranya.
Benar, tak lain dan tak bukan, artikel ini memang terkait Pertempuran Surabaya 10 November 1945 yang heroik itu. Pertempuran itu kelak dihormati sebagai Hari Pahlawan dan Surabaya dinobatkan sebagai Kota Pahlawan.
Dalam pertempuran yang berlangsung sekitar tiga minggu itu, enam ribuan korban meninggal dari pihak Indonesia. Sebagiannya adalah orang-orang keturunan Tionghoa. Sementara korban dari tentara Inggris cuma 600 orang.
Setelah tiga minggu bertempur hingga tetes darah penghabisan, para pemuda akhirnya harus menyerah sementara Kota Surabaya berhasil dikuasi sepenuhnya oleh Sekutu. Mereka pun terpaksa mengungsi ke luar kota bersama para pengungsi lainnya.
Ratusan ribu orang terlibat dalam pertempuran itu. Menurut catatan, sektiar 100 ribu orang berasal dari kalangan nonmiliter. Sementara jumlah tentara cuma 20 ribu. Bandingkan dengan tentara Inggris, yang 30 ribunya adalah tentara semua, persenjataannya pun lengkap tak kurang apa pun.
Dari ratusan ribu pejuang itu, ada ratusan orang Tionghoa yang ikut berjuang. Tak hanya dari Surabaya, dari Malang pun ada.
Bantuan medis dari Malang
Dikutip dariTionghoa dalam Sejarah Kemiliteran, Sejak Nusantara sampai Indonesia-nyaIwan Santosa, pada 10 November 1945 pukul 22.00, seorang Tionghoa berpidato dalam bahasa Mandarin. Dia bilang, betapa besar korban jatuh di kalangan penduduk Tionghoa. Dia mendesak perlunya pembentukan TKR Tionghoa.
Sementara pidato dalam bahasa Inggris dilakukan oleh seorang gadis Tionghoa yang meminta perhatian Pemerintah Chungking (Republik Tiongkok) tentang kekejaman militer Inggris di Surabaya.
Banyaknya korban akibat serbuan militer Sekutu itu dilansir Kantor Berita Reuters, yang menyebut angka ribuan. Lelaki, perempuan, sipil maupun militer, dewasa maupun anak-anak. Ikut menjadi korban juga orang Tionghoa, Indo Belanda, dan India. Tetapi panglima Sekutu, Jenderal Christison, tak suka jumlah korban pembunuhan massal itu dibesar-besarkan.
Menurutnya, jumlah korban tak mencapai 1.000 orang. Berapa korban di pihak Inggris juga tidak diberitakan. Korban-korban itu dirawat di rumah sakit yang tersebar di seantero Surabaya.
Kenyataan inilah yang kemudian memunculkan semangat warga Tionghoa untuk terjun ke kancah pertempuran. Misalnya saja Baris an Palang Merah Tionghoa di Surabaya. Mereka dengan giat memberikan pertolongan kepada para korban.
Tidak hanya menolong korban-korban dari masyarakat Tionghoa, tetapi dari segala suku bangsa. Pada mobil Palang Merah berkibar bendera Chungking dan bendera Sang Merah Putih.
Sementara dari Malang diberangkatkan Angkatan Muda Tionghoa (AMT) dan Palang Biru. AMT didirikan untuk mendukung kemerdekaan RI. Pemberangkatan tersebut, mengacu ke Siauw Giok Tjhan penulis buku Renungan Seorang Patriot Indonesia, atas persetujuan Dokter Imam pimpinan RS Militer di Malang dan wakilnya Dokter Sumarno.
Baik AMT maupun Palang Biru mendapat tugas memasok ransum bagi para pemuda yang bertempur di garis depan. Mereka beroperasi hingga kawasan Jembatan Merah dalam Pertempuran Surabaya.
Anggota Palang Biru juga mengangkut korban Pertempuran Surabaya ke garis belakang di Mojokerto yang dikuasai penuh Republik Indonesia. Mereka juga dipercaya mengatur pemberangkatan kereta api Palang Merah yang berangkat dari Stasiun Gubeng, Surabaya.
Dalam satu peristiwa, kereta api yang sudah diberi tanda Palang Merah di atapnya itu ditembaki (strafing) pesawat tempur Inggris. Siauw Giok Tjhan mencatat beberapa pemuda Tionghoa kemudian mendapat "Bintang Gerilya" karena peran lebih lanjut dalam menghadapi Agresi I dan II dalam Perang Kemerdekaan di Malang Raya.
Beberapa pemuda Tionghoa Malang juga bergabung langsung dalam Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) pimpinan Bung Tomo. Beberapa di antaranya adalah Giam Hian Tjong dan Auwyang Tjoe Tek. Nama terakhir adalah ahli piroteknik (ahli amunisi dan peledak) yang didapatnya saat ikut berperang di Tiongkok melawan Jepang.
Ada lagi pemain sepakbola The Djoe Eng yang bergabung dalam Laskar Merah, sementara beberapa pemuda Tionghoa asal Minahasa menggabungkan diri dalam Kesatuan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS).
Helm mirip Nazi
Narasi keterlibatan orang Tionghoa dalam pertempuran Surabaya dikuatkan pula oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Kronik Revolusi Indonesia jilid I (1945) yang mengutip tulisan wartawan Merah Putih.
Disebutkan, merespon pidato tokoh Tionghoa tentang kekejaman militer Inggris terhadap Rakyat Surabaya, Radio Chungking menganjurkan agar pemuda Tionghoa turut bertempur di samping rakyat Indonesia melawan keganasan tentara Inggris.
Begitu pula Radio Republik Indonesia (RRI) di Jakarta mengabarkan orang-orang Tionghoa turut bertempur bersama rakyat Indonesia melawan Inggris di Surabaya.
"Dalam aksinya mereka mengibarkan bendera Kebangsaan Tiongkok dan itu dibenarkan oleh Pemerintah Chungking. Juga kaum wanita Tionghoa bahu membahu dengan para pemudi Indonesia bergiat di barisan Palang Merah Indonesia," demikian siaran RRI tanggal 13 November 1945.
Adapun Radio Pemberontak di Surabaya mewartakan, "Pemboman yang membabi buta itu meminta amat banyak korban di kalangan penduduk terutama penduduk Tionghoa yang tinggal di Kramat Gantung. Oleh karena itu pemimpin-pemimpin tentara pemberontakan rakyat menyeru kepada penduduk Tionghoa seluruh Jawa untuk menyusun suatu ‘Tentara Keamanan Penduduk Tionghoa’ dan mengibarkan bendera Tiongkok sebagai panji-panji Perang."
Radio Pemberontak menegaskan perbedaan sikap pemerintah Inggris dan Tiongkok dalam situasi di Indonesia. Wilayah selatan, Indo-China dan Indonesia yang diurus Inggris dalam keadaan kacau-balau karena sepak terjang militer Inggris. Untuk itu didesak perlunya dibentuk laskar TKR Tionghoa yang diakui pemerintah Chungking.
Sayangnya, menurut sejarawan Didi Kwartanada, soal "laskar Kuomintang" ini sumbernya sangat sedikit.
"Setahu saya hanya dua foto yang sekarang viral itu saja (sumbernya). Saya malah meragukan apa betul ada itu ‘Laskar Kuomintang’. Mungkin hanya simpatisan kemerdekaan Republik Indonesia yang warga Tiongkok. Jadi mereka bawa-bawa bendera Kuomintang," tulisnya.
Buku karangan Iwan Santosa yang mengutip Merdeka menyebut ada empat foto yang menyertai artikel itu. Salah satu foto yang beredar di media sosial terasa sangat humanis, yakni menampilkan pejuang Indonesia dan laskar Tionghoa berbagi api rokok.
Selain bersisi humanis, foto itu menunjukkan “keganjilan”. Helm yang dikenakan TKR Tionghoa merupakan helm mirip helm Nazi.
Menurut Didi, kemungkinan ada dua sumber asal helm itu. Pertama dari dinas perlindungan dari bahaya udara (LBD) Hindia Belanda. Kedua dari Tiongkok, yang saat itu Chiang Kai Shek memakai peralatan militer dari Jerman.
Terlepas dari mana sumber helm dan minimnya informasi soal laskar Kuomintang itu, satu hal yang jelas bahwa ada peranan masyarakat Tionghoa dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.