Persamaan dan Perbedaan Perlawanan Diponegoro dengan Perlawanan Tuanku Imam Bonjol

Afif Khoirul M

Penulis

Mengapa Imam Bonjol mengalami kekalahan melawan Belanda?

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com -Di dua sudut Nusantara yang berbeda, di tengah gejolak abad ke-19, berkobar dua api perlawanan yang membara.

Pangeran Diponegoro di tanah Jawa dan Tuanku Imam Bonjol di bumi Minangkabau, keduanya berdiri tegar menantang kekuasaan kolonial Belanda.

Meski terpisah jarak dan budaya, perjuangan mereka terikat oleh benang merah perlawanan terhadap penindasan, namun juga diwarnai oleh keunikan dan dinamika masing-masing.

Pangeran Diponegoro: Sang Pangeran yang Terluka

Pangeran Diponegoro, putra sulung Sultan Hamengkubuwono III, bukanlah seorang pangeran yang hidup dalam kemewahan istana. Hatinya terusik oleh kesewenang-wenangan Belanda yang semakin merajalela di tanah Jawa.

Pembangunan jalan yang melewati makam leluhurnya menjadi titik picu perlawanan. Baginya, itu adalah penghinaan terhadap nilai-nilai luhur dan tradisi Jawa.

Pada 20 Juli 1825, sang Pangeran mengibarkan panji perang. Perang Diponegoro, atau yang dikenal juga dengan Perang Jawa, berkecamuk selama lima tahun.

Strategi perang gerilya yang diterapkan Pangeran Diponegoro membuat Belanda kewalahan. Hutan belantara Jawa menjadi saksi bisu kegigihan pasukan Diponegoro dalam melawan pasukan Belanda yang bersenjata modern.

Perjuangan Pangeran Diponegoro bukan hanya tentang mempertahankan tanah leluhur. Ia juga berjuang untuk menegakkan keadilan dan melawan eksploitasi yang dilakukan Belanda terhadap rakyat Jawa.

Semangat perlawanannya didorong oleh keyakinan akan kebenaran dan rasa tanggung jawab sebagai seorang pemimpin.

Namun, api perlawanan Diponegoro akhirnya padam. Pada tahun 1830, ia ditangkap Belanda melalui tipu muslihat. Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado, lalu dipindahkan ke Makassar hingga akhir hayatnya.

Meski perjuangannya berakhir tragis, semangat perlawanan Diponegoro tetap hidup dan menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya.

Tuanku Imam Bonjol: Singa dari Minangkabau

Di tanah Minangkabau, Sumatera Barat, Tuanku Imam Bonjol memimpin perlawanan rakyat terhadap Belanda.

Ia adalah seorang ulama kharismatik yang mengobarkan semangat jihad melawan penjajah. Perlawanan yang dipimpinnya dikenal dengan Perang Padri.

Perang Padri berawal dari konflik internal antara kaum Padri, yang ingin memurnikan ajaran agama Islam, dengan kaum Adat yang masih memegang teguh tradisi lama.

Belanda memanfaatkan situasi ini untuk memecah belah kekuatan rakyat Minangkabau. Namun, Tuanku Imam Bonjol berhasil menyatukan kedua kubu untuk melawan musuh bersama.

Perlawanan Tuanku Imam Bonjol berlangsung selama bertahun-tahun. Ia menerapkan strategi perang gerilya yang efektif, memanfaatkan medan pegunungan Sumatera Barat yang terjal.

Benteng-benteng pertahanan dibangun di berbagai tempat, membuat pasukan Belanda kesulitan untuk menembusnya.

Namun, Belanda tidak menyerah. Mereka terus mengirimkan pasukan dan persenjataan modern. Pada tahun 1837, setelah melalui pertempuran sengit, Tuanku Imam Bonjol akhirnya ditangkap.

Ia diasingkan ke Cianjur, kemudian dipindahkan ke Ambon, dan akhirnya ke Lotta, Sulawesi Utara, tempat ia wafat.

Persamaan Perlawanan Diponegoro dan Tuanku Imam Bonjol

Perjuangan Pangeran Diponegoro dan Tuanku Imam Bonjol memiliki sejumlah persamaan:

Semangat Perlawanan terhadap Penjajahan: Keduanya sama-sama digerakkan oleh tekad kuat untuk mengusir penjajah Belanda dari tanah air.

Perjuangan Melawan Ketidakadilan: Mereka menentang berbagai bentuk ketidakadilan yang dilakukan Belanda, seperti eksploitasi ekonomi, perampasan tanah, dan penggerusan nilai-nilai budaya lokal.

Strategi Perang Gerilya: Keduanya menerapkan strategi perang gerilya yang efektif dalam menghadapi pasukan Belanda yang lebih modern.

Kepemimpinan Kharismatik: Diponegoro dan Tuanku Imam Bonjol adalah pemimpin yang kharismatik dan mampu menggerakkan massa untuk berjuang bersama.

Pengaruh Agama: Agama menjadi elemen penting dalam perlawanan keduanya. Diponegoro memanfaatkan simbol-simbol dan ramalan Jawa, sementara Tuanku Imam Bonjol mengobarkan semangat jihad.

Akhir yang Tragis: Keduanya mengalami kekalahan dan berakhir dengan pengasingan hingga akhir hayat.

Perbedaan Perlawanan Diponegoro dan Tuanku Imam Bonjol

Di balik persamaan tersebut, terdapat pula perbedaan dalam perjuangan Pangeran Diponegoro dan Tuanku Imam Bonjol:

Latar Belakang: Diponegoro adalah seorang pangeran Jawa, sedangkan Tuanku Imam Bonjol adalah seorang ulama Minangkabau. Latar belakang ini mempengaruhi cara mereka memimpin dan memobilisasi massa.

Motivasi Awal: Perlawanan Diponegoro dipicu oleh pembangunan jalan yang melewati makam leluhurnya, sedangkan Perang Padri berawal dari konflik internal antara kaum Padri dan kaum Adat.

Skala Perlawanan: Perang Diponegoro melibatkan wilayah yang lebih luas dan jumlah korban yang lebih besar dibandingkan Perang Padri.

Dukungan Rakyat: Diponegoro mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan masyarakat Jawa, termasuk bangsawan, petani, dan santri. Sementara Tuanku Imam Bonjol lebih banyak mendapat dukungan dari kaum Padri.

Penggunaan Simbol: Diponegoro memanfaatkan simbol-simbol dan ramalan Jawa untuk membangkitkan semangat perlawanan, sedangkan Tuanku Imam Bonjol lebih menekankan pada aspek keagamaan.

Warisan Perjuangan

Meski berakhir dengan kekalahan, perjuangan Pangeran Diponegoro dan Tuanku Imam Bonjol menorehkan tinta emas dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Mereka adalah pahlawan nasional yang gigih melawan penjajah dan menginspirasi generasi penerus untuk terus berjuang demi kemerdekaan.

Semangat perlawanan mereka menunjukkan bahwa rakyat Indonesia tidak pernah tunduk pada penindasan. Api perjuangan yang mereka kobarkan terus menyala dan menjadi penyemangat dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Sumber:

Carey, P. B. R. (1981). Pangeran Diponegoro: Seorang Pangeran Jawa yang Melawan Penjajah. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Reid, Anthony. (2014). The Blood of the People: Revolution & the End of Traditional Rule in Northern Sumatra. Singapore: NUS Press.

Ricklefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait