Dari Mana Kartini Mendapatkan Pikiran yang Melenting Melampaui Zamannya dan Berani Menggugat Itu?

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Barangkali kita bertanya-tanya, apa sumbangsih Kartini sebenarnya? Dari mana dia mendapatkan pikiran-pikiran cemerlang yang melampaui zamannya itu?

Barangkali kita bertanya-tanya, apa sumbangsih Kartini sebenarnya? Dari mana dia mendapatkan pikiran-pikiran cemerlang yang melampaui zamannya itu?

Artikel ini digubah dari artikel di Majalah HAI edisi April 1984 yang berjudul "Kartini"

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Barangkali kita masih bertanya-tanya, apa peran besar Kartini dalam sejarah emansipasi wanita di Indonesia? Sebesar apa keberanian Kartini dalam menggugat kondisi masyarakat saat itu? Dan ini yang penting: dari mana munculnya keberanian dan pikirannya yang melenting melampuai zamannya itu?

Juga,motivasi macam apa yang membangkitkan Kartini sehingga menjadi lain dari yang lain? Virus macam apa yang menyebabkannya terjun langsung ke gelanggang percaturan yang penuh risiko itu?

Lalu,kenapa Kartini dengan getol belajar bahasa Belanda? Kenapa kemudian Kartini menuliskan gagasan-gagasannya lewat surat? Tradisi macam apa yang menyebabkan ia berbuat seperti itu?

Untuk menjawab pertanyataan-pertanyaan di atas, kita harus menelusurinya jauh dari kakeknya. Tjondronegoro. Siapa dia?

Kakek sakti bernama Tjondronegoro

Untuk melihat latar belakang pemikiran kartini, kita harus memulainya dari tokoh sakti ini.Sakti di sini adalah sakti karena dia mampu "melihat" masa depan, dan tangguh dengan apa yang dirasakan sebagai jalan terbaik untuk menghadapi.

Kakek sakti itu bernama Pangeran Ario Tjondronegoro. Dia adalah Bupati Demak selama 16 tahun. Pangeran ini adalah kakek dari Kartini.

Sosok inilah yangmelihat bahwa pendidikan Barat bisa merangsang kemajuan pada manusia bumiputera. Karena itulah dia memanggil guru Belanda ke rumahnya untuk mengajar. Tentu ini bukan kebiasaan yang lazim saat itu: Ngangsu kawuruh dari Belanda.

Kok bisa kakek-kakek zaman segitu punya pemikiran secemerlang itu? Barangkali ada kakek-kakek lain di Indonesia saat itu yang punya cara pandang seperti Kakek Tjondronegoro, tapi mungkin tidak banyak.

Kita hanya bisa menduga. Saat itu, kekuasaan Belanda sudah kuat tertanam. Kaum Belanda adalah penguasa nomor satu. Kaum bumiputera hanyalah orang kesekian, tingkat yang lebih rendah kastanya, juga dibandingkan kaum Indo.

Pertanyaan selanjutnya pun muncul:Dari mana kakek sakti ini bisa menemukan rumusan ini? Apakah semata-mata dari wahyu Tuhan ketika ia bersamadi? Atau memang itu keharusan zaman? Entahlah.

Yang jelas, pikiran kreatif Kakek Tjondronegoro mendapatkan hasilnya dan menghasilkan gemanya lewat sosok Kartini. Tapi yang jelas, Tjondronegoro menurunkan sifat ini kepada anak-anaknya, yang menjadi bupati juga. Dan terus ke generasi Kartini.

Ibu yang bijak: Ngasirah

Sosok kedua yang menginspirasi keberanian Kartini adalah ibunya sendiri, Ngasirah. Dia adalahputri seorang kiyai dari Teluk Awur, masih di wilayah Jepara juga.

Ngasirah melahirkan Kartini pada 21 April 1879. Walau Kartini berhak menyandanggelar Raden Ajeng, lantaran dia adalah putri bupati yang berdarah bangsawan, tapi ibunya tidaklah seperti yang dibayangkan banyak orang.

Ngasirah bukanlah keturunan bangsawan berdarah biru. Posisinya dalam dalem kabupaten juga bukan sebagai praweswari, bukan permaisuri. Dia hanya sebagai selir, istri yang kesekian dari Raden Mas Adipati Aryo Sosroningrat, yang diangkat sebagai Bupati Jepara segera setelah Kartini lahir.

Kondisi masyarakat saat itu membedakanperlakuan antara permaisuri dengan selir. Ngasirah tidak mendapat perlakuan yang sama dengan istri utama. Bahkan sejak kecil, Kartini tidak mengenal betul bahwa Ngasirah itu ibu kandungnya. Di dalam kadipaten, Kartini boleh mendiami rumah utama, tapiNgasirah berada di bagian belakang.

Kontras inilah yang membuat Kartini menggugat. Kenapa ada perbedaan ini? Apakah memang wanita harus menerima kondisis sebagai selir? Dan harus menerima kenyataan sebagai keharusan yang tak bisa ditawar?

Dari situlah muncul konflik dalam diri Kartini. Disatu pihak, dia sangat-sangat menghormati ayahandanya. Bupati Jepara Raden Mas Adipati Sosroningrat adalah tokoh idolanya. Di pihak lain, Kartini merasakan ada sesuatu yang tidak adil soal perlakuan pada ibu kandungnya. Sementara itu, ibu kandungnya seolah pasrah menerima perlakuan ini. Tanpa protes terang-terangan.

Suasana inilah yang menghantarkan pikiran dan sikap Kartini.Perlakuan berbeda terhadap ibunya, membuatnya sadar. Bahwa ada yang tidak beres dengan wanita di Jawa saat itu. Posisinya yang selama ini dianggap kelas dua atau tiga. Kebebasan dan langkah-langkah besar yang terlalu banyak hambatan.

Kartini bergerak. Memulai. Dan gaung tulisannya, renungan dan pandangannya mencuat tinggi. Dia melenting melampaui zamannya.Apa sebenarnya yang diperjuangkan Kartini? Jawabannya harus dicari dari awal. Sejak masa kelahirannya.

Masa Kanak-kanak: Masa Bahagia

Betapa bahagianya masa kanak-kanak Kartini. Dia besar di lingkungan bangsawan dengan saudara-saudara yang menyenangkan. Di situlah Kartini lahir dan beranjak besar.

Tahun 1872 Wedono Mayong--jabatan ayah Kartini sebelum jadi Bupati Jepara--kawin dengan Ngasirah, atau Mas Ajeng Ngasirah. Ingat, tambahan gelar kebangsawanan di depannya bukan pertanda dia dari keluarga keraton.

Dari Ngasirah ini lahir delapan putra-putri. Di antara yang banyak dihubungkan dengan nama Kartini adalah RM Sosrokartono (lahir 10 April 1877) dan Raden Ajeng Kardinah (lahir 1 Maret 1881). Kartini putri keempat.

Wedono Mayong ini mempunyai permaisuri R.A. Moerjam, dikaruniai tiga putri: RA Soelastri, RA Roekmini dan RA Kartina. Dari sini terlihat betapa banyak saudara-saudara kandung sebagai teman bermain Kartini. Dalam keadaan serba kecukupan, pastilah ini saat-saat yang indah.

Saat kecil,Kartini mendapat panggilan Nil, berasal dari Trinil, nama sejenis burung yang lincah. Rukmini jadi Bikmi, karena lidah Trinil masih belum sempurna mengucapkan Ruk ketika berusaha memberi minum botol, hingga botol itu pecah. Dan Kardinah dipanggil Tjuwik. Lantaran setiap kali ia menangis diambilkan sedikit (ditjuwik) nasi.

Hubungan ketiga bersaudara ini memang rapat. Bahkan nanti, mereka masih terus berhubungan dan merangkai cita-cita yang sama. Hingga mereka dijuluki sebagai "het klaverblad van Japara", daun semanggi dari Jepara.

Dengan gairah dan kegembiraan besar, Kartini menyelesaikan ELS (Europese Largese School). Dan sesudah itu masa konflik besar pertama.

Konflik Pertama: Pingitan

Masa belajar Kartini di sekolah selesai saat usianya 12 tahun. Saatnya Kartini harus kembali ke dalam kamar. Merenung dan menghitung bintang di langit, sampai ada seorang lelaki yang datang melamarnya. Siapa lelaki itu, bagaimana tampang dan pribadinya, tentu dia tak mungkin menebaknya.

Apa yang bakal terjadi pada diri Kartini saat itu digariskan. Dia perawan bangsawan dengan gelar raden ajeng. Masa depannya adalah menjadi raden ayu—sebutan perawan yang telah menikah.

Bagaimana perasaan Kartini saat itu? Bocah yang masih 12 tahun, yang baru senang-senangnya belajar, harus dihadapkan pada kenyataan seperti itu. Lebih menyedihkan andai sebelumnya dia tak pernah mengenal tamasya ilmu pengetahuan sebelumnya.

Di masa-masa itu, Kartini jadi haus membaca. Dia melahap semuanya yang bisadibaca. Memuaskan tuntutan dengan habis-habisan. Dan lebih dari itu Kartini menuliskan perasaannya, keinginannya, dan dunia impiannya. Inilah hubungan dengan dunia luar.

Kelak, kebiasaan menulis surat ini masih diteruskan hingga beberapa saat sebelum ajalnya. Tradisi yang ternyata mengukuhkan kehadiran Kartini pada saat itu dan terutama pada saat-saat berikutnya.

Konflik Kedua: rayuan di pantai

Kartini bukan cuma bergulat dengan surat. Dia turun langsung. Salah satu prestasinya yang mencuat sampai sekarang adalah ketika mengelola seni dan seniman ukir di wilayahnya. Tuah ukiran Jepara masih terasa buahnya sampai sekarang ini.

Kartini membangkitkan semangat para pengukir miskin di wilayahnya.Kartini memang bisa melihat masalah secara tepat. Yang penting bagaimana mengatur pemasaran. Karya itu dikirim ke kota besar: Semarang dan Batavia. Jenis garapan juga bukan hiasan pintu atau lemari besar saja. Tetapi kotak perhiasan, kotak rokok, meja kursi. Dan prestasinya tercatat ketika membuat kotak jahitan yang akan diberikan kepada Ratu Belanda.

Dari situlah nama Kartini mulai populer di luar negeri. Bahkan dalam pameran batik di negeri Belanda, Kartini membuat makalahnya, Handschrift Japara, yang kemudian dibukukan sebagai buku pakem.

Tak lupa, niatan Kartini untuk meneruskan pelajarannya makin menggebu-gebu. Segala cara ditempuh, semua jalan dicoba. Tingkat pembesar dihubungi. Dan keinginan Kartini memang berhasil meyakinan siapa saja. Usaha itu menemukan hasil. Kartini bisa melanjutkan pendidikannya di Belanda.

Tanggal 24 Januari 1903 tragedi besar itu terjadi, tragedi yang mengubah sebagian sejarah Kartini. Mengubah citra Kartini sebagai pendekar yang sempurna kini ada celahnya. Memang, tak ada gading tak retak, bukan?

Di Pantai Bandengan Jepara, Klein Scheveningen, MR. Abendanon menemui Kartini dan membicarakan tentang keinginan Kartini belajar di Belanda. Setelah pertemuan itu, ternyata Kartini mengurungkan niatnya.

Apa yang sesungguhnya menjadi pembicaraan, rayuan model apa, tak pernah jelas besar. Surat-surat Kartini yang biasanya komplet dan mendetail, tak banyak mengungkapkan hal itu. Yang jelas, alasan pasti kenapa Kartini urung melanjutkan sekolah masih gelap hingga sekarang.

Kartini kemudian menawarkan beasiswanya itu kepada Agus Salim. Tapi poliglot asal Koto Gadang itu menolaknya.Dia juga sama kerasnya, hanya ingin beasiswa itu atas namanya sendiri, atas prestasinya sendiri, bukan limpahan orang lain.

Kartini kemudian mendirikan sekolah bagi kaum wanita. Tapi masa yang paling ditakuti datang.

Konflik Ketiga: Perkawinan

Datanglah lamaran itu. Dari seorang duda, bupati Rembang R. Adipati Djojoadiningrat, pada Juli 1903. Kartini menerima lamaran, tapi perkawinan baru dilaksanakan 8 November 1903, setelah Kartini dan Roekmini sudah menolak beasiswa pemerintah Belanda untuk belajar di Batavia.

Inikah akhir perjuangan Kartini?

Kartini punya suami dengan banyak istri dan selir. Kita tahu, istri resmi Adipati Djojodiningrat ada tiga, sementara selirnya ada tiga.Kartini dalam usia 24 tahun menikah dengan pria 49 tahun dengan banyak istri.

Yang jadi pertanyaan kemudian, mengapa Kartini menerima pernikaha itu?

Apa pun pertimbangan Kartini saat itu, mungkin itulah yang terbaik yang baginya. Satu yang pasti, Kartini begitu mencintai ayahnya. Dia bisa saja lari ke Belanda atau Batavia untuk meneruskan studinya, tapi Kartini bukanlah sosok yang ingin meraih bintang di langi tapi mengorbankan keluarga, ayah yang dicintai sebagai kaki pijakan.

Setelah melahirkan putranya, Raden Mas Soesalit, 17 September 1904, sebagai generasi Raden Ajeng Kartini meninggal 17 September 1904. Usianya hanya 25 tahun. Dalam usia sesingkat itu, keperkasaan pemikiran telah berhasil dibuktikan meskipun harus hidup dalam tradisi yang mengekang seperti itu.

Artikel Terkait