Find Us On Social Media :

Alasan Golongan Tua Belum Berani Memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia Meski Mengetahui Jepang Telah Kalah

By Afif Khoirul M, Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB

Peristiwa Rengasdengklok yang terjadi sebelum peristiwa proklamasi sejatinya adalah bentuk perbedaan pendapat Golongan Tua dan Golongan Muda.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Fajar menyingsing di ufuk timur, namun langit Indonesia masih diselimuti mendung ketakutan. Kabar kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II telah sampai ke telinga para pemimpin bangsa, bagai bisikan angin yang membawa harapan sekaligus kecemasan.

Kemerdekaan, yang selama ini menjadi mimpi indah, kini tampak begitu dekat, namun jalan menuju ke sana masih terjal dan berliku.

Di tengah euforia dan desakan kaum muda yang bergelora, para sesepuh bangsa, yang kita kenal sebagai "golongan tua", justru dilanda kebimbangan.

Mereka, yang telah makan asam garam perjuangan, tak ingin tergesa-gesa memetik buah yang belum matang.

Ada banyak alasan yang melatarbelakangi sikap hati-hati golongan tua ini, yang terukir dalam catatan sejarah perjuangan bangsa.

Mari kita telusuri lebih dalam, menyelami pemikiran mereka, memahami kegelisahan yang membayangi langkah mereka, dan mengungkap hikmah di balik setiap keputusan yang diambil.

Pertama, kekhawatiran akan kekacauan dan pertumpahan darah. Indonesia, yang baru saja terlepas dari cengkeraman penjajahan, masih rapuh bagai bayi yang baru lahir.

Para pemimpin golongan tua, seperti Soekarno dan Hatta, menyadari bahwa proklamasi kemerdekaan bukanlah sekadar pengumuman di atas kertas, melainkan langkah awal menuju sebuah perjalanan panjang yang penuh tantangan.

Mereka tidak ingin kemerdekaan yang diraih dengan susah payah justru menjadi awal dari disintegrasi bangsa, perpecahan, dan perang saudara.

"Kemerdekaan hanyalah sebuah jembatan; yang penting kita mencapai tujuan di seberang jembatan itu," ujar Bung Karno suatu ketika, seperti dikutip dalam buku Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).