Penulis
Puncak Pertempuran Surabaya memang terjadi pada 10 November 1945 (nama lain: Pertempuran 10 November 1945). Tapi percik-perciknya sudah muncul sejak pertengahan September.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channe, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Pertempuran Surabaya memang berpuncak pada 10 November 1945, itulah kena ia juga disebut sebagai Pertempuran 10 November 1945.
Meski begitu, pertempuran itu paling tidak sudah muncul percikannya sejak pertengahan September. Semua bermula ketika dua orang Belanda mengibarkan bendera tiga warna di atas Hotel Oranje, hotel yang kini menjadi simbol perlawanan arek-arek Suroboyo.
Beginilah hari-hari mendebarkan menjelang Pertempuran Surabaya atau Pertempuran 10 November 1945, sebagaimana dikutip dari arsip HAI (NO 41/VII, 1984)
19 September 1945
Dua orang Belanda mengibarKan bendera triwarna di atas gedung Hotel Oranye. Banteng Indonesia melihat kain merah... rakyat berkumpul, hasrat menyerang tak tertahankan lagi. Tiba-tiba naiklah beberapa pemuda ke atap hotel dengan bantuan tangga.
Si tiga warna ditarik turun. Tiba-tiba seorang pemuda yang di atap itu merobek kain biru yang melekat pada tri warna. Hanya merah putih yang tertinggal. Perlahan-lahan naiklah sang Dwiwarna, diiringi seman 'merdeka! merdeka!'.
25 Oktober 1945
Inggris di bawah pimpinan Brigjen Mallaby mendarat di Surabaya sebagai wakil Sekutu. Mereka tak mengindahkan permintaan Rl untuk menghentikan pendaratan pasukan. Artinya jelas, mereka tidak mengakui adanya pemerintah Rl di Jawa Timur.
28 Oktober 1945
Drg. Mustopo, komandan Markas Besar TKR (Tentara Keamanan Rakyat) memberitakan perundingan dengan pihak Inggris gagal. Inggris tetap menuntut perlucutan senjata rakyat. Inggris juga menguasai beberapa tempat-tempat penting. TKR mengundurkan diri ke luar kota dengan tekad mempertahankan Surabaya. Pertempuran mulai meletus.
30 Oktober 1945
Perundingan antara Presiden Sukarno dengan Jendral Hawthorn, panglima pasukan Inggris di Pulau Jawa menghasilkan gencatan senjata dan pembentukan Contact Bureau (Badan Kontak) yang bertugas menerangkan gencatan senjata pada rakyat.
Sore itu juga Presiden Sukarno dan Jendral Hawthorn kembali ke Jakarta sedang Badan Kontak mendatangi tempat-tempat di mana pertempuran masih berkobar. Rombongan Badan Kontak yang antara lain terdiri dari Brigjen Mallaby, menuju gedung Internatio di Jembatan Merah.
Pasukan Inggris yang menguasai gedung tetap tak mengindahkan gencatan senjata. Seorang wakil Indonesia, Mochammad dan wakil Inggris Kapten Shaw masuk ke gedung untuk menghentikan serangan pasukan Inggris. Sementara itu iring-iringan meneruskan perjalanan ke Surabaya bagian timur
Jam 17.50, iring-iringan Badan Kontak meninggalkan gedung Internatio. Tiba-tiba pertempuran di gedung International meletus lebih dahsyat di kegelapan malam. Di tengah pertempuran anggota Badan Kontak menyebar mencari perlindungan.
Rombongan sama sekali tak bisa berhubungan dengan luar juga dengan Radio Pemberontakan. Seluruh rombongan kaget mendengar berita kematian Mallaby yang hangus bersama mobilnya. Tak seorang pun tahu siapa yang menembak dan membakar mobil, seperti tak seorang pun tahu pihak mana yang mendahului menyerang.
31 Oktober 1945
Inggris mengumumkan kematian Mallaby dan menyebut peristiwa itu dengan “a new turn to the situation in Java” alias kejadian yang membawa perubahan di Pulau Jawa.
Jenderal Christison selaku Panglima Tentara Sekutu di Asia Tenggara mengirim ultimatum agar pemerintahan di Surabaya diserahkan pada Inggris, dia juga menyatakan tidak bertanggung jawab atas keamanan Surabaya.
1 - 8 November 1945
Keadaan di Surabaya tak menentu. Inggris terus menambah pasukannya.
9 November 1945
Jam 12.30 melayang-layang beberapa buah pesawat udara Inggris di atas kota Surabaya. Beribu-ribu selebaran mereka hamburkan di segenap bagian kota.
Isinya penghinaan dan tantangan bagi Republik Indonesia yaitu ultimatum agar semua pemimpin pemerintahan, pemuda dan badan-badan perjuangan harus melapor dan menyerahkan diri pada Inggris sebelum jam 14.00 di Jl. Jakarta.
Jam 19.30 Presiden Sukarno mengutus Menteri Luar Negeri Subarjo untuk menjawab secara diplomatik ultimatum Inggris itu.
Jam 21.00 Gubernur Surabaya, Suryo melalui corong RRI mengajak rakyat tetap tenang dan sabar menunggu hasil pembicaraan di Jakarta.
Jam 22.00 datang berita dari Jakarta, bahwa Menteri Subarjo gagal membujuk Inggris menarik ultimatumnya. Malam itu juga Gubernur Suryo melarang semua pihak membantu Inggris dan Belanda yang membonceng di belakangnya. Pemerintah pusat di Jakarta menyerahkan kebijaksanaan pada para pembesar dan rakyat di Surabaya.
Jam 23.00 Gubernur Suryo mengumumkan bahwa seluruh Jawa Timur siap menghadapi segala kesukaran dan bahaya yang mengancam kemerdekaan tanah air. Pidato singkatnya diakhiri dengan: Selamat berjuang!
10 November 1945
Pagi-pagi sekali seluruh kekuatan TKR, BKR (Badan Keamanan Rakyat), PRI, laskar BPRI Mojokerto, dan beberapa daerah sekitar Surabaya berkumpul siap mempertahankan Surabaya. Dari Yogya datang bantuan 23 kadet.
Radio Pemberontakan terus mengumandang menambah semangat juang rakyat. Di beberapa tempat ulama dan pemuka agama menyelenggarakan upacara-upacara sakral guna memberi dorongan mental.
Jam 9.00 rakyat tetap tenang menunggu perintah menyerang, tapi Inggris di beberapa tempat sudah mulai menembak.
Jam 9.30 Bung Tomo melalui Radio Pemberontakan memberi komando pada rakyat mulai memberi perlawanan terhadap serangan Inggris.
Sejak saat itu, Bung Tomo beserta pembesar Republik Indonesia di Surabaya terus memberi semangat juang pada rakyat dan pemuda lewat Radio Pemberontakan.
Di London pertempuran itu sendiri dianggap enteng, bahkan mereka menganggap pemuda-pemuda kita sebagai "tentara gerilya kelas tiga! Malah lebih rendah dari itu!"
Tapi setelah seminggu Inggris belum berhasil menundukkan, anggapan surat-surat kabar di London berubah.
Mereka hanya memberitakan "... setelah seminggu bertempur belum ada tanda-tanda melemahnya perlawanan rakyat Indonesia. Pasukan Inggris menghadapi perlawanan yang lebih teratur. Gerakan taktis serta disiplin menembak pihak Indonesia makin baik...".
Rakyat Indonesia hanya dapat diusir dari Surabaya setelah bertempur mati-matian selama 21 hari. Pihak Inggris sesuai dengan arsipnya di London menemukan korban rakyat Indonesia 6.315 orang. Korban di pihak Inggris tidak ringan dengan bukti mereka menamakan kota Surabaya sebagai “inferno” atau “neraka”.
Begitulah hari-hari menegangkan di sekitar Pertempuran Surabaya atau Pertempuran 10 November 1945.