Find Us On Social Media :

Nasihat Terakhir DN Aidit kepada Sang Adik Sebelum Gerakan 30 September 1965 Meletus

By Moh. Habib Asyhad, Selasa, 1 Oktober 2024 | 13:56 WIB

Sebulan sebelum Gerakan 30 September 1965 meletus, Sobron Aidit mendapat pesan dari sang kakak, DN Aiditi, untuk tidak pulang dulu ke Indonesia. Tanah Air sedang memanas kondisinya.

Sebulan sebelum Gerakan 30 September 1965 meletus, Sobron Aidit mendapat pesan dari sang kakak, DN Aiditi, untuk tidak pulang dulu ke Indonesia. Tanah Air sedang memanas kondisinya.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Ketika itu Agustus 1965. Malam itu, Sobron Aidit tidak bisa tidur. Dia gelisah menunggu sang abang, DN Aidit, memanggilnya. Saat itu, Aidit melakukan kunjungan ke Beijing, China, sementara Sobron mengajar di sana.

Siang sebelumnya Aidit menyuruh Sobron tidur di tempatnya menginap. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan kepada adiknya itu. Setelah menunggu semalaman, Sobron baru bisa bertemu abangnya itu besok paginya, saat waktu sarapan tiba. Itu pun tidak berlangsung lama.

"Ketika matanya terpancang kepada saya… lalu dia datang ke kursi saya. Dan saya berdiri, kami berpelukan, sudah tiga tahun saya tak bertemu dengannya," tulis Sobron dalam memoarnya berjudul Penalti Tanpa Wasit.

Aidit lalu menggoncang badan adiknya itu, lalu menampar kedua pipinya dengan tamparan manja seorang kakak. Sejurus kemudian Bang Amat, panggilan akrab Sobron kepada Aidit, bilang, "Apa kabarmu? Bagaimana Wati (istri Sobron) dan dua anakmu…?"

Keduanya lalu menuju ke tempat yang agak terpisah dengan rombongan lain dari Indonesia. Tak jauh dari situ ada beberapa kursi kosong. Aidit menggamit adiknya itu menuju sebuah kursi kosong. Di situlah Aidit berbicara kepada Sobron beberapa kalimat.

"Dengarkan baik-baik. Tanah air sedang hangat. Situasi dan suasana sedang naik tegang… tidak seorang pun di antara kalian boleh pulang buat sementara ini," kata Aidit. "Bekerjalah baik-baik memenuhi tugas yang dipercayakan tuan rumah. Jangan mengecewakan siapa pun, apalagi tuan rumah yang sudah begitu baik kepada kita."

Aidit juga berpesan kepada Sobron untuk selalu mendengarkan radio. Radio mana saja. Australia, Jepang, Amerika Serikat, dan tentu saja Jakarta yang paling utama. "Ikuti situasi tanah air. Dan harus pandai menyaring berita, selalu harus saling konsulitasi antarteman…"

Sejatinya masih banyak lagi yang disampaikan kepada adiknya itu, laiknya sebuah briefing informasi yang pokok dan sangat penting. Seketika itu Sobron juga sadar, semua kata-kata Aidit adalah pesan politik—alih-alih pesan seorang kakak kepada adiknya.