Find Us On Social Media :

Bagaimana Penyimpangan Demokrasi Pada Masa Orde Lama?

By Afif Khoirul M, Jumat, 27 September 2024 | 16:50 WIB

Jelajahi alasan mengapa pada masa Orde Lama Indonesia membentuk Poros Indonesia-Peking dalam artikel berikut ini.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Indonesia, negeri yang baru saja merengkuh kemerdekaannya, berlayar dalam samudra demokrasi dengan penuh semangat.

Namun, seperti ombak yang tak terduga, masa Orde Lama membawa badai penyimpangan yang mengguncang fondasi demokrasi yang rapuh.

Di balik gemerlap retorika revolusioner, tersembunyi bayang-bayang otoritarianisme yang perlahan menyelimuti negeri. Mari kita telusuri perjalanan berliku ini, melihat bagaimana demokrasi yang seharusnya menjadi obor penerang, justru meredup di bawah tekanan kekuasaan.

Demokrasi Parlementer yang GoyahPada awalnya, Indonesia menganut sistem demokrasi parlementer, sebuah percobaan untuk membangun pemerintahan yang responsif terhadap rakyat.

Namun, seperti kapal yang terombang-ambing di tengah laut, demokrasi parlementer ini menghadapi badai ketidakstabilan politik.

Pergantian kabinet yang terlalu sering, perpecahan partai politik, dan konflik kepentingan yang tak terselesaikan, menciptakan pusaran ketidakpastian yang mengancam eksistensi demokrasi itu sendiri.Demokrasi Terpimpin: Janji Manis yang Berubah PahitDi tengah ketidakstabilan politik, Presiden Soekarno menawarkan solusi yang tampak menjanjikan: Demokrasi Terpimpin.

Dengan kharisma yang tak terbantahkan, beliau mengusung gagasan bahwa demokrasi harus dipimpin oleh seorang pemimpin yang kuat dan visioner.

Namun, seperti madu yang memikat namun mengandung racun, Demokrasi Terpimpin justru membuka pintu bagi pemusatan kekuasaan yang tak terkendali.Pembubaran DPR dan Lahirnya Kekuasaan TunggalSalah satu tonggak penting dalam penyimpangan demokrasi pada masa Orde Lama adalah pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil Pemilu 1955.

Dengan dalih bahwa DPR tidak mampu menjalankan fungsinya dengan efektif, Presiden Soekarno mengambil langkah kontroversial ini.

Seperti mencabut nyawa dari tubuh demokrasi, pembubaran DPR menciptakan ruang hampa kekuasaan yang diisi oleh Presiden Soekarno sendiri.