Find Us On Social Media :

Jalan Damai Anak-anak Korban Tragedi Berdarah September 1965

By Moh. Habib Asyhad, Jumat, 27 September 2024 | 10:05 WIB

Salah satu adegan dalam film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI. Peristiwa itu menyisakan trauma tersendiri di benak anak-anak tokoh yang terkait dengan peristiwa itu. Meski begitu, kini mereka sudah berdamai.

[ARSIP Intisari]

Masa kelam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, 1965 - 1966, tak mudah dilupakan orang-orang yang langsung mengalaminya. Tapi, tidak semua orang terus meratapinya. Dengan penuh kebesaran jiwa, anak-anak tokoh nasional yang saat itu bertikai, mampu berjabat tangan. Saling memaafkan.

Penulis: Tjahjo Widyasmoro

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Dusun itu bernama Bawuk. Masuk dalam wilayah Kecamatan Minomartani, Kabupaten Sleman, kurang lebih 10 km dari Kota Yogyakarta, jika ditempuh melalui Jalan Raya Kaliurang. Sebuah pedesaan yang hijau asri dengan pemandangan Gunung Merapi di kejauhan. Hawanya terasa sejuk.

Di dusun itulah Amelia Yani, putri ketiga dari Pahlawan Revolusi Letnan Jenderal Achmad Yani, menetap sejak 1988. Meninggalkan keriuhan Jakarta untuk berdamai dengan segala peristiwa duka dalam sejarah hidupnya. Pembunuhan ayahnya pada 1965, kegagalan perkawinan, dan puncaknya adalah tekanan pekerjaan. Dia pun menjadi petani.

"Sejak di Bawuk saya lebih tenang. Tidak ada lagi yang namanya marah, iri, atau benci," begitu pengakuan perempuan 55 tahun yang masih terlihat cantik ini, sewaktu Intisari mengunjungi rumahnya yang asri di Dusun Bawuk.

Dari sorot mata dan tekanan kata-katanya, Amelia tampak berkata jujur. Meski mengaku sudah tenang, Amelia tidak bisa melupakan kepedihan yang dialaminya bertahun-tahun yang lalu. Tepatnya Jumat Legi 1 Oktober 1965 dini hari, saat sepasukan tentara beserta sejumlah pemuda, meluruk ke rumahnya di Jalan Lembang Nomor D 58, Jakarta Pusat.

Peristiwa itu berlangsung begitu cepat, mungkin tidak sampai setengah jam. Sebuah waktu yang singkat namun mempengaruhi perjalanan hidupnya kemudian. Dalam buku biografinya, Sepenggal Cerita Dari Dusun Bawuk, diterbitkan Pustaka Sinar Harapan (2002) Amelia menuliskan larik-larik kesaksiannya.

"Aku melihat sesosok tubuh sedang diseret-seret tanpa belas kasihan. Yang diseret adalah kedua kakinya; tangan, badan, dan kepala dibiarkan terseret-seret di lantai, berlumuran darah. Jantungku bagaikan terloncat keluar. Bapak! Itu Bapak, hata hatiku. Ya Allah, itu Bapak."