Find Us On Social Media :

Walau Dicekal Orba Pasca-Tragedi 1965, Kaum Eksil Ini Tetap Cinta Indonesia

By Moh. Habib Asyhad, Kamis, 26 September 2024 | 12:21 WIB

Nasib Eksil Tragedis 1965 terlunta, disingkirkan Orde Baru dan tidak mudah dapat suaka dari negara lain. Meski begitu tetap cinta Indonesia

Maret 2005, ketika menjadi peneliti tamu pada KITLV Leiden, sejarawan Asvi Marwan Adam diundang ke Stockholm, Swedia, oleh komunitas Indonesia yang menjadi survivor peristiwa 1965. Kisahnya dia tuliskan dalam artikel di bawah ini.

Penulis: Asvi Marwan Adam

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Saat itu, di rumah Tom Iljas tempat saya menginap bersama istri, kami bersua dengan Ali Chanafiah, mantan Duta Besar Indonesia di Srilangka tahun 1964-1966.

Dia tampak sehat, berbicara jernih dan mengungkapkan pikirannya secara teratur. Sama sekali tidak terduga bahwa usianya sudah 88 tahun. Bahkan ketika kemudian dalam jamuan makan malam yang kami hadiri di rumah Kuasa Usaha KBRI Swedia, Pak Ali Chanafiah masih terkesan sebagai "ambassador".

Di Swedia terdapat dua kelompok di luar KBRI yakni pimpinan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan korban tragedi 1965. Pihak KBRI mengadakan pendekatan dengan komunitas yang terakhir ini dengan mengadakan pertandingan bridge dan kegiatan lain.

Bahkan dalam upacara 17 Agustus di KBRI, mereka yang puluhan tahun terhalang pulang ke tanah air itu diminta membaca teks Pancasila (sungguh pun mereka sudah menyandang kewarganegaraan asing). Walau memiliki paspor negara lain tetapi jiwa mereka masih Indonesia. Hubungan KBRI dengan pihak GAM baru terjalin lebih belakangan setelah proses perdamaian berjalan.

Pasangan pejuang

Istri Ali Chanafiah adalah Salmiah Pane adik dari Sanusi Pane dan Armijn Pane. Siapa yang tidak kenal dua sastrawan Indonesia terkemuka tersebut. Sanusi juga pernah menulis buku Sejarah Indonesia dan terlibat dalam proses lahirnya Sumpah Pemuda 1928. Armijn Pane menulis roman psikologi yang monumental Belenggu.

Salah seorang adik Salmiah Pane adalah Lafran Pane (kemudian menjadi Profesor) yang menjadi pendiri HMI di Yogyakarta pada masa revolusi kemerdekaan. Salmiah Pane bersuamikan seorang aktivis politik yang pernah mewakili PKI di Konstituante, sedangkan adiknya Lafran pendiri organisasi yang pada tahun 1965/1966 sangat gigih menuntut pembubaran PKI.