Find Us On Social Media :

Luka yang Tak Tersembuhkan: Sentimen Rasial Warisan Kolonial Belanda

By Afif Khoirul M, Senin, 23 September 2024 | 14:15 WIB

Ilustrasi - Ide tentang Politik Etika yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda, sejatinya punya maksud tersembunyi ini.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Di negeri yang dulu dikenal dengan keramahan dan keragaman budayanya, kini tersimpan luka yang tak kunjung sembuh.

Luka itu bernama sentimen rasial, warisan pahit dari masa kolonialisme Belanda yang telah lama berlalu.

Seperti bayangan kelam yang terus menghantui, ia merayap di antara hubungan antarmanusia, menaburkan benih kecurigaan dan perpecahan.

Salah satu penyebab utama munculnya sentimen rasial ini adalah politik pecah belah yang diterapkan oleh Belanda selama masa penjajahan.

Dengan licik, mereka menciptakan hierarki sosial yang menempatkan orang Eropa di puncak, diikuti oleh kelompok-kelompok lain seperti orang Tionghoa dan Arab, sementara penduduk pribumi terjerembab di dasar piramida.

Kebijakan ini bukan hanya menciptakan kesenjangan ekonomi dan sosial, tetapi juga menanamkan benih-benih kebencian dan prasangka yang sulit dihapuskan.

Sejarawan M.C. Ricklefs dalam bukunya "Sejarah Indonesia Modern" (1991) mencatat bagaimana Belanda dengan sengaja memelihara perbedaan antar kelompok etnis dan agama untuk mempermudah penguasaan mereka.

Mereka memberikan hak istimewa kepada kelompok-kelompok tertentu, sementara yang lain ditekan dan didiskriminasi. Akibatnya, muncullah rasa iri dan ketidakpercayaan di antara penduduk pribumi, yang kemudian berkembang menjadi sentimen rasial.

Pendidikan yang Membelenggu

Sistem pendidikan yang diterapkan oleh Belanda juga berperan dalam memperkuat sentimen rasial. Pendidikan hanya tersedia bagi segelintir orang, terutama mereka yang berasal dari golongan atas. Sementara itu, mayoritas penduduk pribumi tetap terbelenggu dalam kebodohan.