Ruwatan, Sebuah Ungkapan Kepasrahan Diri ala Masyarakat Jawa

Moh. Habib Asyhad

Penulis

ruwatan

Tradisi Jawa yang satu ini sering membawa mereka yang percaya pada keadaan dilematis-psikologis. Kegelisahan batin akan mengusik jiwa mereka jika upacara ruwatan untuk keselamatan anaknya tidak dilaksanakan. Sementara pelaksanaannya butuh biaya tidak sedikit. Masih perlukah tradisi ruwatan dilestarikan? Koresponden Intisari B. Soelist mencoba mengungkapkannya.

Penulis: B. Soelis untuk Majalah Intisari edisi September 1993

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Jika Anda hanya memiliki seorang anak, perempuan atau laki-laki, berhati-hatilah. Bukan karena dia satu-satunya putra penerus generasi yang harus dijaga segala sesuatunya, melainkan karena sebab lain. Menurut konsep kepercayaan masyarakat Jawa zaman dulu, anak tersebut merupakan jenis anak sukerto alias anak yang "tidak membawa keberuntungan".

Atau bahkan anak yang terancam jiwanya sehingga perlu diruwat atau disucikan untuk menghindari ancaman mangsa Batara Kala. Anak tunggal biasa disebut ontang-anting jika dia laki-laki, dan unting-unting kalau perempuan.

Demikian pula bila Anda mempunyai lima anak semuanya laki-laki, dan disebut pendawa lima. Mereka juga perlu diruwat supaya selamat. Pasalnya, anak-anak semacam itu konon merupakan anak "panas" dan harus diselamatkan dengan cara menyelenggarakan upacara yang disebut ruwatan.

Di samping pendawa lima dan ontang-anting, anak kembar baik lelaki atau perempuan (dampit), ataupun tiga bersaudara dengan anak perempuan di tengahnya (disebut sendang kapit pancuran) juga perlu diruwat. Masih banyak lagi kriteria "anak panas" atau sukerto yang perlu diruwat.

Kecuali itu masih ada orang atau anak yang dianggap sukerto karena perbuatan lalai yang pernah dilakukannya. Misalnya, anak yang dengan sengaja atau tidak telah mematahkan sebuah gandhik (batu giling) ataupun pipisan (batu landasan pelumat jejamuan), atau anak yang memecahkan periuk.

Lalu juga, bayi yang lahir bersamaan dengan terbitnya matahari (Julung wangi) atau tenggelamnya matahari (Julung pujud). Mereka juga harus diruwat agar terhindar dari bahaya yang mengancam diri atau lingkungan sekitarnya.

Bahaya yang mengancam keselamatan anak-anak atau orang seperti itu, konon, dapat berupa penderitaan fisik, misalnya sakit-sakitan, ataupun yang bersifat psikis. Gangguan atau cobaan tersebut dipersonifikasikan sebagai Betara Kala. Menurut konsep kepercayaan Jawa, Dewa Kala adalah penguasa segala jenis makhluk halus di tanah Jawa. Satu-satunya cara agar bisa selamat dari ancaman makhluk jahat itu hanyalah dengan upacara ruwatan.

Ruwat dan pembebasan

Ruwat, yang artinya pelepasan atau pembebasan dari malapetaka, itu menjadi kata sakral dan dipercaya oleh sebagian masyarakat Jawa hingga kini. Tak sedikit orang Jawa yang merasa gelisah hidupnya bila belum melaksanakan ruwatan terhadap anaknya yang termasuk sukerto. Ruwatan memang tradisi yang tak bisa ditawar bagi yang percaya.

Upacara ruwatan berbeda dengan upacara selamatan yang sering dilakukan banyak orang. Rangkaian upacara ini membutuhkan sarana prosesi yang lengkap, salah satunya pergelaran wayang kulit dengan lakon khusus Murwakala. Dengan demikian ruwatan sudah pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Sukerto dan ruwat adalah dua kata yang mempunyai hubungan sebab-akibat, dan karena itulah dia lalu menjadi beban bagi mereka yang percaya. Di satu sisi penyelenggaraan upacara ruwat butuh biaya yang tidak sedikit, di sisi lain kepercayaan itu menuntut perlunya penyelenggaraan upacara itu.

Karena kuatnya pada keyakinan itu, tidak jarang setiap kejadian kesusahan atau bencana rumah tangga seseorang, akan dikait-kaitkan dengan kehadiran anaknya yang sukerto dan belum diruwat. Slamet Riyadi contohnya. Ia mempunyai dua orang anak laki-laki, yang dalam tradisi Jawa disebut uger-uger lawang.

Katanya, kedua anaknya sering bertengkar dan bikin susah orangtua sehingga keadaan keluarga tidak pernah tenteram. Slamet "tahu" sebabnya: kedua anaknya belum diruwat. Sudah sejak lama ia ingin melaksanakan upacara itu, tapi terbentur soal biaya. "Untunglah kami baca koran, di Yogya ada ruwatan massal. Kalau tidak, wah ... kami pasti tak akan mampu menyelenggarakannya sendiri," tuturnya.

Menurut Slamet, biaya untuk upacara ruwatan bisa sekitar Rp4 juta (tahun 1993), termasuk menanggap wayang kulit. Untunglah Lembaga Javanologi Panunggalan Yogyakarta mengadakan upacara ruwatan massal, sehingga Slamet cukup merogoh Rp300.000.

"Lega hati saya, beban seakan hilang. Semoga ruwatan ini mampu menghilangkan bencana yang menimpa keluarga kami," ujarnya berharap.

Slamet, pedagang asal Tegal itu, hanya salah satu dari 53 peserta ruwatan massal yang diadakan pada Juni 1993 di Yogyakarta. Ruwatan massal yang keempat sejak pertama kali diadakan pada September 1990 itu diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat dari berbagai daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Bahkan ada yang dari Jakarta dan luar Jawa. Rata-rata usia para peserta antara 5 dan 30 tahun.

Menurut H. Karkono K. Partokusumo, ketua lembaga tersebut, penyelenggaraan ruwatan massal ini untuk membantu meringankan beban biaya bagi masyarakat yang ingin meruwat, selain untuk melestarikan nilai-nilai luhur tradisi nenek moyang. "Tradisi Jawa itu indah, sarat akan moral didaktis, maka perlu dirawat."

Meski demikian, Karkono tidak setuju kalau tradisi upacara ruwatan itu diadakan secara besar-besaran, atau direkayasa sedemikian rupa sehingga memberikan kesan mewah. "Yang penting adalah proses upacara berjalan khidmat agar para sukerto dapat berdoa khusuk mohon keselamatan kepada Allah."

Wringin Sungsang

Orang yang tak mengenal tradisi Jawa pasti bingung lalu geleng-geleng kepala menyaksikan sekitar 53 anak sukerto berbaris rapi, duduk khusyuk di belakang kelir (layar) mendengarkan wejangan ki dalang yang sedang menyuguhkan pagelaran wayang kulit. Pakaian mereka seragam, berupa kain putih polos yang dililitkan di tubuh, disebut kopohan.

Nampak seorang bocah berumur 6 tahun duduk terkantuk-kantuk, lalu diperingatkan oleh orangtuanya. Maklum, dalam proses ritual ruwatan ini memang banyak pantangannya, salah satunya mereka tak boleh tertidur bila tak ingin disambar Betara Kala. Apalagi ketika sang dalang sedang merapal mantra wringin sungsang dan rajah kala cakra, semua yang hadir dalam upacara itu termasuk para sukerto dilarang berbicara, apalagi mengantuk.

Pada kesempatan itu pula penonton wanita yang sedang hamil dimohon untuk sementara meninggalkan tempat upacara. Sementara penonton anak-anak dilarang memanjat pohon atau pagar. Semua diminta hening, sebab Betara Kala sedang berkeliaran dan nyaris berhasil ditangkap dan dikalahkan sang dalang.

Tiba pada puncak upacara ruwatan, ki dalang akan memotong sedikit rambut para sukerto sebelum dilanjutkan dengan upacara siraman, mandi dengan air dari tujuh sumber. Siraman yang juga dilakukan oleh ki dalang, itu simbol terbebasnya Kala dari tubuh sukerto.

Apa Bapak percaya pada ruwatan dan manusia sukerto?

"Ya, saya percaya," kata Pujiarto (45), keluarga peserta ruwatan. "Sudah lama saya diperintah oleh orangtua saya untuk meruwat anak saya, tetapi karena sibuk baru kali ini bisa kami lakukan," ungkap pegawai Pertamina dari Jakarta ini.

Ketiga anaknya, perempuan di tengah (pakem pangruwatan menyebutnya sendang kapit pancuran), acap kali sakit dan ada saja masalah yang mengganggu ketenangan keluarga. "Saya puas dan lega bisa memenuhi amanat orang tua. Sekaligus kami juga ingin membuktikan, apakah ada perubahan suasana dalam keluarga dengan ruwatan itu nanti," tambahnya.

Beberapa kasus di atas adalah contoh nyata betapa ruwat masih melekat dalam sistem kepercayaan masyarakat Jawa hingga sekarang. Akibatnya, dalang ruwat pun dianggap sebagai dalang sakti. Konon tak semua dalang "bisa" melakukannya.

"Ah, apanya yang sakti, saya mendalang tidak pakai puasa dan tirakat. Yang penting kita punya maksud baik, pasti selamat," aku Ki Cermosujarwo alias Suyatin, dalang wayang kulit yang pada upacara ruwatan massal keempat itu dipasrahi untuk mendalang.

Dalam konteks demikian itulah, H. Karkono berani menggantikan dalang yang berbeda dalam setiap acara ruwatan. Sebelum Ki Suyatin yang asal Klaten ini, dalang ruwatnya Sugi Cermo Sudjono, lalu Timbul Hadi Prayitno. "Tak ada maksud apa-apa, pemerataan saja," jelas Karkono.

Kama Salah simbol ketamakan

Pakar susastra Jawa Drs. Subalidinata menilai, ruwatan zaman dulu merupakan proses suci berkaitan dengan kepercayaan. Kini ruwatan lebih berkesan pada kebudayaan yang bercampur dengan seni. Khususnya wayang sebagai fiksi yang divisualkan sedemikian rupa agar masyarakat bertambah tertarik dan percaya, bahwa Betara Kala betul-betul ada. Padahal tokoh raksasa itu hanya simbol.

Maka kalau upacara ruwatan ini ingin terus dilestarikan, nilai simbolis dari kelahiran Betara Kala itu yang perlu dipahami. Dia simbol ketamakan akibat sperma yang tercecer. "Itu sebabnya Betara Kala juga dinamakan Kama Salah atau sperma yang salah tempat," ujar Subalidinata.

Tapi upacara ruwat, menurut Dr. Budi Susanto, diterjemahkan lain. Dia adalah simbol penghargaan terhadap suatu gejala atau perubahan yang tidak terduga. Di saat rasio tak mampu menjawab, ketika pikiran sudah mentok tak sanggup memecahkan, maka ruwatan memang cara termudah untuk memasrahkan diri dengan harapan gejala perubahan itu pulih kembali.

"Bagaimanapun aktivitas seremonial sakral ini akan mampu memberikan dampak psikologis bagi yang percaya dan melakukannya," ujar antropolog lulusan Cornell University itu.

Betul sekali, Susanto dari Surakarta misalnya, mengaku begitu usai anaknya yang unting-unting diruwat merasa plong dadanya. "Hilang beban saya sekarang. Bertahun-tahun upacara ruwatan ini kami tunggu, baru sekarang sempat terlaksana. Ya, semoga keluarga kami dijauhkan dari berbagai cobaan," ungkapnya berharap.

Susanto bisa jadi wakil contoh kecil dari sekian banyak contoh besar, bahwa ruwatan merupakan upaya transendental yang sanggup menenangkan batin manusia yang lagi bimbang dan guncang. Kalau betul, itu berarti tradisi sanggup mengalahkan modernisasi. Mitos nyaris menggeser realitas.

Namun, H. Karkono K. Partokusumo menyatakan, tidak berani menjamin bahwa setelah bocah sukerto diruwat akan benar-benar menghapus segala mara bahaya dirinya maupun lingkungan keluarganya. "Anak jenis apa pun, itu titipan Tuhan. Kita hanya sebatas berdoa," ujarnya.

Bertolak dari pengalaman Lembaga Javanologi selama empat kali menyelenggarakan ruwatan, Karkono menyatakan banyak orang Jawa masih percaya. Tapi pihak penyelenggara berusaha agar masyarakat tidak yakin begitu saja tanpa pemahaman realistis makna yang tersirat di baliknya. Upacara ruwatan dengan pergelaran wayang berlakon Murwakala, menurut Karkono, sebenarnya sarat akan pesan dan amanat nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat.

Melalui pesan-pesan simbolik, upacara ruwatan menyadarkan kita akan hukum adikodrati yang sifatnya mutlak dan abadi. Siapa yang taat akan selamat, sebaliknya siapa yang melanggar akan mengalami kesengsaraan.

Dengan demikian, kata Karkono, "Upacara ruwatan merupakan media pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang hakiki sebagai bekal hidup untuk mencapai ketentraman dan keselamatan lahir maupun batin."

Pandangan di atas digaris bawahi oleh Drs. Subalidinata. Dosen Fakultas Sastra jurusan Sastra Jawa, UGM, ini mengingatkan, ruwatan secara rasional sebenarnya menyucikan jiwa anak sukerto dengan pembekalan berbagai ajaran etik dan moral yang terungkap dalam upacara maupun pagelaran wayang.

Sejak itu diharapkan anak sukerto tersebut selalu berhati-hati sesesuai dengan ajaran yang telah diterimanya.

Jadi, menurut Subalidinata, munculnya kesan bahwa ruwatan itu menjurus pada hal-hal yang berbau musyrik atau takhayul seharusnya tak perlu terjadi. Bahkan pakar kesusastraan Jawa ini beranggapan ruwatan sebagai adat tradisional dapat terlestarikan dan relevan dengan kehidupan sekarang, asalkan ada pemahaman dan penghayatan atas makna di dalamnya.

"Nilai-nilai yang terkandung di balik ruwatan itulah yang sakral, bukan proses upacaranya atau wayangnya dan sejenisnya," ungkapnya.

Lalu Subalidinata, penulis buku Sejarah dan Perkembangan Murwakala dan Ruwatan dari Sumber-Sumber Sastra Jawa (1985) itu berkata lagi, "Sayangnya masyarakat sekarang banyak yang lupa atas nilai-nilai ruwat tersebut. Ikut meruwat anak hanya karena gengsi atau kelebihan uang. Akibatnya, tidak sedikit upacara ruwatan hanya tinggal kebudayaan tanpa pemahaman makna luhur dari tradisi itu sendiri.”

Bagaimanapun upacara ruwatan kini sudah menggejala di berbagai kota di Jawa, bukan hanya di Yogyakarta. Di Jakarta juga pernah diselenggarakan ruwatan massal. Sedangkan di Surabaya, tanggal 11 Juli 1993 terselenggara ruwatan massal yang diikuti oleh 167 anak sukerto dari 97 keluarga dari berbagai penjuru masyarakat Jawa Timur. Ini semua membuktikan, ruwat atau lukat yang berarti penyucian diri masih melekat dalam konsep kepercayaan masyarakat Jawa, terlepas dari keragaman motivasinya.

Bukti tertua

Sejak kapan masyarakat Jawa mengenal ruwat? Sukar ditebak, apalagi diketahui pasti. Yang jelas, bukti tertulis yang tertua, kata ruwat terdapat dalam lontar kuno Ramayana dari abad IX pada masa Mataram Kuno. Lalu pada masa Kerajaan Kediri sekitar abad M kata ruwat atau lukat yang berarti menghapus atau membebaskan penderitaan ditemukan juga dalam berbagai lontar suci seperti lontar Hariwangsa, Sumanasantaka.

Akhirnya, pada masa Majapahit istilah ruwat subur menghiasi karya sastra bentuk kakawin (puisi) dan kidung (nyanyian) seperti misalnya Kakawin Kunjarakama.

Kecuali itu, ada pula bukti visual ruwat terpahat apik di beberapa tembok candi di Jawa Timur. Candi Surawana dan Tigawangi di Kediri (Jawa Timur) misalnya, barangkali bukti paling klasik tentang ruwat yang dicuplik dari kidung sakral Sudamala zaman Majapahit pertengahan abad XIV.

Tema kisah ruwat dalam naskah-naskah kuno umumnya cenderung mengenai pembebasan makhluk sengsara yang semula dewa. Karena kutukan, ia berubah wujud menjadi binatang atau raksasa yang akan berubah wujud sempurna kembali setelah diruwat oleh manusia.

Upacara ruwatan ternyata juga menarik perhatian peneliti Belanda. Pigeaud (1960), pakar sejarah kuno Indonesia, dalam ulasannya menyatakan, pada zaman Seda Krapyak awal abad XVII, dalang Anjang Mas dari Kedu mengubah upacara ruwatan yang semula dilakukan dengan wayang beber dengan wayang kulit. Upacara ruwat diduga semula untuk kesucian hidup surgawi yang akhirnya berkembang ke masalah nasib hidup duniawi.

Kemunculan tradisi ruwat itu pun ditafsirkan berasal dari lingkungan keraton yang akhirnya menyebar dan berkembang menjadi milik masyarakat luas.

"Pengertian ruwat sejak dulu memang sudah ada," ujar Drs. Subalidinata. Ruwatan sekarang sangat mungkin merupakan perkembangan dari ruwat zaman dulu yang memiliki nilai religius. "Saya setuju kalau nilai-nilai tradisi lama itu dilestarikan. Cuma sayangnya, sekarang ini apa-apa bisa diruwat, bahkan diselenggarakan mewah di hotel-hotel berbintang sebagai daya tarik wisatawan."

Ruwatan sebenarnya proses suci dalam rangka manusia mengoreksi din untuk kembali pada jalan yang benar. Tapi sekarang proses suci ini banyak dimanfaatkan beberapa pihak untuk tujuan komersial. "Seharusnya mereka ingat esensi yang sebenarnya dengan berpatokan pada tujuan semula dari duniawi ke rohani."

Artikel Terkait