'Hanya Tuhan yang Dapat Membawa Perdamaian ke Tanah Suci' Kisah Paus Fransiskus Meminta Pertolongan Ilahi Demi Permaian Palestina dan Israel

Afif Khoirul M

Penulis

Paus Fransiskus berbicara mengenai konflik Israel dan Palestina

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Tahun 2014 di bawah langit senja Roma, di taman suci yang dipenuhi aroma bunga dan doa, sebuah peristiwa bersejarah terukir. Paus Fransiskus, dengan hati penuh harapan, berdiri bersama dua pemimpin yang negaranya telah lama berseteru yaitu Presiden Israel Shimon Peres dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas.

Mereka berkumpul bukan untuk berunding politik, melainkan untuk memohon pertolongan Ilahi.

"Kita sudah berkali-kali berada di ambang perdamaian, tetapi si jahat (iblis), dengan berbagai cara, telah berhasil menghalanginya," kata Paus Fransiskus, suaranya bergema di antara pepohonan zaitun.

"Itulah sebabnya kita ada di sini, karena kita tahu dan percaya bahwa kita membutuhkan pertolongan Tuhan," katanya,

Peres, dengan mata yang menyimpan kenangan akan perang dan perdamaian, berbicara dengan suara serak.

"Dulu saya muda, sekarang saya sudah tua. Saya mengalami perang, saya merasakan kedamaian. Saya tidak akan pernah melupakan keluarga yang ditinggalkan, orang tua dan anak-anak, yang telah menanggung biaya perang," katanya.

"Dan sepanjang hidup saya, saya tidak akan pernah berhenti bertindak demi perdamaian bagi generasi mendatang. Mari kita semua bergandengan tangan dan mewujudkannya," terangnya.

Abbas, dengan tekad yang terpancar dari wajahnya, berkata, "Kami menginginkan perdamaian bagi kami dan bagi tetangga kami. Kami mencari kemakmuran dan kedamaian pikiran bagi diri kami sendiri dan bagi orang lain."

Acara ini, di mana umat Kristen, Muslim, dan Yahudi berdoa bersama, adalah sebuah simfoni perdamaian yang belum pernah terjadi sebelumnya di Vatikan. Suhu udara yang hangat seakan mencerminkan harapan yang membara di hati mereka.

Peres dan Abbas, yang pernah menjadi musuh bebuyutan, kini berpelukan di hadapan Paus, simbol persatuan yang mengharukan.

Di taman yang dipilih karena netralitasnya, mereka duduk di sudut segitiga, dikelilingi oleh para pemimpin agama dan politik, musisi, dan teman-teman Paus dari Buenos Aires.

Doa-doa dari tiga agama besar dipanjatkan, memohon pengampunan dan perdamaian di Tanah Suci.

Patriark Bartholomew, dengan suara yang penuh wibawa, membacakan Kitab Yesaya: “Serigala dan domba akan makan bersama; singa akan makan jerami seperti lembu; tetapi ular — makanannya adalah debu.” Kata-kata ini, yang diucapkan ribuan tahun lalu, kini terasa begitu relevan dan penuh harapan.

Di akhir upacara, mereka menanam pohon zaitun bersama, simbol perdamaian dan harapan yang akan terus tumbuh dan berbuah. Mereka kemudian berbicara secara pribadi, mungkin berbagi impian dan kekhawatiran mereka, mencari jalan menuju masa depan yang lebih baik.

Peristiwa ini mungkin tidak akan langsung mengakhiri konflik yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Namun, ia telah menanam benih harapan di hati banyak orang. Ia telah menunjukkan bahwa bahkan di tengah permusuhan yang paling sengit, masih ada ruang untuk dialog, doa, dan harapan akan perdamaian.

Malam itu, di Taman Vatikan, doa-doa naik ke langit, membawa harapan jutaan orang yang mendambakan perdamaian di Tanah Suci.

Semoga benih-benih perdamaian yang ditanam malam itu akan tumbuh subur, membawa kedamaian dan keharmonisan bagi semua orang yang tinggal di tanah yang diberkati itu.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait