Paus Fransiskus Sosok yang Dijuluki Sebagai Sahabat Islam

Afif Khoirul M

Penulis

Paus Fransiskus dikenal sebagai sosok yang peduli dengan isu-isu ketimpangan sosial yang berkembang belakangan ini.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com -Di atas kanvas kehidupan, terlukis kisah dua jiwa yang dipersatukan oleh panggilan ilahi. Tercermin dalam film "The Two Popes" yang tayang 2020 silam menyingkap tirai, memperlihatkan bukan hanya perjumpaan dua paus, melainkan juga dua dunia, dua pandangan, yang berpadu dalam harmoni yang tak terduga.

Joseph Ratzinger, Benediktus XVI, adalah seorang cendekiawan yang teguh, penjaga tradisi, dan pencinta Eropa. Di balik jubah kepausannya, tersimpan hati yang penuh dengan kerinduan akan kemurnian iman dan kejelasan doktrin. Ia adalah seorang teolog yang brilian, tetapi juga seorang gembala yang kadang-kadang tersesat di antara halaman-halaman kitab suci.

Jorge Mario Bergoglio, yang kemudian menjadi Paus Fransiskus, adalah jiwa yang berbeda. Ia adalah seorang Jesuit yang bersemangat, seorang penjelajah dunia, dan seorang penyembuh luka. Hatinya terbuka lebar bagi semua orang, tanpa memandang agama atau latar belakang. Ia adalah seorang gembala sejati, yang lebih memilih bau domba daripada aroma dupa.

Perbedaan mereka begitu mencolok, seperti siang dan malam, seperti api dan air. Benediktus, dengan pendekatannya yang hati-hati dan penuh pertimbangan, seringkali terlihat kaku dan jauh. Fransiskus, dengan spontanitas dan kehangatannya, memancarkan cahaya yang menarik orang-orang mendekat.

Namun, di balik perbedaan itu, terjalin benang merah yang tak terlihat. Keduanya adalah manusia, dengan segala kelemahan dan kerinduan mereka. Keduanya adalah hamba Tuhan, yang dipanggil untuk melayani umat manusia. Dan keduanya, pada akhirnya, adalah sahabat, yang saling mendukung dan menguatkan di tengah badai kehidupan.

Salah satu perbedaan yang paling mencolok adalah pandangan mereka tentang Islam. Benediktus, dengan latar belakang teologisnya yang kuat, cenderung melihat Islam melalui lensa sejarah dan doktrin. Pidatonya di Regensburg, yang mengutip pernyataan kontroversial seorang kaisar Bizantium, memicu badai protes dan kecaman dari seluruh dunia Muslim.

Fransiskus, di sisi lain, memilih pendekatan yang lebih personal dan inklusif. Ia merangkul umat Islam sebagai saudara dan saudari, mengesampingkan perbedaan teologis dan historis. Ia mengunjungi negara-negara Muslim, berdoa bersama para pemimpin Muslim, dan bahkan membasuh kaki wanita Muslim pada Kamis Putih.

Tahun 2014, Fransiskus mengundang teman dekatnya, seorang rabi, Abraham Skorka, dan teman dekatnya yang beragama Muslim, Omar Abboud, untuk menemaninya ke Tanah Suci. Ia secara pribadi mengundang Presiden Israel, Shimon Peres, dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk datang ke rumahnya di Vatikan guna berdoa untuk perdamaian.

Ia melakukan perjalanan ke negara-negara yang dilanda perang saudara yang melibatkan kesukuan Muslim-Katolik, Filipina, dan Balkan, untuk menengahi perdamaian dan saling pengertian.

Pada tahun 2017, ia mengunjungi Universitas Al-Azhar di Kairo, tempat utama pendidikan Sunni, dan menghabiskan waktu bersama Imam Besar, Sheik Ahmed el-Tayeb, yang dua tahun kemudian di Abu Dhabi ia menandatangani dokumen "Tentang Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama."

Fransiskus juga membeatifikasi para biarawan Trappis Tibhirine yang berupaya menjadi penghubung antara tetangga Muslim mereka di Aljazair dan iman Katolik, bukan dengan cara menyebarkan agama Islam tetapi dengan cara menghormati tradisi mereka.

Saat tahun 2020 dimulai, dengan Timur Tengah yang masih bergejolak, ISIS yang siap bangkit kembali, dan para pemimpin otokratis yang berkembang pesat di tengah masa ketidakpastian yang panik, Fransiskus mungkin akan terbukti menjadi sahabat baik Islam, seperti halnya Santo Fransiskus dari Assisi, yang menjadi saluran perdamaian dan cahaya di tengah masa sulit.

Yang terpenting, lawatan pertamanya sebagai Paus adalah ke Pulau Lampedusa di Italia untuk menyambut para migran yang melarikan diri dari Afrika – yang mayoritas beragama Islam – dan untuk memperjuangkan kepentingan mereka di Eropa yang ketakutan dan populis.

Dalam film "The Two Popes", kita melihat bagaimana kedua paus ini, yang begitu berbeda namun begitu dekat, bergulat dengan tantangan-tantangan zaman. Kita melihat mereka berdebat, bercanda, dan bahkan menari tango bersama. Kita melihat mereka saling mendengarkan, saling belajar, dan saling mengasihi.

Pada akhirnya, film ini bukan hanya tentang dua paus, melainkan tentang kita semua. Ini adalah kisah tentang bagaimana kita bisa menemukan kesamaan di tengah perbedaan, bagaimana kita bisa membangun jembatan di atas jurang pemisah, dan bagaimana kita bisa mencintai sesama kita, bahkan ketika mereka berbeda dari kita.

Dalam dunia yang semakin terpecah belah, pesan film ini terasa semakin relevan. Kita membutuhkan lebih banyak pemimpin seperti Benediktus dan Fransiskus, yang berani merangkul perbedaan dan membangun persatuan. Kita membutuhkan lebih banyak orang yang bersedia membuka hati mereka bagi "yang lain", tanpa rasa takut atau prasangka.

Dan yang terpenting, kita membutuhkan lebih banyak cinta. Cinta yang mampu melampaui batas-batas agama, ras, dan budaya. Cinta yang mampu menyatukan kita semua sebagai satu keluarga manusia.

Seperti kata Paus Fransiskus, "Kita semua adalah saudara dan saudari, anak-anak dari Bapa yang sama. Mari kita hidup sebagai saudara dan saudari, saling mengasihi dan menghormati."

Semoga kisah dua paus ini menginspirasi kita semua untuk menjadi lebih baik, lebih terbuka, dan lebih penuh kasih. Semoga kita bisa menciptakan dunia yang lebih damai dan harmonis, di mana setiap orang merasa diterima dan dicintai.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait