Find Us On Social Media :

Gejolak Resuffle Kabinet di Indonesia dari Masa ke Masa

By Afif Khoirul M, Senin, 19 Agustus 2024 | 15:15 WIB

B.J. Habibie dan kabinet reformasi pembangunan (23 Mei 1998 - 20 Oktober 1999).

 

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Di panggung sejarah Indonesia, reshuffle kabinet bukanlah sekadar peristiwa biasa. Ia adalah sebuah tarian politik yang rumit, di mana setiap langkahnya menyimpan makna dan implikasi yang mendalam.

Seperti sebuah drama yang tak pernah usai, reshuffle kabinet telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan bangsa ini, mengiringi setiap babak perubahan dan dinamika pemerintahan.

Awal Mula: Mencari Keseimbangan di Tengah Gejolak

Sejak proklamasi kemerdekaan, Indonesia telah mengalami berbagai bentuk pemerintahan. Dari masa Orde Lama hingga Reformasi, setiap era memiliki corak dan tantangannya sendiri. Dalam setiap periode, reshuffle kabinet menjadi instrumen penting bagi presiden untuk menjaga stabilitas politik dan mencapai tujuan nasional.

Pada masa Orde Lama, Presiden Soekarno sering melakukan reshuffle kabinet sebagai respons terhadap gejolak politik yang melanda negeri.

Konfrontasi dengan Belanda, pemberontakan PRRI/Permesta, hingga peristiwa G30S/PKI, semuanya meninggalkan jejak dalam komposisi kabinet. Reshuffle pada masa itu bukan sekadar pergantian personel, melainkan juga pergeseran kekuatan politik dan ideologi.

Orde Baru: Stabilitas di Bawah Bayang-Bayang Kekuasaan

Masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto membawa stabilitas politik yang relatif panjang. Namun, di balik ketenangan itu, reshuffle kabinet tetap menjadi alat penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan.

Soeharto dikenal piawai dalam memainkan kartu politik, merangkul berbagai kelompok kepentingan, dan mengendalikan dinamika internal pemerintahan.

Reshuffle pada masa Orde Baru sering kali diwarnai dengan nuansa "dwifungsi ABRI", di mana peran militer dalam pemerintahan sangat dominan.

Pergantian menteri bukan hanya didasarkan pada kompetensi, melainkan juga pada pertimbangan politik dan loyalitas kepada rezim.