Penulis
[ARSIP]
Yang gemar beling itu sebetulnya bukan kudanya, tetapi penunggangnya. Anda jangan berharap bisa menonton kuda lumping pada pasaran Wage. Kuda lumping memang masih merupakan pertunjukan misterius
Penulis: SU Azul untuk Majalah Intisari edisi Juli 1989
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com - Dari pagi peralatan telah digelar di tikar tua: gendang, gong, suling, kecrek, bonang dan cente. Tenda pun ditegakkan. Satu spanduk putih yang cukup dekil dijadikan pembatas antara pemain dengan penonton. Lapangan kecil tanpa rumput disiram, agar debu tebal di atasnya berkurang. Kuda-kuda bambu dikeluarkan dari kotak penyimpanannya dan dibersih kan dari debu yang menempel.
Kuda lumping Krida Sari, yang mangkal di daerah Cempaka Sari, Jakarta Pusat, sebentar lagi akan mentas di hadapan masyarakat sekitar.
Ada pantangannya
Salah satu bentuk kesenian rakyat yang saat ini semakin terdesak, mencoba berdiri di tengah hingar-bingarnya hiburan di Jakarta. Di daerah bergang sempit inilah mereka melakukan kegiatannya.
"Perkumpulan mi didirikan dua tahun lalu," kata Efendi, salah seorang yang bisa dikatakan sebagai sesepuh perkumpulan itu. "Mulanya kami agak sulit untuk mengumpulkan pemain, yang rumahnya bukan cuma berada di daerah Cempaka Sari saja. Kadang para pemain pun disibukkan dengan pekerjaan mereka sehari-hari.
Tapi lama-kelamaan organisasi ini mulai dikenal orang, "Sampai kami pernah manggung di Taman Mini Indonesia Indah dan diundang oleh Ganesha Society," lanjutnya lagi (Ganesha Society adalah kelompok pencinta budaya Indonesia yang anggotanya sebagian besar orang asing).
Suara gamelan mulai terdengar lewat pengeras suara. Bunyinya tidak terlalu bersih, karena berasal dari pengeras yang kurang baik. Kuda-kuda anyaman bambu mulai dijajarkan di tengah lapangan. Warnanya mencolok mata, merah dipadukan dengan hitam dan putih. Pedang-pedang kayu disandarkan di sisi kuda imitasi tersebut. Pertunjukan yang katanya hendak digelar pukul 10.00, ternyata setelah satu jam berlalu pun belum ada tanda-tanda untuk dimulai. Padahal, sesaji sudah dikeluarkan dan diletakkan di atas meja di bawah tenda.
Kembang setaman, kelapa hijau, nasi ketah, sesisir pisang ambon, pisang raja, pisang bakar, padi, telur ayam, mentimun, daun pepaya, kacang, daun dadap bedak, minyak wangi, cermin, sisir, kaca, semua memenuhi. tampah bambu, saling berebut tempat dan muncul di permukaan. Di sebelahnya ditaruh pula nasi tumpeng lengkap. Seekor ayam hidup kakinya terikat di bawah meja, turut menyemarakkan sesaji bagi pertunjukan tersebut.
"Ini memang salah satu persyaratan pertunjukan kuda lumping," kata Pak Djaimin Gatot (47), pimpinan kuda lumping Krida Sari. "Tanpa sesaji ini kuda' lumping tidak bisa dipertunjukkan."
Dengan sesaji yang diberikan pada roh leluhur ini mereka mengharapkan restu dan perlindungan. Tentu saja yang lebih diutamakan adalah perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa. Selain dari sesaji ini ada pula persyaratan lainnya. "Di hari pasaran Wage — hitungan hari menurut orang Jawa — kami tidak diperbolehkan mengadakan pagelaran," kata Djaimin Gatot.
Beringas
Ketika sinar matahari semakin menyengat ubun-ubun dan musik gamelan kian bertambah bingar, para penari kuda lumping berjajar di tengah lapang. Kostum mereka tampak menyala diterpa sinar mentari, peluh bergulir dari dahi ke wajah-wajah yang memakai rias wajah tebal.
Namun, tetap saja kesan ceria terpancar dari muka mereka. Jajaran penari itu mulai menunggangi kuda mereka masing-masing. Musik bernada monoton makin keras terdengar. Diawali dengan memberi hormat kepada seluruh penonton, pertunjukan pun dimulai.
Penari-penari tersebut menggerakkan tubuhnya, mengikuti aba-aba pemimpin mereka, yang disebut Wirayuda. Pedang-pedangan kayu diayunkan seirama dengan nada gamelan, sambil berputar berlawan arah (temu gelang). Di tepi lapangan penonton membentuk barisan tersendiri, lapangan kecil Cempaka Sari jadi tampak lebih sempit lagi.
Ketika musik gamelan semakin tinggi temponya, penari pun semakin bersemangat mengentakkan kaki dan badan mereka. Saat itu dari sudut lapangan dekat tenda tempat perangkat gamelan, sang pawang keluar membawa anglo yang berisi bara api. Bau kemenyan menyengat hidung penonton, asapnya mengepul memenuhi udara. Barisan penari kuda lumping berputar berkeliling di tengah lapangan.
Sementara itu terik matahari Jakarta semakin terasa membakar kulit. Sang pawang, duduk bersila di tengah lingkaran penari. Mulutnya berkomat-kamit, sambil sesekali meniup bara di anglo dan menambahkan kemenyan. Di tangan kanannya anglo tersebut terpegang erat, sedang di tangan kiri serantang air kembang dicekalnya pula.
Kemudian anglo dan rantang diletakkannya di tanah. Tangan kanan sang pawang mencabut keris yang terselip di pinggangnya. Diusapnya keris tersebut dua kali dan disarungkannya Kembali dengan hati-hati. Mulutnya masih berkomat-kamit, sementara tarian jadi tambah semarak ditingkahi bunyi musik yang makin keras.
Tiba-tiba sang pawang mencekal rantang airnya, sebelah tangannya masuk ke dalam rantang dan mencipratkannya pada para penari. Gerakannya sangat mendadak. Saat itu pula setiap penari yang terkena cipratan air bunga menggelepar kejang.
Penonton di tepi lapangan mulai menjauh dan beberapa pawang pembantu segera melemaskan otot-otot penari yang kejang tadi. "Saat itu mereka sudah kemasukan," kata Dasuki (55) yang sudah kenyang jadi pawang kuda lumping.
Setelah otot penari yang kejang dilemaskan kembali, gerak tarian jadi tampak aneh. Tetap mengikuti suara gamelan, namun sepertinya bukan mereka lagi yang bergerak. Mata mereka menjadi liar dan beringas.
Semprong lampu jadi seperti kerupuk
Tak lama kemudian salah seorang pawang pembantu yang berada di pinggir lapangan datang membawa satu tampah penuh semprong lampu. Seorang penari melompat menerkam. Yang membawa tampah lebih sigap.
Dia cepat menghindar. Namun, tetap saja sebuah semprong kena disambar, langsung dimasukkan ke dalam mulutnya. Beling-beling itu dikunyah dan ditelan. Ada darah mengalir di sudut bibirnya, tetapi seperti tak dirasakan.
Di sudut lain seorang membawa ember penuh dengan rumput segar, dikejar oleh salah seorang penari yang kemasukan. Ketika pembawa rumput memperlambat larinya serta meletakkan ember di tanah, langsung saja penari tadi menyusupkan kepalanya ke dalam ember.
Dengan lahap dilalapnya rumput segar tersebut. Di sudut lam seorang penari mencoba merengut tampah sesaji, tapi tak berhasil. Tak ketinggalan ayam di bawah meja sesaji hendak dikunyah pula.
Untung saja ayam dan sesaji sempat diselamatkan oleh seorang pawang yang memang siap siaga di dekat situ. Tetap saja sebutir telur ayam mentah sempat tersambar dan langsung dimasukkan ke dalam mulut. Pertunjukan ini cukup menegangkan, tak jarang pekik ngeri penonton terdengar di sela bunyi gamelan.
Ada dua jenis kemasukan (trance) dalam tarian kuda lumping ini. Yang pertama, setengah kemasukan. Sang penari menyadari sepenuhnya apa yang dilakukannya, namun tidak dapat menahan keinginan yang keluar dengan sendirinya.
Sedangkan yang kedua, kemasukan dengan sepenuhnya. Pemain kuda lumping sama sekali tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, kata Dasuki. Justru di saat kemasukan inilah yang membuat para penari merasakan kepuasan-kepuasan tersendiri.
Hari telah semakin sore, pemain kuda lumping telah silih berganti kemasukan, bahkan beberapa pawang pembantu pun telah pula ikut ambil bagian dalam pesta beling. Penonton sudah tidak sesemarak sebelumnya. Beberapa penari yang mungkin sudah dua atau tiga kali kerasukan, telah kelihatan lelah. Rias wajahnya pun telah lama pudar, darah di tepi bibir sudah mengering. Bunyi musik tak sehingar pagi tadi.
Para anak wayang beberapa sudah berganti pakaian, pagelaran hampir usai. Pegal di seluruh badan penari terobati dengan sambutan penonton yang cukup simpatik.