Penulis
Memanjat tebing betulan atau tebing buatan tak perlu takut patah pinggang. Malah bisa dapat jutaan perak. Sekarang malah dilombakan di Olimpiade. Inilah sejarah panjat tebing.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Kegiatan panjat tebing berkembang sejak 1492. Waktu itu, orang Alpen yang memburu chamois (kambing gunung) naik turun tebing batu di pegunungan Alpen. Mereka memanjat tebing karena dipaksa keadaan. Kira-kira sama dengan pengunduh sarang burung walet di tebing-tebing Kalimantan dan Karang Botong, Jawa Barat.
Dari keterpaksaan itulah kegiatan ini meroyak jadi olahraga. Termasuk tetek bengek perlengkapannya. Misalnya, tahun 1950 mulai digunakan tali nilon, buat mengganti tali dari serat tumbuhan, untuk memanjat.
Dengan kelenturannya, tali nilon dapat menyelamatkan leader (pemanjat pertama) dari sentakan yang kuat bila terjatuh. Sebelum itu, leader yang jatuh sudah pasti akan beroleh patah pinggang!
Kemajuan penting lainnya adalah penggunaan helm dan harness. Ini pun setelah didahului kematian seorang pemanjat Inggris di tebing Dolomite. Sejak saat itu perlengkapan pemanjatan makin disempurnakan.
Dari situlah orang lantas mengembangkan teknik pemanjatan yang sulit, aman, dan cepat. Dan dari situ pula sejumlah rekor dicatat. Michel Darbellay misalnya. Pada 1960 ia melakukan pemanjatan solo pertama di tebing Eiger Nordwand
MEMANJAT PLANET
Panjat tebing di Indonesia sebenarnya mulai digoyang pada 1978. Tepatnya ketika Harry Suliztiarto berlatih di tebing Citatah, Jawa Barat. Waktu itu ia hanya ditemani seorang pembantu rumahnya yang bertindak sebagai belayer.
Setahun kemudian, lelaki ini membuat sensasi dengan memanjat atap planetarium Taman Ismail Marzuki, Jakarta, yang bulat dan licin.
Sejak saat itu panjat tebing mulai dilirik para pendaki gunung. Berbagai ekspedisi lantas dilancarkan. Mapala Universitas Indonesia (UI) dan Wanadri termasuk yang banyak membukukan prestasi, di antaranya di Puncak Carstensz, Papua, pada tahun 80-an.
Yang lebih menggembirakan adalah dibukanya sekolah panjat tebing, seperti yang dilakukan Harry di Bandung lewat klab Skygers. Bukan cuma itu. Prasidi dari Wanadri juga berupaya mendatangkan berbagai peralatan olahraga ini dari luar negeri. Contohnya, tali kernmantel, karabiner, dan harness. Semua ini memberi kemudahan bagi yang berminat untuk mencobanya.
KECEPATAN DAN KESULITAN
Kegiatan panjat tebing lantas beranak dengan kegiatan panjat dinding. Ini gara-gara para pendaki membuat simulasi sebelum memanjat tebing beneran. Tebing buatan itu penting karena latihan dilakukan berulang-ulang, sementara cuaca kadang tak bisa kompromi.
Pada 1970, Don Robinson merancang tebing buatan yang pertama di Universitas Leeds. Lantas juga di Ackers Trust, Birmingham. Inilah dinding panjat pertama yang diklaim mampu menampung segala pegangan, pijakan, dan gerakan panjat tebing.
Rancangan Don Robinson itu selaras dengan anggapan bahwa mengatasi lintasan yang sulit lebih penting dari sekadar mencapai puncak. Pengertian ini pada akhirnya juga merembet ke penciptaan disiplin latihan. Mulai saat itu, para pemanjat memandang penting adanya latihan senam dan lari. Hingga akhirnya, semboyan best training for climber is climbing perlahan-lahan ditinggalkan.
Dinding buat latihan itu juga lantas berubah jadi ajang kompetisi. Unsur kecepatan dan kesulitan adalah dua bentuk dasar penilaian bagi lomba-lomba panjat dinding itu. Agar lebih asyik lagi, berbagai kesulitan diciptakan mirip dengan yang ada di tebing betulan. Misalnya dinding panjat ciptaan Jean March Blache. Selain menjulang tinggi, juga mempunyai cerobong dan beberapa overhang (bentuk karang gantung).
Tak heran kalau dinding itu dijadikan ajang unjuk kepiawaian para bintang panjat tebing. Misalnya Robert Cortijo, Didier Raboutou, J.B. Tribout, dan Gerhard Homager.
BISA PAMER
Gimana dengan Indonesia? Setelah Harry Suliztiarto menyebarkan 'virus' olahraga panjat tebing, bukan berarti panjat dinding berkembang. Sebab, itu baru diminati setelah tiga pemanjat tebing dari Perancis mampir ke Indonesia pada 1988. Waktu itu Patrick Berhault dkk memperkenalkan dinding panjat setelah ia melakukan eksibisi di tebing Citatah, Jawa Barat.
Sejak saat itu boleh dibilang kegiatan panjat dinding mulai populer. Sejumlah perguruan tinggi macam Universitas Parahyangan, Trisakti, Institut Sains dan Teknologi Nasional, sampai Ul mengadakan lomba. Bahkan sampai ke tinggal SMA, ketika itu yang pertama-tama jadi pioner di antaranya adalah SMA 6 dan SMA 70 Jakarta.
Demikian pula dalam soal peralatan. Mula-mula mendapatkan point (pegangan) buat dinding panjat memang sulit. Sekitar akhir 1980-an, Ogun dan Bongkeng dari Wanadri mengusahakan point buatan sendiri. Setelah melalui tes kelayakan di LIPI (sekarang BRIN), point tersebut ternyata layak digunakan untuk dinding panjat. Harganya pun jauh lebih murah dibanding yang impor.
Seiring dengan itu, rancang bangun dinding panjat pun mulai berkembang. Salah satu yang menarik ketika itu adalah yang dimiliki Klab Trupala SMA 6 Jakarta. Dinding panjat setinggi 8,5 meter itu memiliki overhang yang besar di ujungnya. Selain itu, dinding ini pun bersistem bongkar pasang.
Populernya olahraga memanjat ini jelas karena kemudahan yang diberikannya. Sejak adanya dinding panjat, orang tak perlu harus jauh-jauh pergi ke tebing. Yang jelas memakan waktu dan risiko ekstra lebih. Lagi pula, bagi anak sekolah yang masih remaja, jelas ada kebanggaan lebih. Bayangkan, bisa memanjat setinggi itu disaksikan oleh kawan-kawannya. Suatu hal yang tak didapatnya seandainya ia pergi ke tebing.
Ada unsur pamer, ada ganjaran pengakuan. Biar saja. Dan jangan lupa, kegiatan ini pun ada kejuaraan dunianya, bahkan sekarang sudah dilombakan di Olimpiade sejak 2018. Dan Indonesia termasuk negara yang diperhitungkan dalam olahraga yang masuk kategori ekstrem ini.