VOC Melarang Kapal Mereka Mengangkut Jamaah Haji dari Hindia Belanda Pada Tahun 1716

Afif Khoirul M

Penulis

Dulu, hanya orang-orang yang benar-benar kaya bisa berangkat haji. Pada 1965, ongkos haji berkisar dari 1,1 juta hingga 1,2 juta. Itu angka yang sangat besar.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Angin Timur berhembus lembut, membelai dedaunan di Batavia yang kala itu menjadi pusat kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), sang raksasa dagang dari negeri kincir angin. Namun, di balik keindahan alam tropis, tersimpan sebuah kisah kelam yang menorehkan luka mendalam bagi umat Muslim di Hindia Belanda.

Pada tahun 1716, VOC mengeluarkan kebijakan kontroversial yang melarang kapal-kapal mereka mengangkut jamaah haji dari wilayah kekuasaannya.Keputusan ini bagaikan petir di siang bolong, menyambar harapan dan impian ribuan Muslim yang mendambakan perjalanan suci ke tanah haram. Baitullah, yang selama ini menjadi mercusuar spiritual bagi mereka, terasa semakin jauh dan tak terjangkau. Suara azan yang biasanya menggema di setiap penjuru Nusantara, kini terasa pilu dan menyayat hati.

Kisah itu bermula tahun 1664, angin laut membawa kabar pilu tentang tiga haji asal Bugis yang dibuang ke Tanjung Harapan. Tuduhan tak berdasar, bahwa kedatangan mereka akan membawa bencana, menjadi alasan pengasingan. Mereka adalah murid Syekh Yusuf Makassar, ulama besar yang menjadi duri dalam daging VOC.

Syekh Yusuf sendiri, yang melarikan diri ke Banten, menjadi simbol perlawanan terhadap penjajah. Bersama Sultan Ageng Tirtayasa, ia mengangkat senjata melawan Sultan Haji, sang putra yang bersekutu dengan VOC. Namun, perjuangan itu berakhir dengan penangkapan dan pembuangan sang syekh ke Afrika Selatan.

VOC, sang raksasa dagang, memainkan peran ganda. Di satu sisi, mereka melarang kapal-kapal mereka mengangkut jemaah haji, sesuai aturan Besluit van 4 Agustus 1716. Namun, di sisi lain, mereka memberikan izin kepada penguasa lokal yang bersekutu, seperti Sultan Haji, untuk memberangkatkan jemaah haji.

Permainan politik ini adalah bagian dari strategi VOC untuk menjaga kekuasaan dan keuntungan monopoli mereka. Mereka tidak segan menggunakan segala cara, termasuk memanipulasi penguasa lokal dan menebar ketakutan akan "bahaya politik" yang dibawa oleh para haji.

VOC, yang kala itu berkuasa penuh atas perdagangan di Hindia Belanda, berdalih bahwa kebijakan ini diambil demi menjaga stabilitas ekonomi dan politik. Mereka khawatir bahwa kepergian ribuan jamaah haji akan mengganggu aktivitas perdagangan dan mengurangi jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengelola perkebunan rempah-rempah, komoditas utama yang menjadi sumber kekayaan mereka.Namun, di balik alasan ekonomi tersebut, tersembunyi motif lain yang lebih gelap dan licik. VOC, sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah Belanda yang menganut agama Kristen Protestan, memandang Islam sebagai ancaman potensial terhadap kekuasaan mereka. Mereka khawatir bahwa perjalanan haji akan memperkuat ikatan solidaritas umat Muslim di Nusantara, yang pada akhirnya dapat memicu perlawanan terhadap penjajahan.Larangan ini menimbulkan gelombang protes dan kemarahan di kalangan umat Muslim. Para ulama dan tokoh masyarakat mengecam keras kebijakan VOC, menyebutnya sebagai bentuk penindasan terhadap agama dan pelanggaran hak asasi manusia. Mereka menyerukan kepada umat Muslim untuk tetap teguh dalam mempertahankan keyakinan dan tidak menyerah pada intimidasi penjajah.Namun, VOC tidak bergeming. Mereka mengerahkan kekuatan militer untuk menindak setiap upaya perlawanan. Para jamaah haji yang nekat berangkat dengan kapal-kapal seadanya, ditangkap dan dipenjara. Bahkan, beberapa di antara mereka dihukum mati dengan tuduhan makar.Situasi ini semakin memperburuk hubungan antara umat Muslim dan VOC. Kepercayaan yang semula mulai terjalin, kini hancur berkeping-keping. Benih-benih kebencian dan dendam mulai tumbuh subur di hati rakyat, menunggu saat yang tepat untuk meledak menjadi perlawanan terbuka.Tahun demi tahun berlalu, larangan VOC tetap berlaku. Ribuan Muslim Hindia Belanda terpaksa mengubur impian mereka untuk menunaikan rukun Islam kelima. Mereka hanya bisa memandang ke arah kiblat dengan mata berkaca-kaca, memanjatkan doa agar suatu saat nanti bisa menginjakkan kaki di tanah suci.Namun, sejarah telah membuktikan bahwa api semangat tidak bisa dipadamkan begitu saja. Meskipun dihadapkan pada berbagai rintangan dan tekanan, umat Muslim Hindia Belanda tidak pernah menyerah. Mereka terus berjuang dengan berbagai cara, baik melalui jalur diplomasi maupun perjuangan fisik, untuk mendapatkan kembali hak mereka dalam beribadah.Akhirnya, setelah puluhan tahun berlalu, VOC pun tumbang. Hindia Belanda jatuh ke tangan penjajah baru, yaitu Inggris. Namun, kebijakan larangan haji tidak serta merta dicabut. Umat Muslim masih harus berjuang keras untuk mendapatkan kembali hak mereka.

Ketika Inggris mengambil alih kekuasaan dari Belanda, kebijakan represif terhadap haji tetap berlanjut. Letnan Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles memandang perjalanan haji sebagai ancaman bagi stabilitas politik. Ia menyebut para haji sebagai "penghasut" yang bisa memicu pemberontakan.

Tahun 1811, pemerintah Inggris mengeluarkan surat edaran yang memperingatkan penduduk akan bahaya yang dibawa oleh para "Sayid" (orang Arab) atau "pendeta pribumi" (haji). Surat edaran ini adalah bentuk propaganda untuk menanamkan rasa takut dan curiga terhadap para haji.

Namun, kekuasaan Inggris hanya berlangsung singkat, empat tahun saja. Kebijakan haji yang represif tidak sempat terwujud sepenuhnya. Meski demikian, luka yang ditorehkan oleh kolonialisme terhadap umat Muslim tetap membekas.

Kisah ini adalah pengingat akan perjuangan panjang umat Muslim untuk mendapatkan hak beribadah. Perjalanan haji, yang seharusnya menjadi perjalanan spiritual yang penuh berkah, menjadi ajang perebutan kekuasaan dan kepentingan politik.Barulah pada awal abad ke-20, setelah Indonesia merdeka, umat Muslim bisa kembali menunaikan ibadah haji dengan leluasa. Perjalanan suci yang selama ini menjadi impian, akhirnya bisa terwujud. Baitullah, yang selama ini hanya bisa dilihat dalam gambar dan lukisan, kini bisa disentuh dan dicium.Kisah larangan haji oleh VOC ini menjadi pengingat bagi kita semua akan pentingnya menjaga kebebasan beragama dan menghormati hak asasi manusia. Kita harus belajar dari sejarah agar kesalahan masa lalu tidak terulang kembali. Mari kita jaga persatuan dan kesatuan bangsa, agar Indonesia tetap menjadi negara yang damai dan harmonis bagi semua umat beragama.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait