Penulis
Pada 15 Agustus 1945, Golongan Muda mendesak Soekarno dan Moh Hatta agar memproklamasikan kemerdekaan pada 16 Agustus 1945, tetapi ditolak yang kemudian mengakibatkan peristiwa pengamanan Golongan Muda terhadap Seokarno dan Moh. Hatta, peristiwa tersebut dikenal dengan Peristiwa Rengasdengklok. Inilah cerita Sayuti Melik tentang peristiwa itu.
Artikel ini tayang di buku Sketsa oleh Jakob Oetama
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Wanita yang dalam foto lama tampak berdiri di sebelah kanan Ibu Fatmawati Soekarno tatkala Sang Saka Merah Putih dikibarkan untuk pertama kalinya pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah Nyonya Sulastri Karma Trimurti alias S.K. Trimurti.
Dia istri Sayuti Melik yang tulisan-tulisannya tentang Marhaenisme dan Soekamoisme banyak dibaca orang. Beberapa hari sebelum peristiwa bersejarah tersebut, Sayuti Melik dan istrinya dipanggil ke Jakarta oleh Bung Karno. S.K. Trimurti termasuk murid Bung Karno angkatan pertama. Dengan datang ke Jakarta, mereka kemudian menjadi salah satu saksi utama peristiwa bersejarah sekitar tanggal 17 Agustus 1945.
Ketika mereka berdua tiba di Jakarta, Bung Karno baru terbang ke Saigon dengan Bung Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat, untuk membicarakan soal kemerdekaan dengan Marsekal Terauchi, wakil panglima tertinggi bala tentara Jepang di Asia Tenggara.
Tanggal 14 Agustus ketiga utusan tersebut tiba kembali di lapangan udara Kemayoran. Di depan orang banyak yang datang menyambut, Bung Karno berkata, "Kalau dahulu saya berkata, sebelum jagung berbuah Indonesia akan merdeka, sekarang saya dapat memastikan Indonesia akan merdeka sebelum jagung berbunga."
Selama di Jakarta Sayuti dan istri tinggal di rumah Bung Karno, di Jalan Pegangsaan Timur 56. Menurut penuturannya sendiri, dia bukan tokoh dalam kejadian-kejadian bersejarah. Dia hadir sekadar sebagai pembantu pribadi Bung Karno, sedang Bu Trimurti, murid lama Bung Karno, bertindak sebagai sekretaris pribadi.
Tanggal 16 Agustus malam, sewaktu mereka sedang duduk-duduk di beranda rumah Pegangsaan Timur, datang dua pemuda, Wikana dan Subadio. Sayuti dapat mendengarkan percakapan mereka dari tempat duduknya. Kedua pemuda itu atas nama kawan-kawannya mendesak agar segera diadakan proklamasi kemerdekaan.
Bung Karno menjawab, dia punya kawan, karena itu sebelum bertindak sesuatu perlu konsultasi lebih dulu dengan mereka. "Kalau tak percaya gorok saja leher saya."
Kemudian datang tokoh-tokoh lain: Bung Hatta, Mr. Subardjo, Dr. Samsi, Mr. Iwa Kusumasumantri, Dr. Buntaran. Antara Soekarno-Hatta dan golongan Pemuda tidak ada perbedaan prinsip tentang kemerdekaan Indonesia, hanya berbeda dalam memilih cara.
"Juga di dalam zaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak pernah berhenti. Di zaman Jepang, tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakikatnya kita menyusun tenaga kita sendiri, tetap percaya kepada kekuatan kita sendiri."
Demikian amanat Bung Karno mendahului pembacaan Proklamasi Kemerdekaan, menurut Moh.Yamin dalam bukunya Dari Proklamasi Sampai Resopim. Ada perbedaan pendapat antara golongan Soekarno-Hatta dan golongan Pemuda pada masa itu tentang unsur Jepang. Golongan Pemuda tak mau tahu Jepang. Mereka menolak sama sekali kemungkinan adanya kesan seakan-akan kemerdekaan yang akan diproklamasikan adalah "hadiah" Jepang.
Golongan Soekarno-Hatta juga tetap bersandar pada kekuatan sendiri. Tetapi mereka memandang unsur kekuatan Jepang yang masih ada, sebagai realitas yang tak dapat diabaikan, justru untuk menyusun organisasi dan kekuatan revolusi selanjutnya. Keduanya tetap hendak mempergunakan Panitia Persiapan Kemerdekaan yang ditambah dengan unsur Pemuda dan unsur-unsur lain sebagai tempat musyawarah dan penyalur.
Karena itu diputuskan untuk mengundang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia rapat pada tanggal 16 Agustus jam 10 pagi di kantor Dewan Sanyo di Pejambon nomor 2 (Deplu sekarang). Pertemuan itu urung terjadi, karena hari itu jam 4 pagi Bung Karno dan Bung Hatta sudah dibawa ke Rengasdengklok oleh pemuda-pemuda Sukarni-Chaerul Saleh.
Di antara para pejabat tinggi Jepang kala itu, tokoh Laksamana Muda Maeda dari Kaigun sungguh menarik. Oleh historicus Belanda H.J. De Graaf, Maeda dilukiskan sebagai seorang perwira Angkatan Laut yang karena lebih banyak melihat dunia dalam tugasnya, lebih luas dan lebih terang pandangannya tentang situasi yang sebenarnya dibandingkan dengan para perwira Angkatan Darat.
Maeda berusaha mengadakan kontak dengan masyarakat antara lain melalui Kantor Penerangan yang pimpinannya dipegang oleh Mr. Subardjo.
Sayuti Melik dari semula tertarik oleh sikap Laksamana Muda Maeda. Sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang sudah banyak makan garam, dia tidak begitu saja percaya akan sikap baik perwira tinggi Jepang tersebut. Dia mencari motifnya. Motif yang dia peroleh dari Maeda ternyata begitu bersifat manusiawi, sehingga dia dapat menerimanya.
Menurut Sayuti motif itu adalah: setelah Jepang kalah, Maeda percaya tamat pula riwayat negara dan dirinya. Berakhirlah hidupnya. Apakah dia membantu kemerdekaan bangsa Indonesia atau tidak, bagi dirinya sendiri sama, tamat riwayatnya. Daripada pergi tanpa meninggalkan jasa, lebih baik pergi dengan meninggalkan nama. Kenangan baik itu ialah sikapnya yang bersimpati terhadap kemerdekaan Indonesia.
Tanggal 16 Agustus pagi buta, Sajuti dibangunkan dan diberi tahu bahwa Bung Karno, Fatmawati dan Guntur tidak ada di tempat. Mereka mencari keterangan dari Mr. Subardjo, kemudian dari Maeda, tetapi tetap tidak mendapatkan. Pada waktu itu mereka pun belum tahu di mana Bung Karno. Baru kemudian setelah diadakan penyelidikan perwira Jepang itu mengetahuinya.
Peristiwa ini kemudian kita kenal sebagai Peristiwa Rengasdengklok. Pagi itu sekitar pukul 4 pagi, oleh pemuda-pemuda Sukarni, Chaerul Saleh dan lain-lain, Bung Karno dan Bung Hatta dibawa ke Rengasdengklok, ke sebuah asrama Peta. Menurut para pemuda, di sana lebih aman untuk kedua pemimpin tersebut.
Akhirnya, terdapat persesuaian paham antara Soekarno-Hatta, Pemuda dan Maeda. Kedua pemimpin itu dibawa kembali ke Jakarta, dan pada tanggal 16 Agustus malam diadakan pertemuan di rumah Laksamana Muda Maeda. Oleh karena tempat yang direncanakan semula Hotel Duta Indonesia, ternyata sudah tutup.
Malam itu dibicarakan naskah Proklamasi yang akan diresmikan pada pagi harinya. Semula naskah itu akan ditandatangani oleh "Wakil-wakil Bangsa Indonesia", yaitu orang-orang yang hadir pada malam itu, termasuk mereka yang oleh golongan Pemuda dianggap kolaborator Jepang.
Para pemuda tidak setuju dengan rumusan tersebut. Tercapai mufakat, naskah Proklamasi hanya ditandatangani oleh Soekarno-Hatta, "Atas nama Bangsa Indonesia". Pak Sayuti yang hadir pada malam itu ditugaskan mengetik rancangan naskah yang sudah disetujui dan keesokan harinya akan dibaca oleh Bung Karno di depan rumah Pegangsaan Timur 56.
"Proklamasi. Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkatnja. Djakarta 17 Agustus 1945 Atas nama Bangsa Indonesia Soekarno-Hatta."
Itulah naskah asli, jadi bukan tulisan tangan Bung Karno yang fotokopinya kini menghiasi buku-buku dan dianggap sebagai naskah resmi. Seperti dituturkan di atas, naskah tulisan tangan Bung Karno tersebut kemudian diubah dan perubahan tersebut diketik oleh Pak Sayuti.
Seorang historicus Indonesia menyatakan, peristiwa Proklamasi itu masih begitu dekat jaraknya dengan kita, sehingga tulisan-tulisan yang ada, tak dapat dikatakan historisch objektief. Diperlukan adanya distensi yang lebih jauh untuk menjadikan tulisan objektif.
Sebaliknya, semakin banyak tulisan mengenai peristiwa bersejarah, semakin baik sebagai sumber penulisan sejarah di kemudian hari. Terutama tulisan oleh orang-orang yang ikut serta dalam peristiwa-peristiwa tersebut.
Orang seperti Sayuti Melik dapat menyumbangkan tulisannya. Laki-laki kelahiran Sleman, Yogyakarta, ini pejuang militan sejak muda. Dari usianya yang kini 55 tahun, setengahnya, sekitar 17 tahun dia habiskan dalam penjara.
Tatkala berusia 25 tahun, sudah delapan tahun dia meringkuk dalam Penjara Digul. Dia mulai berjuang sejak berusia 16 tahun, waktu itu masih pelajar Sekolah Guru di Solo. Salah seorang gurunya dalam perjuangan adalah Ali Archam. Baru kemudian dia menjadi murid Bung Karno. Dia tertarik kepada PKI oleh karena di sanalah semangat radikal dan revolusionernya terpenuhi.
Kemudian setelah mempelajari ajaran Bung Karno dan buku-buku Marxisme-Leninisme lebih mendalam, serta kenyang keluar masuk penjara, keyakinannya berubah. Tetap menjunjung Marxisme, tetapi Marxisme yang diterapkan dalam kondisi-kondisi di Indonesia.
Pada 1933 Sayuti keluar dari Penjara Digul, lalu bekerja sebagai cattle attendant (penjaga ternak) pada kapal asing. Sekali waktu dia dibentak oleh kapten kapal karena enggan menyerahkan tempatnya yang teduh dalam kapal untuk ternak-ternak.
Sajuti kemudian menetap di Semenanjung Malaya, bergerak di bawah tanah menjadi anggota Partai Komunis Malaya dan Ketua Liga Anti Imperialis Asia Tenggara. Kemudian ketahuan dan dipenjarakan.
Tahun 1937 dia dibebaskan, tetapi diusir dari wilayah jajahan Inggris. Ternyata, Inggris sudah te-es-te (tahu sama tahu) dengan pemerintah Belanda. Buktinya sampai di Jawa Sayuti langsung dimasukkan ke penjara. Baru tahun 1938 dia dibebaskan.
Terus dia ke Semarang dan bekerja sebagai penjual kain. Di sana bertemu dengan Sulastri alias S.K. Trimurti, murid Bung Karno yang masa itu memimpin Majalah Suara Marhaeni. Dalam penjara tahun 1937 Pak Sayuti merasa paling bahagia.
Mengapa?
Karena dalam penjara dia merasa lebih bebas daripada di luar penjara. Bebas membaca buku, makan, tidur, berpikir. Orangtua, saudara, sengaja tak dia pikirkan agar tidak menyedihkan hati. Malahan sekadar memberitahu mereka pun tidak.
Di Semarang ada Koran Sinar Selatan yang dipimpin oleh seorang Jepang, Hiraki namanya. Sayuti sering menulis tajuk untuk surat kabar tersebut. Akibatnya dia masuk penjara lagi. Kemudian dia menerbitkan Majalah Pesat sampai tahun 1941.
Saat zaman Jepang ia masuk penjara lagi. Dari penjara dia ikut sayembara mengarang tentang "Kebudayaan dan Kemerdekaan" dengan nama samaran Mantri Penjara. Juri sayembara tersebut antara lain Bung Karno dan Moh. Yamin.
Karangan Pak Sayuti mendapat hadiah pertama. Tetapi yang menerima hadiah bukan penulisnya, yang pada saat penyerahan hadiah masih meringkuk dalam penjara, melainkan R.M. Hadikusumo. Sebab kedudukannya sebagai Mantri Penjara dipinjam oleh Pak Sayuti.
Pada peristiwa 3 Juli 1947 Pak Sayuti kembali masuk penjara selama dua tahun, sekalipun akhirnya dibebaskan karena dia memang tidak ikut dalam gerakan tersebut. Perjuangan Sayuti dan S.K. Trimurti dianugerahi oleh Pemerintah dengan pengangkatan mereka sebagai Mahaputera.