Sejak Dulu Kala, Benarkah Olimpiade Selalu Dibayangi Masalah Politik?

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Sportivitas, itulah nilai yang dibawa oleh gelaran olahraga seperti Olimpiade. Tapi benarkah olimpiade selalu dibayangi masalah politik?

Olimpiade pada awal mulanya dulu, tahun 776 SM, sekadar mainan para pria di Olympia, Yunani, berupa lomba lari yang hanya boleh disaksikan laki-laki - antara lain karena pesertanya telanjang. Kini menjelma jadi peristiwa olahraga amat besar.

Sydney, kota penyelenggara olimpiade ke-27 di zaman modern - sebenarnya periode ke-24 karena tiga perhelatan yakni Berlin (1916), Tokyo/Helsinki (1940), dan London (1944) batal oleh Perang Dunia I dan II - menargetkannya sebagai olimpiade tersukses dan termegah sepanjang sejarah.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Orang-orang selalu berteriak-terika, "jauhkan politik dari olahraga", "politik mengotori olahraga", "politik menghilangkan unsur sportivitas dalam olahraga", dan lain sebagainya. Benarkah olahraga benar-benar bisa bersih dari politik?

Mari kita lihat Olimpiade Sydney 2000,saatmasalah internasional selesai, persoalan justru muncul dari dalam negeri Australia. Para aktivis lingkungan dan gerakan pembela suku Aborigin memanfaatkan Olimpiade 2000 sebagai ajang aksi protes terhadap kebijakan pemerintah Australia yang dianggap menyisihkan kaum Aborigin.

Kendati dicita-citakan sebagai wadah sportivitas, bebas dari kendala politis dan aneka macam diskriminasi, olimpiade dari waktu ke waktu tak pernah bebas dari rongrongan. Masih mudah diingat Olimpiade Los Angeles 1984, yang sukses secara komersial, tak diikuti negara-negara Blok Timur. Aksi boikot itu merupakan balasan dari perlakuan Amerika dan berbagai negara lain yang tidak mengikuti Olimpiade Moskow 1980 karena memprotes invasi Uni Soviet ke Afghanistan pada Desember 1979.

Empat tahun sebelumnya, Montreal 1976, peserta olimpiade berkurang 400 atlet gara-gara sejumlah negara mengundurkan diri di saat-saat akhir. Mereka memprotes Selandia Baru yang tim rugbinya berafiliasi dengan Afrika Selatan, republik yang ditolak banyak negara karena politik apartheidnya.

Benturan politik amat keras terjadi pada Olimpiade Munich 1972. Kompetisi olahraga amatir yang diikuti 8.000 atlet dan ofisial dari 124 negara itu dikejutkan oleh serangan teror terhadap atlet Israel.

Dua orang tewas, sembilan atlet disandera untuk ditukar dengan 200 tawanan di Israel. Penyerbuan oleh pasukan Jerman Barat akhirnya memakan korban tewas sembilan atlet yang disandera, lima penyandera, dan seorang setempat.

Organisator berusia 24 tahun

Prancis selalu memiliki organisator hebat di setiap masa. Olimpiade modern pun terlaksana atas jasa orang Prancis, Baron Pierre de Coubertin. Dalam usia 24 tahun, pemuda kelahiran 1 Januari 1863, yang meminati sastra, sosiologi, dan pendidikan, itu berangan-angan menyelenggarakan kembali olimpiade, kegiatan olahraga yang pernah mentradisi sejak tahun 776 SM.

Pada pertemuan badan atletik di Paris, 25 November 1892, ia melemparkan gagasan itu. Tapi tak ada tanggapan berarti. Namun de Coubertin tak patah semangat. Pada konferensi internasional olahraga di Paris, Juni 1894, yang diikuti 79 delegasi dari 49 organisasi olahraga di 9 negara, dia menggulirkannya lagi. Kali itu banyak pihak tergerak.

Bersama dua orang koleganya, Dimitrios Vikelas dari Yunani dan Prof. William M. Sloane dari AS, dia mempromosikan rencana itu. Makin banyak negara yang setuju. Dibentuklah Komite Olimpiade Internasional (IOC) yang berpusat di Swis, dengan agenda penyelenggaraan olimpiade di Paris tahun 1900. Olimpiade akan berlangsung di pelbagai tempat berbeda empat tahun sekali.

Tapi de Coubertin berpikir, kalau bisa dilangsungkan lebih awal, kenapa harus menunggu sampai tahun 1900? Kenapa pula harus di Paris? Bukankah tak ada tempat lain yang pantas dijadikan tonggak awal kecuali Athena, ibukota Yunani?

Sayang, Kota Athena menolak. Tapi de Coubertin bersama 14 anggota IOC yang baru terpilih membujuk pihak kerajaan. Cara ini berhasil. Maka pada minggu pertama April 1896 olimpiade modern pun dimulai dengan tanda peresmian oleh Raja Yunani. Diikuti hampir 300 atlet dan ofisial dari 13 negara, bertarung dalam 42 pertandingan dari 10 cabang olahraga.

Bola bergulir, dan makin banyak negara menjadi anggota IOC. Setelah di Paris pada 1900, Olimpiade 1904 dilangsungkan di St. Louis, AS. Kemudian London (1908), Stockholm (1912), dan mestinya Berlin pada 1916. Agenda itu batal karena Perang Dunia I pecah. Baru pada 1920 olimpiade dilangsungkan di Antwerpen, Belgia. Disusul Paris (1924), Amsterdam (1928), Los Angeles (1932), Berlin (1936).

Di Olimpiade Berlin ini terjadilah "tamparan" keras kepada Adolf Hitler, yang jumawa mengagungkan ras Aria, oleh atlet kulit hitam AS, Jesse Owens, yang merebut empat medali emas dari lari 100 m (10,3 detik, rekor Olimpiade), 200 m (20,7 detik, rekor Olimpiade dan rekor dunia), lompat jauh (lompatannya 8,06 m di tahun 1935 tak diakui sebagai rekor dunia), dan lari estafet 400 m (39,8 detik, rekor dunia).

Perang Dunia II tak memungkinkan penyelenggaraan olimpiade yang mestinya di Tokyo atau Helsinki tahun 1940, dan London (1944). Barulah pada 1948 London jadi tuan rumah, disusul Helsinki pada 1952, Melbourne (1956), Roma (1960), Tokyo (1964), Mexico City (1968), dan Munich (1972) yang bernoda darah.

Beberapa cabang ski es dipertandingkan pada Olimpiade London 1908 dan Olimpiade Antwerpen 1920. Maka sejak 1924 IOC menyelenggarakan Olimpiade Musim Dingin yang, walaupun tempatnya terpisah dari Olimpiade Musim Panas, saatnya hampir bersamaan. Ketika Olimpiade 1924 dilangsungkan di Paris, misalnya, atlet olahraga es bertarung di Chamoix, Perancis, mempertandingkan 16 nomor yang juga diikuti 16 negara.

Kebersamaan itu berlangsung sampai Olimpiade Barcelona 1992–dan Olimpiade Musim Dingin dilangsungkan di Albertville, Perancis. Sidang IOC memutuskan, kedua olimpiade dilangsungkan berselang-seling tiap dua tahun. Tahun 1994 Olimpiade Musim Dingin diadakan di Lillehammer, Norwegia, dan Olimpiade Musim Dingin 1998 di Nagano, Jepang.

Kebanyakan telanjang

Awal mulanya dulu, olimpiade adalah peristiwa yang terkait dengan perayaan keagamaan masyarakat Yunani Kuno untuk menghormati Dewa Zeus. Perayaan dilangsungkan selama satu hari, antara tanggal 6 Agustus dan 19 September. Periodisasinya sekali dalam empat tahun (diistilahkan olympiad), mengambil tempat di Kota Olympia.

Pertama kali digelar pada 776 SM, melombakan lari di jalur sepanjang 192 m dengan lebar 32 meter. Juaranya adalah seorang juru masak dari .Elis, sebuah distrik di Olympia, bernama Coroebus. Adu lari itu diduga telah dikenal masyarakat Yunani sejak 500 tahun sebelumnya, sebagaimana aneka jenis permainan lain.

The New Encyclopaedia Britannica merujuk sebuah legenda yang menyebutkan, permainan itu ditemukan oleh Heracles, anak Alcmene. Olimpiade pertama hanya mempertandingkan satu nomor. Namun ada acara lain yang berlangsung dalam waktu sama, yakni balap kuda. Pada 724 SM diperkenalkan sebuah cabang baru, lari yang jaraknya dua kali lipat jarak pertama (kira-kira setara 400 m), disebut diaulos.

Empat tahun berikutnya nomor baru ditambahkan, yakni lari jarak jauh yang disebut dolichos, setara 1.500 meter ukuran modern - bahkan mungkin 5.000 m. Pada Olimpiade 708 SM dimasukkan gulat dan pentathlon (gabungan lompat jauh, lempar lembing, lempar cakram, lari, dan gulat). Cabang tinju masuk pada tahun 688 SM, disusul balap kereta pada 680 SM.

Pada 648 SM diperkenalkan pancratium (pankration - Yunani) yakni olahraga semacam gulat gaya bebas. Boleh memukul atau menendang, namun tak diperkenankan menggigit atau mencolok mata. Olimpiade antara 632 dan 616 SM diisi lomba untuk anak-anak. Sejak itu, hampir di setiap penyelenggaraan ditambahkan cabang baru, termasuk lomba untuk para serdadu berseragam.

Sampai Olimpiade (kuno) ke-77, tahun 472 SM, perhelatan berlangsung satu hari. Barulah di masa-masa kemudian diperpanjang bervariasi, sampai empat hari. Biasanya pada hari kelima dilakukan upacara penghormatan pemenang, pembagian hadiah, dan resepsi untuk para peserta.

Sampai saat itu, menurut beberapa referensi, kaum perempuan tak diizinkan ikut, baik sebagai peserta maupun penonton, kecuali pendeta perempuan Deineter yang pernah menjadi tokoh di suatu masa. Sebabnya antara lain: kebanyakan atlet, apalagi semua atlet di masa awal olimpiade, bertarung tanpa busana alias telanjang.

Karena ajang itu bersifat amatir, hadiah bagi pemenangnya sekadarnya, karena kehormatan dianggap lebih penting. Yang sering terjadi, seorang juara memperoleh gelar kehormatan dari pemerintah wilayah yang diwakilinya, atau menjadi "spesialis" untuk diadu kekuatan dalam kesempatan lain demi bayaran. Rupanya cikal bakal ganjalan dikotomi amatirisme dan profesionalisme olahraga telah ada sejak sebelum Masehi.

Medali baru diberikan di masa olimpiade modern. Medali emas murni diberikan kepada juara I sampai Olimpiade Stockholm 1912. Setelah itu, yang diberikan adalah 6 gram emas murni yang disepuhkan pada lempengan perak. Juara kedua memperoleh medali perak, dan ketiga perunggu. Pemenang keempat sampai kedelapan memperoleh diploma, sementara semua peserta dan ofisial mendapat medali kenangan.

Yunani jatuh pada kekuasaan Kekaisaran Romawi pada pertengahan abad II SM. Akibatnya, kegiatan olimpiade pun surut, bahkan pada 393 Masehi Kaisar Theodosius I melarang total olimpiade. Bertanding–apalagi tanpa busana–di depan umum adalah perbuatan cela. Untunglah pada periode selanjutnya ada Kaisar Augustus yang, selain menggemari atletik, juga menyukai festival tradisional Yunani yang menjadi cikal bakal olimpiade.

Maka dibangunlah stadion kayu di dekat Circus Maximus. Tempat ini juga menjadi fokus ketika Romawi diperintah Kaisar Nero, yang menggelar tak kurang dari 150 hari pertandingan dalam setahun. Ada lomba kereta dan balap kuda di stadion dengan tribun berkapasitas 250.000 penonton, juga sebuah amphitheatre yang menampung 50.000 orang.

Sayang, bagi orang Romawi, perayaan lebih penting daripada lomba. Mereka lebih suka cabang-cabang seperti gulat, tinju, dan pancratium daripada atletik. Peristiwa olimpiade lebih bernilai permainan (ludi), sementara bagi orang Yunani dianggap sebagai kontes (agones).

Yang satu mementingkan hiburan, yang lain kompetisi. Maka sejak saat itu, pudarlah olimpiade. Sampai 18 abad kemudian, Baron Pierre de Coubertin tergugah untuk meneruskannya.

Olimpiade dan Indonesia

Soal olimpiade, atlet Indonesia punya sejarah cukup panjang, yakni sejak Helsinki 1952. Sekalipun merupakan kontingen terkecil, tiga orang–Sudarmojo (loncat tinggi), Thio Ging Hwie (angkat besi), dan Suharko (renang)--keikutsertaan itu penting karena baru tiga tahun sebelumnya, 1949, Indonesia mendapat pengakuan dunia masuk menjadi anggota IOC.

Di Olimpiade Melbourne 1956 ada catatan yang masih membekas hingga kini: tim sepakbola Indonesia berhasil menahan 0-0 Uni Soviet, yang akhirnya jadi juara. Di Roma 1960, Indonesia menambah partisipasi dengan menyertakan atlet anggar putri, balap sepeda, dan layar.Dampak persoalan politik dialami Indonesia di Tokyo 1964.

Atlet yang sudah tiba di sana tidak diperkenankan tampil karena IOC menilai Indonesia melanggar Olympic Chapter pada penyelenggaraan Asian Games 1962 di Jakarta, yaitu tidak menyertakan Israel. Sanksi itu direhabilitasi pada 1966, sehingga Indonesia boleh ikut Olimpiade Mexico City 1968.

Saat tragedi berdarah di Munich 1972, Indonesia justru berprestasi lewat atlet angkat besi Charlie Depthios yang memecahkan rekor snatch dunia. Namun karena angkatan dilakukan pada extra lift, ia tak memperoleh medali. Masih ada catatan prestasi lain, yakni pemanah Donald Pandiangan dan Leane Suniar yang mampu menggapai babak akhir.

Faktor politik kembali menyelimuti ketika Indonesia hanya mengirimkan ofisial resmi dan bukan atlet ke Olimpiade Moskow 1980. Ketika era bisnis olimpiade, dimulai di Los Angeles 1984, sprinter Purnomo Mohammad Yudi masuk ke perempat final lari 100 m putra.

Era medali dimulai ketika olimpiade digelar di Seoul, 1988. Para pemanah, Lilies Handayani, Kusuma Wardhani, dan Nurfitriana merebut medali perak beregu putri. Di Barcelona empat tahun kemudian, saat bulutangkis resmi dipertandingkan, Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma sama-sama merebut satu emas dari nomor tunggal.

Dilengkapi Ardy B. Wiranata (perak tunggal putra), Eddy Hartono/Gunawan (perak ganda putra), dan Hermawan Susanto (perunggu tunggal putra). Kejayaan ditambah di ajang taekwondo, yang masih merupakan cabang eksibisi. Medali perak bagi Dire Richard T (54 kg putra), Rahmi Kurnia (43 kg putri), Susilawati (60 kg putri), dan perunggu bagi Jefri Tri Aji (50 kg putra).

Di Atlanta 1996 kejayaan masih berlanjut melalui emas ganda putra bulutangkis, Ricky Subagja/Rexy Mainaky. Satu perak untuk Mia Audina (tunggal putri), serta dua perunggu bagi Susi Susanti (tunggal putri) dan Denny Kantono/Antonius (ganda putra).

Begitulah cerita Olimpiade yang tak pernah jauh dari politik

Artikel Terkait