Find Us On Social Media :

Jejak Sejarah Kalender Jawa, Warisan Budaya yang Disempurnakan Sultan Agung Mataram

By Afif Khoirul M, Rabu, 10 Juli 2024 | 08:30 WIB

Kalender Jawa. Jelajahi bentuk-bentuk akulturasi antara kesultanan Islam dengan Hindu dan Budha yang membentuk mozaik budaya/sosial Indonesia.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Di tengah hiruk pikuk modernisasi, tradisi dan budaya leluhur terus beradaptasi, menyapa era baru tanpa kehilangan jati diri. Salah satu contohnya adalah Kalender Jawa, sistem penanggalan yang masih lestari di kalangan masyarakat Jawa, khususnya di Pulau Jawa.

Lebih dari sekadar penunjuk waktu, Kalender Jawa menyimpan jejak sejarah panjang, mencerminkan filosofi, tradisi, dan spiritualitas yang telah diwariskan turun-temurun.

Akar sejarah Kalender Jawa tertanam di masa kejayaan Kesultanan Mataram. Pada tahun 1633 Masehi, Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja visioner dan budayawan, meresmikan penggunaan Kalender Jawa.

Lahirnya kalender ini menjadi tonggak penting dalam sejarah budaya Jawa, menandai era penyatuan berbagai sistem penanggalan yang sebelumnya digunakan secara terpisah.

Sebelum era Sultan Agung, masyarakat Jawa mengenal berbagai sistem penanggalan, seperti Saka, Hindu, dan Islam. Keberagaman ini, meskipun menunjukkan kekayaan budaya, menimbulkan kebingungan dan kesulitan dalam mengatur kehidupan sehari-hari.

Melihat situasi ini, Sultan Agung tergerak untuk menyatukan berbagai sistem penanggalan tersebut, melahirkan Kalender Jawa yang terpadu.

Kalender Jawa merupakan hasil perpaduan apik antara filosofi Hindu, Islam, dan Jawa kuno, dengan tetap memperhatikan unsur-unsur astronomi. Sistem penanggalan ini memiliki siklus 358 hari, terdiri dari 12 bulan dengan 29 atau 30 hari per bulan.

Setiap bulan memiliki nama dan filosofinya sendiri, seperti Sura, Bakda Mulud, Sapar, Mulud, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya'ban, Ramadhan, dan Syawal.

Keunikan Kalender Jawa terletak pada sistem pasarannya, yaitu lima hari dalam seminggu yang dinamakan Legi, Kliwon, Pahing, Pon, dan Wage. Setiap hari pasaran memiliki nilai dan makna spiritualnya masing-masing, yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan, seperti adat istiadat, pernikahan, dan primbon.

Penggunaan Kalender Jawa tidak hanya terbatas pada penanggalan waktu, tetapi juga memiliki peran penting dalam ritual keagamaan, adat istiadat, dan tradisi Jawa.

Kalender ini menjadi pedoman dalam menentukan hari-hari besar Islam, seperti Idul Fitri dan Idul Adha, serta perayaan adat Jawa, seperti Sekaten dan Nyepi.

Dampak penerapan Kalender Jawa di masa Sultan Agung sangatlah signifikan. Sistem penanggalan yang terpadu ini membawa stabilitas dan kesatuan dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Kalender ini menjadi alat pemersatu, memperkuat identitas budaya, dan mempermudah berbagai aspek kehidupan, seperti perdagangan, pertanian, dan pemerintahan.

Seiring perkembangan zaman, Kalender Jawa telah mengalami beberapa penyesuaian dan pembaharuan. Namun, esensi dan maknanya tetap lestari, menjadi bagian integral dari budaya dan identitas masyarakat Jawa.

Kalender ini menjadi pengingat bagi generasi penerus untuk terus menjaga dan melestarikan budaya Jawa yang luhur.

Lebih dari sekadar penunjuk waktu, Kalender Jawa merupakan warisan budaya yang tak ternilai harganya. Di balik kesederhanaannya, tersimpan kekayaan filosofi, tradisi, dan spiritualitas yang telah diwariskan turun-temurun oleh leluhur Jawa.

Kalender ini menjadi bukti kekayaan budaya Indonesia yang patut dijaga dan dilestarikan.

Baca Juga: Mengintip Nasib Lewat Pawukon, Benarkah Lebih Ampuh Dibanding Zodiak Dan Shio?

Ragam Unsur dan Makna Kalender Jawa

Kalender Jawa bukan sekadar deretan angka dan nama bulan. Di baliknya, tersimpan kekayaan filosofi dan tradisi yang telah diwariskan turun-temurun. Berikut beberapa unsur penting dalam Kalender Jawa dan maknanya:

Sistem Pasaran: Lima hari pasaran (Legi, Kliwon, Pahing, Pon, dan Wage) memiliki nilai dan makna spiritualnya masing-masing, yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan, seperti adat istiadat, pernikahan, dan primbon.

Wuku: Setiap bulan dibagi menjadi 9 wuku, yang mewakili berbagai aspek alam, watak manusia, dan peristiwa penting.

Neptu: Setiap hari pasaran dan wuku memiliki neptu (nilai) yang dihitung berdasarkan penjumlahannya. Neptu ini digunakan dalam berbagai ritual adat, seperti pernikahan dan penentuan hari baik.

Sengkala: Sengkala adalah kata atau kalimat yang digunakan untuk mewakili tahun dalam Kalender Jawa. Sengkala biasanya dibuat berdasarkan peristiwa penting yang terjadi pada tahun tersebut.

Pelestarian Kalender Jawa

Di era modernisasi, Kalender Jawa menghadapi berbagai tantangan dalam upaya pelestariannya.

Dominasi kalender Masehi dalam kehidupan sehari-hari, minimnya edukasi dan sosialisasi kepada generasi muda, serta gempuran budaya.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---