Penulis
Kereta jenazah Pakubuwono X hanya dipakai sekali, pada 1939, ketika sang raja mangkat dan dikuburkan di Makam Raja Imogiri, Yogyakarta. Ini cerita uniknya.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan artikel terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Jika kamu jalan-jalan di Alun-alun Selatan Keraton Surakarta, kamu akan melihat dua gerbong kereta teronggok di sebelah utaranya. Itu bukan gerbong kereta sembarangan, ada cerita menarik dari dua gerbong tersebut.
Satu di antara keduanya, cuma sekali dipakai. Itu terjadi saat Sunan Pakubuwuno X meninggal dunia. Benar, itulah kereta jenazah PB X yang dibuat pada 1914 dan dikirim ke Hindia Belanda setahun kemudian.
Sementara kereta atau gerbong satunya adalah kereta pesiar PB X. Mengutip situs Surakarta.go.id, gerbong itu adalah bagian dari rangkaian kereta pesiar yang diberangkatkan dari Stasiun Solo Jebres. Fungsinya adalah untuk mengantarkan PB X dalam rangka meninjau pabrik gula juga untuk keperluan lainnya.
Teknologi kereta ini juga tergolong cukup canggih untuk kurun waktu itu. Lihat saja, kereta ini punyakeunikan pada pendinginnya. Masih dari sumber yang sama, kereta pesiar HB X ini tidak menggunakan freon, tapi menggunakan es batu untuk mendinginkan ruangan. Jika air es batu telah mencair dapat digunakan untuk cuci tangan di wastafel yang tersedia di dalamnya.
Terkait apa-apa yang ada dalam kereta itu, ternyata HB X langsung turun tangan. Dia langsung turun tangan memberi masukan terkait desain kereta pesiar ini kepada perusahaan Werkspoor di Belanda.
Lalu kereta jenazah PB X, adalah gerbong kereta khusus yang digunakan untuk mengantarkan penguasa Kasunana Surakarta ke-10 ituke peristirahatan terakhirnya. PB X sendiri mangkat pada 1939, meski begitu, kereta jenazah ini sudah dipersiapkan sejak sekitar 1909-1920. PB X langsung memesan kereta ini ke perusahaan Belanda yang juga membuat kereta pesiar yaitu Werkspoor.
Kereta itu akhirnya rampung sekitar tahun 1914 tapi baru dikirim ke Hindia Belanda setahun kemudianoleh perusahaan NIS yang berkantor di sebuah gedung yang sekarang dikenang dengan Lawang Sewu di Semarang.
Sepanjang keberadaannya, kereta ini hanya digunakan satu kali pada 1939, ketika Pakubuwono X mangkat. Kereta itu membawa jenazah PB X dari Stasiun Solo Balapan ke Stasiun Tugu Jogja yang kemudian dilanjutkan dengan kereta kuda untuk dibawa ke Makam Raja Imogiri. Setelah melalui perjalanan dari Kota Solo ke Kota Jogja, kereta ini sempat lama ditempatkan di Balai Yasa Yogyakarta untuk diperbaiki.
Setelah itu, kereta akhirnya dibawa kembali ke Kota Solodan ditempatkan di Alun-alun Selatan Kasunanan Surakarta sebagai bentuk penghormatan kepada salah satu benda pusaka keraton.
Peletakannya di sebelah barat ternyata memiliki makna filosofi yang mendalam. Barat diartikan sebagai matahari terbenam, ini diidentikkan dengan berakhirnya sebuah kehidupan, dalam hal ini PB X, sehingga pemahaman ini sesuai dengan fungsi kereta jenazah yang telah bertugas mengantarkan jenazah sang raja.
PB X yang berjasa memajukan Kota Solo tapi punya selir banyak
Sri Susuhunan Pakubuwono X bisa dibilang sebagai salah satu raja terbesar yang pernah memimpin Kasunan Surakarta atau Keraton Solo.
Bagaimana tidak, beberapa kemajuan yang terjadi di Kota Solo adalah berkat jasanya. Belum lagi, dia juga dikenal sebagai raja yang aktif dalam perjuangan pergerakan nasional. Karena itulah Pakubuwono X diberi gelar Pahlawan Nasional pada 2011 lalu.
Di luar itu, Pakubuwono X juga dikenal karena selirnya yang banyak. Pakubuwono X merupakan putra Pakubuwono IX dan Kanjeng Ratu Kustiyah yang lahir pada 29 November 1866.
Dia punya nama kecil Raden Mas Sayiddin Malikul Kusno. Sebelum dinobatkan sebagai raja Keraton Solo, dia pernah dikenal sebagai Sayiddin Panotogomo.
Sayiddin Panotogomo memiliki arti seorang pemimpin dengan kewajiban untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan urusan agama. Julukan ini diberikan oleh para penghulu dari keturunan Wali Songo di Masjid Pujosono Keraton Surakarta.
Raden Mas Sayiddin Malikul Kusno naik takhta pada 30 Maret 1893. Setelah itu dia memakai gelar Sri Susuhunan Pakubuwono X. Pemerintahan Pakubuwono X merupakan masa transisi dari kemelut perang ke masa yang lebih stabil.
Beberapa kebijakan yang terfokus pada kesejahteraan rakyatnya pun dicanangkan, sebagai berikut.
- Membangun fasilitas kesehatan (klinik Panti Rogo yang berkembang menjadi Rumah Sakit Kadipolo dan apotek Pantihusodo).
- Mendirikan bank untuk memberikan kredit bangunan rumah bagi rakyat.
- Membangun sekolah-sekolah (Sekolah Pamardi Putri, Kasatriyan, dan Rijksstudiefond).
Pakubuwono X juga membangun infrastruktur modern Kota Surakarta, seperti membangun Pasar Gedhe Harjonagoro, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, Kebun Binatang Jurug, Taman Balekambang, serta gapura-gapura di batas kota Surakarta.
Tak hanya itu, dia juga membangun rumah pemotongan hewan di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, dan rumah pembakaran jenazah bagi warga Tionghoa.
Kiprah dalam pergerakan nasional
Tidak hanya memajukan rakyatnya, Pakubuwono X juga berperan aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Di tengah tekanan politik yang luar biasa, sunan tetap mendukung organisasi politik, memberikan kebebasan penerbitan media, bahkan memberikan dukungan materi.
Pakubuwono X diketahui mendorong pergerakan Budi Utomo dan mendukung Sarekat Islam yang didirikan oleh Haji Samanhudi pada 1911.
Sunan juga melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Jawa demi mendukung dan membangkitkan semangat nasionalisme rakyat. Di sisi lain, Pakubuwono X mampu menjauhkan konflik dengan tampil seolah sebagai sekutu pemerintah Hindia Belanda.
Istri dan keturunan Pakubuwono X
Pakubuwono X memiliki dua permaisuri dan 39 istri selir. Permaisurinya adalah GKR. Pakubuwono, putri Mangkunagara IV, dan GKR. Hemas, putri Hamengkubuwono VII.
Dari permaisuri dan selir-selirnya, Pakubuwono X dikaruniai 63 putra dan putri. Namun, kedua permaisurinya tidak memberinya anak laki-laki.
Dari 63 anaknya itu, beberapa di antaranya ikut berperan dalam memerjuangkan kemerdekaan Indonesia. Misalnya seperti Jenderal TNI (Purn.) GPH. Djatikoesoemo, Brigjen TNI (Purn.) Prof. GPH. Harya Mataram, GPH. Hangabehi (Pakubuwono XI), dan GPH. Suryo Hamijoyo.
Pakubuwono X wafat pada 1 Februari 1939 setelah berkuasa selama 46 tahun, menjadikannya sebagai sunan yang paling lama memerintah di Kasunanan Surakarta.
Setelah itu, Pakubuwono dimakamkan di Imogiri, Yogyakarta, dan takhta keraton jatuh ke tangan putranya, Raden Ontoseno atau GPH. Hangabehi, yang kemudian bergelar Pakubuwono XI.
Semasa menjadi Sunan Surakarta, Pakubuwono X banyak menerima penghargaan dari sejumlah negara. Kemudian pada 2011, Pakubuwono X resmi dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah RI.
Begitulah kisah seputar kereta jenazah Pakubuwono X yang cuma sekali dipakai, tentu ketika PB X meninggal dunia dan harus dimakamkan di Makam Raja Imogiri, Bantul, Yogyakarta.
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News