Hanya Dokter Pribadi Yang Tahu Kondisi Kesehatan Bung Karno Sebelum Baca Teks Proklamasi 17 Agustus 1945

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Kondisi kesehatan Bung Karno sebelum membaca teks Proklamasi 17 Agustus 1945. Dibongkar oleh dokter pribadi.

Pada momen-momen penting kehidupan Soekarno, saksi-saksi kunci justru berasal dari para dokter di sekelilingnya. Merekalah yang bertutur tentang kondisi sesungguhnya dari Putra Sang Fajar.

Oleh Tjahjo Widyasmoro

---

Intisari kini hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Masyarakat Indonesia yang mengenal Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, melalui buku-buku sejarah, umumnya menangkap momen penting dalam sejarah bangsa itu sebagai sebuah peristiwa gegap gempita. Malah justru yang sering luput dari perhatian orang, tokoh sentral dalam peristiwa penting itu, Ir. Soekarno, kala itu sesungguhnya sedang tidak enak badan.

Sejak malam sebelumnya, kondisi kesehatan Soekarno memang terus turun. Bahkan pagi hari, jelang detik-detik Proklamasi, ia demam tinggi dan tidak bisa bangkit dari ranjang. Soekarno juga tidak berpuasa Ramadan.

Adalah dr. Raden Soeharto, tokoh perjuangan sekaligus sahabat Soekarno yang mengecek kesehatannya pagi itu. Sekitar pukul 08.00, Soeharto sengaja datang ke Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Dari diagnosisnya, Soeharto berkesimpulan penyakit malaria Soekarno sedang kambuh.

Kemungkinan karena terlalu letih setelah perjalanan dari Rengasdengklok beberapa hari sebelumnya. Ditambah lagi, Soekarno sempat begadang di rumah Laksamana Maeda untuk menyusun naskah Proklamasi.

Soeharto kemudian memberi suntikan chinineurethan intramusculair dan obat oral, broom-chinine. Obat-obatan malaria dengan komposisi yang menurut ukuran zaman sekarang amatlah sederhana itu, terbukti membuat Soekarno merasa lebih enak.

Terbukti, pukul 09.30, Soekarno akhirnya turun dari tempat tidur dan berpakaian. Pukul 10.00, proklamasi kemerdekaan dikumandangkan. Namun tak sampai 20 menit kemudian, Sang Proklamator sudah kembali masuk ke kamar untuk melanjutkan istirahatnya. Tubuhnya ambruk lagi.

Spesialis THT jadi pengawal

Pagi itu sebenarnya bukan hanya ada satu dokter yang ada di rumah Soekarno. Sejarah mencatat, setidaknya ada satu dokter lagi yakni dr. Moewardi. Bahkan, dua dokter ini juga sempat saling menyapa. Hanya saja, urusan kesehatan Soekarno jadi tanggung jawab Soeharto.

Pada hari-hari jelang Proklamasi, Moewardi, dokter spesialis THT lulusan Geneeskundig Hooge School (GHS) tahun 1939 ini memang lebih menonjol sebagai tokoh Barisan Pelopor. Barisan yang tugasnya menjaga keamanan para pemimpin perjuangan ketika itu. Karena Soekarno adalah salah satunya, maka pagi itu Moewardi bersiaga di sana.

Meski aktivitas Moewardi banyak dihabiskan di organisasi keamanan, tugas profesinya sebagai dokter tetaplah dijalani. Terutama dalam mengobati para pejuang yang terluka di medan tempur. Belakangan, ia juga mendirikan sekolah kedokteran di Jebres, Surakarta. Sekaligus berpraktik dokter di rumah sakit setempat.

Semasa Revolusi Fisik, nama Moewardi dikenal antara lain dengan mendirikan Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR) pada 1948 di Surakarta. GRR sesungguhnya adalah pengimbang bagi Front Demokrasi Rakyat (FDR), sebuah aliansi dari sejumlah organisasi berhaluan komunis.

Bahkan, FDR pula yang akhirnya menggerakkan Peristiwa Madiun 1948.

Sayangnya konfrontasi dengan kelompok merah inilah yang kemudian membuat Moewardi harus kehilangan nyawanya. Pada 13 Agustus 1948 ia diculik dan jasadnya tak tentu kuburnya hingga kini.

Baca Juga: Kok Bisa Amerika 'Tunduk' Kepada Bung Karno? Minta Apa Saja Dikabulkan

Cuma “masuk angin”

Keberadaan dokter-dokter dalam kehidupan Soekarno, menariknya bukan hanya terkait dengan masalah medis, melainkan juga politik pemerintahan. Dua dokter yang bisa dikatakan paling mewarnai perjalanan politik masa pemerintahan Orde Lama, tak lain dr. Soebandrio dan dr. Johannes Leimena.

Berbagai posisi penting dalam pemerintahan, disandang dua dokter yang masing-masing memiliki latar belakang pendidikan kedokteran pada era berbeda ini (Soebandrio lulusan GHS sedangkan Leimena dari STOVIA).

Namun di antara sekian jabatan pemerintahan, keduanya pernah sama-sama dalam satu jabatan yakni Wakil Perdana Menteri, dari 1962 sampai 1966. Perdana menterinya, ya Soekarno sendiri. Menariknya, dua dokter ini pula yang pernah memastikan kondisi kesehatan sang Pemimpin Besar Revolusi itu ketika dikabarkan sakit keras pada Agustus 1965.

Seperti akhirnya sejarah mencatat, rumor sakitnya Soekarno inilah yang memantik terjadinya Peristiwa G30S. Apakah benar Soekarno sakit keras? Semua berawal dari Soekarno yang tiba-tiba terjatuh di Istana, pada 3 Agustus 1965. Dokter dari RS Carolus yang didatangkan, mendiagnosis bahwa pembuluh darah koroner Soekarno kurang baik, tetapi bukan serangan jantung.

Dalam buku Kesaksianku tentang G30S (2001), Soebandrio menyatakan dia sendiri yang telah memeriksa kesehatan Soekarno sebelum kedatangan tim dokter RRC. Di situlah ia berani berkesimpulan, Soekarno sebenarnya cuma “masuk angin”.

Bahkan, ia berani menyatakan, tim dokter RRC yang dibawa Ketua CC PKI, DN Aidit, sebenarnya hanyalah dokter dari Kebayoran Baru. Sayangnya, bintang Soebandrio meredup seiring kejatuhan pemerintahan Orde Lama. Menteri luar negeri selama 9 tahun ini kemudian malah diadili dengan tuduhan terlibat G30S. Vonisnya hukuman mati.

Meski beberapa tahun kemudian, vonis diperingan, hingga akhirnya dibebaskan pada 1995 karena alasan kesehatan.

Berbeda kisah dengan dr. Leimena yang perjalanan politiknya terus berlanjut. Setelah menjabat menteri selama 21 tahun tanpa putus pada 19 kabinet yang berbeda, Leimena mengundurkan diri sebagai menteri pada masa Orde Baru. Presiden Soeharto kemudian masih memintanya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung, sampai 1973.

Setelah itu ia lebih aktif di organisasi politik dan keagamaan.

Peralatan peninggalan Belanda

Semasa menjabat presiden, Soekarno tentu punya Tim Dokter Kepresidenan. Pada paruh kedua dekade 60-an atau tahun-tahun terakhir kekuasaannya, tercatat tim itu diketuai Prof. Siwabessy dengan anggota tim dr. Soeharto, dr. Tan Sin Hin, dan Kapten CPM dr. Soeroyo.

Tim dokter jelas memantau ketat kondisi Soekarno yang kala itu penyakit ginjal dan jantungnya sudah kronis. Namun selain penyakit yang akhirnya berkomplikasi itu, ada pula beberapa keluhan lain seperti pada mata dan gigi. Kondisi itulah yang mempertemukan Soekarno dengan dr. Oei Hong Kian, salah satu dokter gigi ternama di Jakarta kala itu.

Sebelum Oei, sebenarnya ada dokter gigi khusus yang menangani Soekarno, tapi kemudian mendadak pindah ke luar negeri. Tanpa pamitan pula. Oleh salah satu dokter kepresidenan, dr. Tan, Oei kemudian diajak ke Istana untuk memeriksa Soekarno.

Akan tetapi Oei rupanya tidak bisa berbuat banyak. Sebab peralatan dokter gigi di istana ternyata sudah sangat tua. Maklum, peninggalan zaman pemerintahan militer Belanda. Bor gigi misalnya, masih belum bisa mengeluarkan air. Oei tak sanggup memakainya.

Sementara di rumah Oei, peralatan sudah sangat memadai. Alat-alat yang tergolong canggih pada masa itu, karena dia mendatangkannya langsung dari Jepang.

Namun masalahnya, situasi tidak memungkinkan Soekarno ke luar istana. Walhasil, jalan tengahnya, peralatan dari rumah Oei dibawa ke Istana pakai truk tentara.

Berobat ke rumah

Dalam buku Oei Hong Kian, Dokter Gigi Soekarno dari penerbit Intisari (2001) Oei menggambarkan Soekarno sebagai sosok ramah. Bukan sekadar berobat, usai giginya ditangani, Oei selalu diajak duduk-duduk santai sekadar menikmati secangkir teh atau kudapan lain di serambi Istana.

Mereka berbincang akrab layaknya teman lama.

Akan tetapi pada momen-momen intim itu, Oei sebenarnya juga bisa merasakan rasa kesepian Soekarno, terutama setelah satu per satu kekuasaannya dilucuti. Tak banyak lagi orang yang berani mengunjunginya. Istana terasa lengang. Di saat-saat itulah ia bisa melihat kegalauan seorang pemimpin besar yang dulu selalu dikelilingi para pengagumnya.

Bukan hanya ditinggal teman-temannya, Soekarno juga tidak memiliki apa-apa lagi. Kondisi ini terlihat dari kedatangan utusan Soekarno menemui Oei, April 1967. Soekarno menitipkan satu set vulpen dan bolpen merk MontBlanc, sehelai dasi putih dari sutera dengan inisial S dan satu botol besar minyak wangi Shalimar buatan Guerlain.

Kenang-kenangan lain yang berkesan adalah foto Soekarno berukuran 17,5 x 23 cm dengan tulisan: “Untuk Dr. Oey Hong Kian”, ditandatangani serta bertanggal 12-4-1967. Kata utusan tersebut, Soekarno berharap Oei masih menghargai foto itu. Sekaligus minta maaf, karena dirinya tidak bisa memberi apa-apa lagi.

Setelah pemberian kenang-kenangan itu, Oei hanya mendengar kabar burung tentang kondisi kesehatan Soekarno yang terus menurun. Tentu ia prihatin, tanpa bisa berbuat apa-apa. Hingga suatu hari, seorang ajudan tetiba datang dan memberi tahu rencana kedatangan Soekarno ke rumah untuk berobat. Wah, Oei merasa terkejut sekali.

Esoknya, pukul 09.00, Soekarno benar-benar tiba dengan Mercedes 600. Pengiringnya 5 jip putih penuh prajurit. Situasinya kira-kira masih sama ketika dia masih menjadi presiden, hanya bedanya tidak ada raungan sirine lagi.

Saat itulah Oei merasa sangat lega karena Soekarno ternyata tidak dalam kondisi menyedihkan, seperti rumor yang didengarnya di luaran. Pikirannya tetap jernih, sikapnya riang, penuh humor. Soekarno juga sangat perhatian kepada keluarga Oei. Menyapa istrinya, bahkan sempat meramal putri keluarga itu kelak akan menjadi dokter pula (ramalan yang kelak terbukti).

Yang lebih mengagumkan, Soekarno selalu datang sesuai waktu perjanjian. Tidak pernah jam karet Dengan iring-iringan rombongan yang sama, Soekarno masih sempat mampir beberapa kali untuk perawatan gigi. Bahkan pada bagian akhir pengobatan, gigi Soekarno masih harus diberi tambalan emas.

Mereka membuat janji pada 21 Maret 1968 untuk ketemu. Ternyata Oei lupa, tanggal tersebut bertepatan dengan Sidang MPR. Meski tidak ikut sidang, pihak keamanan melarang Soekarno untuk keluar rumah. Pada sidang itu pula, Soeharto dilantik sebagai Presiden Kedua RI.

Masalahnya, saat sidang MPR masih terus berjalan yakni 30 Maret, Oei harus segera berangkat ke Belanda. Penambalan gigi akhirnya diserahkan ke dokter lain. Dan sejak itu ia tidak pernah bertemu lagi dengan Soekarno.

Diusir dari paviliun Istana

Pelantikan Soeharto sebagai Pejabat Presiden, 12 Maret 1967, banyak mengubah perjalanan kehidupan Soekarno selanjutnya. Empat bulan kemudian, Tim Dokter Kepresidenan dibubarkan.

Sebulan setelah itu, giliran keluarga Soekarno diminta keluar dari Istana Merdeka. Soekarno pun hanya bisa tinggal di paviliun di lingkungan Istana Bogor. Terkena tekanan mental dan psikologis, membuat kesehatan Soekarno terus menurun. Namun yang memprihatinkan, statusnya sebagai tahanan rumah juga makin memperburuk. Dia tidak bebas berobat, karena dilarang ke Jakarta.

Desember 1967, Soekarno akhirnya malah diminta keluar dari Istana Bogor dan menetap di sebuah rumah di kawasan Batutulis. Situasi ini mendorong Haryati, istri yang mendampinginya, meminta izin langsung ke Presiden Soeharto agar Soekarno dibolehkan pindah ke Jakarta.

Permintaan itu sempat menggantung beberapa waktu. Baru pada Februari 1969 Soekarno bisa dipindah ke Wisma Yaso di Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Pusat.

Di rumah ini pun, Soekarno sebenarnya masih mendapat tekanan psikologis karena harus menghadapi interogasi aparat keamanan.

Pertanyaannya seputar dugaan keterlibatan Soekarno dalam Peristiwa G30S. Pemeriksaan baru dihentikan awal tahun 1970 ketika Soekarno mengeluhkan kondisinya kepada Kepala Tim Dokter Kepresidenan, dr. Mahar Mardjono.

Dibilang dokter hewan

Pada era Reformasi, kisah-kisah seputar hari-hari terakhir kehidupan Soekarno di Wisma Yaso ini banyak dimuat berbagai media, terutama media online. Kisah ini mengemuka karena jelas-jelas terjadi perbedaan perbedaan perlakuan antara Soekarno dengan Soeharto yang juga menderita sakit menjelang ajalnya.

Saat Soeharto dirawat di RS Pertamina, tim dokter memberi perawatan intensif 24 jam. Orang-orang terdekat masih leluasa memberi perhatian. Termasuk adanya perhatian dari pemerintah. Berbeda dengan Soekarno yang menderita sakit dalam keprihatinan. Di tengah penyakitnya yang berkomplikasi, pelayanan kesehatan terasa sangat minim.

Sayangnya, media rupanya kurang cermat dalam menuliskan detail peristiwa kala itu. Salah satunya kerap ditulis, bahwa dr. Soeroyo yang merawat Soekarno adalah dokter hewan! Jelas, kata-kata ini menyulut kegeraman pembaca atas perlakuan pemerintah saat itu. Padahal informasi itu tidaklah akurat. Istri Soeroyo, Siti Hadidjah Suroyo, sendiri yang menulis di surat pembaca Harian Kompas 24 September 2013. Ia meluruskan fakta di buku Hari-Hari Terakhir Sukarno yang ditulis Peter Kasenda.

Rupa-rupanya, buku itu yang menjadi rujukan media massa. Penulis buku itu rupanya mendapati fakta bahwa Soeroyo sering menggunakan fasilitas Laboratorium Bakteriologi Kedokteran Hewan IPB. Bisa jadi, dari situlah kesimpulan tentang “dokter hewan” muncul. Padahal semua itu dilakukan Soeroyo untuk menyiasati keterbatasan fasilitas yang diberikan pemerintahan Soeharto kala itu.

Soeroyo sendiri jelas dokter umum lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1961. Begitu lulus, ia terkena wajib militer menjelang operasi Trikora. Namun belum lagi terjun ke medan tempur, Irian Barat rupanya sudah berhasil direbut. Perwira berpangkat Kapten ini akhirnya bergabung dengan Resimen Tjakrabirawa.

Catatan jadi jawaban

Meski muncul pada babak akhir kehidupan Sang Proklamator, kehadiran Soeroyo justru menjadi sumber yang penting bagi kejelasan sejarah berikutnya. Terutama ketika catatan-catatan medis Soekarno ditemukan di almari rumahnya, setelah Soeroyo meninggal akibat stroke tahun 1997.

Arsip yang ditemukan pihak keluarga ini memuat catatan detail kesehatan Soekarno sejak 1966. Seperti hasil-hasil pemeriksaan laboratorium, elektrokardiogram, pemeriksaan gigi, mata, dll. Ada juga arsip surat-surat izin berobat dari Panglima Siliwangi, serta undangan rapat koordinasi bagi tim dokter. Buku catatan harian perawat saja jumlahnya sampai sembilan buah.

Dokumen ini begitu penting karena informasi tentang kesehatan Soekarno hingga kematiannya sangat simpang-siur. Bahkan sempat muncul dugaan adanya perlakuan tidak manusiawi terhadap sang mantan presiden. Benar atau tidak, tentu saja jawabannya ada pada setumpuk dokumen yang rata-rata kertasnya sudah menguning itu.

Soeroyo sendiri terus setia mendampingi Soekarno hingga menjelang akhir hayatnya. Bahkan pada hari-hari terakhir, dokter muda ini tidak pulang selama beberapa hari karena harus menjaga Soekarno. Ia baru bisa pulang setelah Soekarno tidak sadarkan diri dan dibawa ke Rumah Sakit Angkatan Darat. Seluruh keluarga Soekarno sudah berkumpul, termasuk Ratna Sari Dewi yang selama itu berada di luar negeri.

Lucunya, setelah ada kabar Soekarno meninggal dunia, Soeroyo justru dilarang untuk melayat ke Wisma Yaso. Di situlah ia merasa ada yang hilang. Selama bertahun-tahun merawat Soekarno, Soeroyo sudah merasa seperti merawat orangtua sendiri.

Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News

Artikel Terkait