Penulis
Intisari-online.com - Selama dua bulan sebelum kekalahan bersejarah Napoleon Bonaparte di pertempuran Waterloo, letusan gunung berapi di Indonesia menyebabkan hujan lebat di Eropa yang segera berhasil menjatuhkannya.
Konon letusan gunung berani yang disebut paling dasyat dalam sejarah tersebut telah menjadi penyebab utama kekalahan kaisar Napoleon di Inggris.
_____________________________________________________________________
Pada tahun 1815, nasib Kaisar Napoleon Bonaparte berubah drastis setelah kekalahannya di Pertempuran Waterloo, yang mana selama ini penyebabnya dikarenakan dari kondisi cuaca yang buruk di Inggris.
Namun, penelitian terkini yang diterbitkan oleh The Geological Society of America pada 21 Agustus 2018 menawarkan perspektif baru.
Menurut penelitian tersebut, letusan Gunung Tambora di Indonesia, yang terjadi dua bulan sebelum pertempuran, mungkin telah memainkan peran penting dalam mengubah kondisi cuaca di setengah bagian dunia, termasuk Inggris, kemudian berdampak hingga satu tahun setelah kejatuhan Napoleon, dengan demikian mengubah arah sejarah.
Padamalam yang menentukan sebelum pertempuran Waterloo, hujan lebat mengguyur wilayah tersebut, memaksa Napoleon untuk menunda serangan yang direncanakan. Kekhawatiran akan laju pasukan yang terhambat oleh lumpur menjadi alasan penundaan tersebut.
Namun, keputusan ini memberikan waktu bagi pasukan Prusia untuk bergabung dengan sekutu Inggris, yang pada akhirnya memainkan peran kunci dalam kekalahan Prancis. Akibatnya, Napoleon kehilangan 25.000 tentaranya dan terpaksa turun tahta, menghabiskan sisa hidupnya dalam pengasingan di Saint Helena.
Peristiwa ini mungkin tidak akan terjadi jika bukan karena letusan Gunung Tambora, yang dianggap sebagai salah satu letusan terbesar dalam sejarah. Letusan tersebut terdengar hingga 1.600 mil dan menyebarkan abu hingga 800 mil dari sumbernya, menyelimuti area seluas 350 mil dalam kegelapan total selama dua hari.
Profesor Matthew Genge dari Imperial College London berpendapat bahwa letusan tersebut menghasilkan abu vulkanik dalam jumlah besar yang berpotensi mempengaruhi cuaca di Eropa. Abu tersebut, menurutnya, dapat mengganggu arus listrik di ionosfer, yang merupakan lapisan atas atmosfer tempat awan terbentuk.
Penelitian Dr. Genge menantang anggapan sebelumnya bahwa abu vulkanik tidak bisa mencapai lapisan atmosfer ini, dengan menyatakan bahwa abu bermuatan listrik dapat bertahan di atmosfer dengan menolak gaya listrik negatif.
Dalam skenario letusan besar, fenomena abu statis ini bisa mencapai lapisan atas atmosfer dan menyebabkan gangguan cuaca global. Dengan Indeks Ledakan Vulkanik yang mencapai tujuh dari skala delapan,.
Jadi tidak mengherankan jika letusan Tambora berkontribusi pada "tahun tanpa musim panas" dan perubahan cuaca yang mungkin mempengaruhi hasil Pertempuran Waterloo.
Meski data cuaca dari tahun 1815 tidak cukup untuk membuktikan secara spesifik hubungan antara letusan Tambora dan cuaca di Eropa, Dr. Genge menekankan bahwa Eropa mengalami cuaca basah yang tidak biasa setelah letusan tersebut.
Ia berpendapat bahwa fenomena ini bisa dijelaskan oleh pengaruh abu vulkanik terhadap pembentukan awan. Dr. Genge juga menunjuk Pertempuran Waterloo sebagai contoh yang mendukung teorinya, dengan menyatakan bahwa cuaca buruk di Eropa telah diakui oleh para sejarawan sebagai salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan Napoleon.
Ironisnya, sebuah gunung berapi yang letaknya di belahan dunia lain justru diduga telah menentukan nasib seorang kaisar.
MenurutDr. Genge secara khusus menyebutkan Pertempuran Waterloo sebagai titik acuan untuk membuktikan teorinya.
"Cuaca basah di Eropa, lebih jauh lagi, telah dicatat oleh para sejarawan sebagai faktor penyebab kekalahan Napoleon Bonaparte pada Pertempuran Waterloo," katanya.
"Siapa yang menyangka bahwa gunung berapi di belahan dunia lain mungkin menjadi penyebab kekalahan Napoleon," jelasnya.
*
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com diGoogle News