Find Us On Social Media :

Belanda Telah Berupaya Mengatasi Banjir Jakarta Sejak Era VOC

By Afif Khoirul M, Minggu, 9 Juni 2024 | 12:00 WIB

Ilustrasi - Banjir.

Saat ini Intisari sudah hadir di WhatsApp Channel, follow di sini dan dapatkan artikel-artikel terbaru kami

Intisari-online.com - Sejak awal abad ke-17,  Indonesia telah menjadi wilayah kolonial Belanda, dimulai dengan pendirian koloni Hindia Belanda oleh Belanda pada tahun 1602, yang kemudian dinasionalisasi pada tahun 1800 dan dikenal sebagai Indonesia.

Di era 1600-an, Belanda membangun kembali Jayakarta menjadi Batavia, yang saat ini kita kenal sebagai Jakarta. Batavia dirancang mengikuti estetika Belanda, lengkap dengan rumah-rumah kecil dan kanal-kanal yang tidak hanya memfasilitasi transportasi barang tetapi juga berperan sebagai pembatas sosial.

Pada tahun 1648, dengan restu dari Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), terusan Molenvliet dibangun di Batavia untuk mengatasi banjir di wilayah selatan dan membuka akses ke daerah pedalaman.

VOC, yang sering dianggap sebagai perusahaan multinasional pertama, mendapat hak eksklusif dari pemerintah Belanda untuk melakukan perang, membangun benteng, dan menegosiasikan perjanjian di Asia, menjadikan Batavia sebagai pusat kekuasaannya.

Namun, polusi menjadi masalah serius, mendorong migrasi penduduk Eropa yang kaya ke luar kota untuk menghindari polusi dari kanal yang kotor dan asap industri. Kanal-kanal yang dulunya bersih menjadi tercemar akibat sedimentasi, sehingga Batavia pun mengalami kemunduran dan menjadi tidak layak huni.

Untuk mengatasi masalah ini, pada tahun 1725, sebuah bendungan dibangun untuk mengalihkan aliran Sungai Ciliwung melalui Kanal Barat.

Sejak abad ke-18, Batavia telah mengembangkan beberapa kanal pengendali banjir, namun upaya ini tidak cukup efektif karena kurangnya pemeliharaan.

Setelah VOC bangkrut pada tahun 1799, fokus beralih pada kesehatan publik, yang memicu relokasi pusat kota dari Kota Tua ke Weltevreden di selatan.

Kanal Molenvliet menjadi penghubung antara Batavia yang kumuh dengan Weltevreden yang lebih bersih dan sehat.

Seiring berkembangnya Weltevreden menjadi pusat kolonial baru di awal abad ke-19, tempat tinggal bagi kalangan Eropa yang kaya, kondisi Kota Tua semakin memburuk. Akibatnya, Kanal Molenvliet berubah fungsi menjadi tempat mandi, mencuci, dan mengambil air bagi penduduk lokal.

Baca Juga: Menyambut Sejarah Jakarta: Ternyata Begini Menonton Bioskop Di Jakarta Tempo Doeloe

Padahal Belanda Ahlinya Mengatasi Banjir

Belanda telah menjadi ikon global dalam pengelolaan risiko banjir, berkat gabungan antara inovasi teknik sipil dan prinsip-prinsip pengaturan air yang revolusioner. Bangsa ini telah lama dikenal karena kemampuannya untuk mengadopsi teknologi baru, metode, dan kebijakan yang inovatif untuk mengatasi tantangan yang berkaitan dengan air.

Pengaturan yang terstruktur dalam menanggapi masalah air menjadikan dewan air di Belanda sebagai salah satu institusi demokratis pertama di negara tersebut. Selama Era Keemasan, kemajuan teknologi dan peningkatan kapasitas finansial memungkinkan Belanda untuk melaksanakan proyek-proyek besar dalam pengendalian banjir dan reklamasi lahan.

Yang menarik, meskipun fokus utama tetap pada perlindungan dari banjir, pendekatan terhadap intervensi manusia telah berkembang menjadi lebih holistik, dengan mempertimbangkan keseimbangan antara nilai-nilai ekologis dan tujuan-tujuan ekonomi.

Van Breen dan Upaya Gagal Pemerintah Belanda

Herman Van Breen, pakar pengelolaan air di Batavia, dikenal akan keahliannya yang luar biasa dan pandangan futuristiknya. Ia merancang sistem penampungan air di pinggiran selatan kota, yang berfungsi sebagai jalur pembuangan ke laut melalui sisi barat kota.

Saluran ini, yang dikenal sebagai Banjir Kanal Barat (BKB), dibangun pada tahun 1922 dan membentang dari Pintu Air Manggarai hingga Muara Angke, terbukti efektif dalam mengatasi banjir dan mengurangi genangan air di kota.

Pintu Air Manggarai, yang berada di batas selatan kota yang bebas banjir, memainkan peran penting dalam mengatur aliran air dari Sungai Ciliwung Lama dan sungai-sungai lainnya. BKB juga berperan dalam mengendalikan banjir di daerah Menteng dan Weltevreden. Sebagai penghormatan atas kontribusinya, nama Van Breen diabadikan menjadi nama jalan di tepi kanal, yang sekarang dikenal sebagai Jalan Latuharhari.

Namun, proyek pengendalian banjir yang dimulai pada tahun 1913-1930 di bawah bimbingan Van Breen tidak berlangsung lama. Pertumbuhan penduduk dan kepuasan Pemerintah Belanda terhadap kanal yang ada menghentikan pengembangan lebih lanjut. Pemerintah saat itu terlalu percaya diri bahwa Batavia tidak akan mengalami banjir lagi, suatu kesalahan menurut Van Breen.

Keterbatasan dana juga menjadi penghambat kelanjutan proyek. Van Breen percaya bahwa ada cara lain untuk mengendalikan banjir selain pembangunan kanal, seperti pemeliharaan resapan air dan reboisasi. Namun, dengan kekalahan Belanda dari Jepang dan fokus Pemerintah Indonesia pada kemerdekaan, proyek-proyek tersebut terbengkalai dan banjir di Jakarta hanya ditangani secara sementara.

Saat ini Intisari sudah hadir di WhatsApp Channel, follow di sini dan dapatkan artikel-artikel terbaru kami

Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News