Penulis
Sejarah Kota Jakarta sejak Batavia hingga ke masa kemerdekaan, sudah banyak ditulis orang. Namun periode ketika Sunda Kelapa dikuasai Kerajaan (Hindu - Buddha) Sunda lebih-lebih ketika kemudian berganti menjadi Kerajaan (Islam) Jayakarta, data sejarahnya minim sekali. Inilah secuil kisah tentang Sunda Kelapa dan Jayakarta, seperti dituturkan oleh Mindra Faizal Iskandar, arkeolog UI.
-------
-------
Intisari-Online.com - “Pelabuhan utama di Pulau Iava (Jawa) adalah Sunda Calapa ... Di tempat ini didapati sangat banyak lada yang bermutu lebih baik daripada lada India atau Malabar.... Juga banyak terdapat kemenyan, benicin atau bonien atau bunga pala, kamper, dan juga intan permata. Tempat ini dapat didatangi tanpa menemui kesulitan karena orang Portugis tidak sampai ke sini, karena orang Iava berbondong-bondong datang sendiri sampai ke Malaka untuk menjual barang-barang dagangannya."
Itulah kesaksian seorang pelaut Belanda, Jan Huygen van Linschoten, dalam bukunya yang kemudian menjadi terkenal, Itinerario. Buku ini ditulis pada abad ke-16, diterbitkan pada 1596 dalam edisi bahasa Belanda, dan 1598 dalam bahasa Inggris.
Namun kesaksian orang-orang Eropa tentang Kota Sunda Kelapa sebenarnya masih sangat terbatas, karena pada abad ke-16 mereka lebih banyak berkunjung ke Kota Banten, tetangga di sebelah barat Sunda Kelapa. Tentang Kota Sunda Kelapa, para pengunjung Belanda paling awal hanya menulis:
"Kota ini dibangun seperti kebanyakan kota-kota lain di Pulau Jawa, yaitu rumahnya terbuat dari kayu dan anyaman bambu. Konstruksinya buruk dan sangat kotor, dan kelihatannya seperti desa saja. Sebuah sungai indah, berair jernih dan bersih, mengalir di tengah kota. Airnya segar dan menyenangkan. Tanahnya rendah, namun indah, dan selalu terbayang-bayang dalam pikiran kita. Raja dapat mempersenjatai 4.000 orang dari penduduk kota. Istananya indah, dibangun dengan pagar bambu runcing dan mempunyai lebih dari satu gerbang masuk. Empat atau lima buah kapal raja tampak berlabuh dengan tutup di atasnya. Konstruksi kapal menyerupai kapal Jawa, yaitu tempat untuk para pengayuh di bawah dan di atas untuk prajurit. Raja sekarang hanya mampu menjual 300 kantung lada setahun, tetapi bermaksud akan meningkatkannya."
Gubuk reyot dan tanah rawa
Dahulu, Sunda Kelapa terbujur sepanjang 1 atau 2 km di atas potongan-potongan tanah sempit yang dibersihkan di kedua tepi Sungai Ciliwung yang sempit, dekat muaranya, dekat sebuah teluk yang terlindung oleh beberapa buah pulau. Sungai Ciliwung memungkinkan 10 kapal dagang masa lampau yang berkapasitas sampai 100 ton - perahu Melayu, Jepang, Cina, dan berbagai ragam kapal dari Timur - masuk dan berlabuh dengan aman.
Kapal-kapal Portugis yang agak lebih kecil, tetapi tidak termasuk galleon-galleon berkapasitas 500-1.000 ton, harus berlabuh di depan pantai. Air sungai waktu itu mengalir bebas, tidak berlumpur, dan tenang. Kapten-kapten kapal singgah untuk mengambil air segar, dan mengisi botol dan guci mereka. Pedagang pribumi menyiapkan ikan segar dan ikan asin dalam jumlah besar untuk dijual kepada mereka.
Tanaman kelapa dan ladang tebu serta sawah yang dekat dengan kota pelabuhan itu, menjamin persediaan bahan makanan lain yang lezat serta murah bagi pengunjung maupun penetap. Yang waktu itu paling penting, minuman arak amat berlimpah.
Bangunan di Kota Sunda Kelapa yang paling kurang mengesankan adalah dalem keraton raja yang berpagar bambu runcing. Di dalam dari di luar kompleksnya terdapat beberapa puluh bangunan agak besar terbuat dari bambu, gedek, dan atap rumbia. Di samping bangunan dalem, terdapat pasar--terdiri atas deretan gubuk reyot, tempat para pedagang menjajakan dagangannya setiap pagi dan sore.
Di seberang sungai, berhadapan dengan dalem dan pasar, yaitu di pinggir barat sungai, terdapat perkampungan Cina. Di sini, bangunan-bangunannya lebih bagus daripada bangunan penduduk pribumi, karena orang Cina lebih menyukai plester, batu bata, ubin, dan genteng sebagai bahan bangunan.
Selebihnya, Kota Sunda Kelapa terdiri atas dua sampai tiga ribu gubuk rapuh yang separuhnya reyot. Banyak di antaranya berdiri di atas tiang-tiang bambu di tanah rawa atau tanah datar untuk menghindari empasan ombak pasang. Sunda Kelapa adakalanya mampu menggerakkan angkatan perang sampai ratusan atau ribuan orang dan kadang-kadang memang melakukan hal itu.
Hampir setiap lelaki dewasa mempersenjatai diri dengan sebilah keris berbentuk geligi atau tombak berupa bambu runcing. Menurut perhitungan, terdapat sekitar 2.000 KK atau 10.000 jiwa penduduk. Kecuali tanah sempit di kedua sisi sungai yang ditanami dengan berbagai tanaman, wilayah sekitar Sunda Kelapa terutama berupa tanah rawa dan hutan belukar. Pemukiman penduduk Sunda Kelapa biasanya terletak di tepian sungai, dan penduduk daerah pedalamannya masih amat jarang.
Sunda Kelapa, pelabuhan Kerajaan Sunda
Hingga saat ini para ahli masih belum menemukan bukti-bukti awal munculnya kota pelabuhan Sunda Kelapa. Yang jelas, wilayah dataran rendah ini diketahui sudah didiami manusia sejak zaman prasejarah, yaitu dari masa Neolitikum sekitar 1500 tahun sebelum Masehi. Artefak-artefak khas neolitik, seperti beliung, kapak batu, pahat batu, gurdi batu, wadah gerabah, dan lain sebagainya memang pernah ditemukan dalam ekskavasi (penggalian arkeologis) di Condet, Pasar Minggu, Pasar Rebo, Jatinegara, Karet, Kebayoran, Kebon Sirih, Cawang, Kebon Nanas, Kebon Pala, Rawa Belong, dan Rawa Lele.
Setelah zaman prasejarah, indikator adanya permukiman di wilayah ini diinformasikan lewat sebuah prasasti yang ditemukan di Kampung Batu, Desa Tugu, termasuk wilayah Cilincing.
Prasasti Tugu dibuat atas perintah Purnawarman, raja di Tarumanagara. Kerajaan Tarumanegara hingga kini memang diketahui sebagai salah satu kerajaan tertua di Indonesia, dan diperkirakan berkembang di sekitar abad ke-5 Masehi. Bahkan belakangan ini muncul pula perkiraan bahwa Tarumanegara sudah ada sejak awal Masehi dan baru runtuh di penghujung abad ke-7 Masehi.
Bukti-bukti adanya kerajaan berikutnya di wilayah Jawa Barat baru muncul lewat Prasasti Rakryan Juru Pangambat yang ditemukan di Desa Kebon Kopi, Bogor. Prasasti yang bertarikh tahun 932 Masehi itu menyebut "Raja Sunda". Berbagai bukti lain, baik yang berupa prasasti, naskah kuno, maupun kisah-kisah tertulis musafir asing, memang menunjukkan bahwa masa antara abad ke-9 hingga ke-16 Masehi di wilayah Jawa Barat telah berkembang sebuah kerajaan yang diduga bernama Kerajaan Sunda.
Persoalan nama kerajaan ini sesungguhnya masih belum pasti benar. Sebab selama ini para ahli telah menemukan sejumlah nama kerajaan yang hidup di Jawa Barat, seperti Pakuan, Pajajaran, Galuh, Kawali, dan sebagainya. Namun di dalam kitab Sejarah Nasional Indonesia Jilid II (Jakarta: Depdikbud & Balai Pustaka, 1984), disebutkan bahwa nama-nama itu hanya mengacu kepada nama ibu kota, sedangkan kerajaannya tetap bernama Kerajaan Sunda.
Namun tidak satu pun prasasti maupun naskah kuno yang memuat kisah tentang muncul dan berkembangnya kota pelabuhan Sunda Kelapa. Kita baru mengetahui keberadaan Sunda Kelapa lewat laporan perjalanan petualang Portugis, Tome Pires, yang disusun tahun 1513, dan Antonio Pigafetta yang disusun tahun 1522.
Keduanya menyebutkan, kerajaan yang berkuasa di Jawa Barat dari sering mengadakan hubungan dagang dengan Portugis adalah regno de cumda (Kerajaan Sunda), yang mempunyai pelabuhan "Kalapa". Jadi karena berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda, kota pelabuhan itu kemudian lebih dikenal dengan sebutan Sunda Kelapa.
Orang-orang Portugis sudah tampil menjadi penguasa Malaka sejak tahun 1511. Setahun berikutnya, Prabu Jayadewata (maharaja Kerajaan Sunda yang memerintah di ibu kota Pakwan Pajajaran selama 39 tahun, 1482 - 1521), mengirimkan utusan untuk meminta bantuan kepada Alfonso d'Albuquerque, pemimpin Portugis di Bandar Malaka.
Utusan yang dikirim dari Kerajaan Sunda itu, menurut berita Portugis bernama Ratu Samiam. Dikabarkan Ratu Samiam pernah datang lagi untuk kedua kalinya ke Malaka pada 1521, namun waktu itu Alfonso d'Albuquerque sudah digantikan oleh Jorge d'Albuquerque.
Ketika pada tahun 1522 pihak Portugis mengirimkan Henrique de Leme memimpin perutusan ke Kerajaan Sunda, didapatinya bahwa Ratu Samiam kini telah naik tahta menjadi raja dan tinggalnya kini di Dayo (dayeuh = kota). Namun nama Ratu Samiam ini ternyata tidak dikenal di Kerajaan Sunda. Para ahli menduga, Samiam adalah lafal Portugis untuk menyebut "Sanghyang".
Bila dugaan ini benar, maka Ratu Samiam itu mestilah identik dengan raja pengganti Prabu Jayadewata yang di dalam Kitab Carita Parahyangan disebut Prabu Surawisesa (berkuasa di ibu kota Pakwan Pajajaran selama 14 tahun, 1521-1535). Itu artinya, sebelum menjadi raja di Kerajaan Sunda, Surawisesa adalah penguasa di daerah Sangiang. Daerah Sangiang ini, menurut penyelidikan para ahli, berlokasi di sekitar wilayah Jatinegara sekarang, dan wilayah kekuasaannya, melebar ke arah laut di Utara.
Dengan kata lain, Surawisesa adalah penguasa di wilayah yang dikenal dengan nama Sunda Kelapa. Bahwa Raja Sunda Kelapa dikirim Maharaja Sunda sebagai utusan resmi ke Malaka, dan bahwa Raja Sunda Kelapa kemudian bisa naik tahta menjadi penguasa Kerajaan Sunda, tentu menunjukkan betapa pentingnya wilayah Sunda Kelapa bagi Kerajaan Sunda.
Tome Pires juga melaporkan, dari enam pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda, Pelabuhan Sunda Kelapa adalah yang terpenting dari terbesar. Kelima pelabuhan lainnya adalah Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, dan Cimanuk (Indramayu).
Selain terpenting dan terbesar kota pelabuhan Sunda Kelapa juga agaknya merupakan pelabuhan yang terdekat dari ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut petualang Portugis, Tome Pires, ibu kota Kerajaan Sunda di Dayo dapat dicapai dalam dua hari perjalanan dari Sunda Kelapa.
Menangkal serangan Islam
Sebagai sebuah kerajaan yang bernapas Hindu, Kerajaan Sunda sesungguhnya juga merasakan adanya ancaman dari semakin menyebarnya pengaruh Islam di wilayah Nusantara. Tome Pires melaporkan bahwa di Cimanuk (Indramayu) - yaitu kota pelabuhan yang sekaligus merangkap menjadi batas timur Kerajaan Sunda - pada waktu itu (1513) sudah ada orang Islam.
Pada tahun 1512, Raden Patah, raja pertama Kerajaan Islam Demak, mengirimkan putra mahkotanya, Pati Unus, untuk menyerang Portugis di Bandar Malaka. Serangan Demak ini berhasil digagalkan pasukan Portugis. Namun Sang Ratu Jayadewata tentulah memandang serbuan tentara Demak ke Malaka ini sebagai ancaman yang tidak mustahil menimpa Kerajaan Sanda. Pada tahun itu pula Sang Ratu Jayadewata mengirim Ratu Samiam untuk meminta bantuan kepada Portugis di Malaka.
Data sejarah tidak melukiskan mana yang dikirim lebih dulu, serangan dari Demak atau utusan dari Sunda. Namun melihat konteks kepentingannya, agaknya bukan hal yang mustahil serangan dari Demak terjadi lebih dulu daripada pengiriman utusan Sunda.
Agaknya perkembangan Kerajaan Demak yang kian ekspansif dalam masa sepuluh tahun berikutnya, telah memaksa Sang Ratu Jayadewata pada 1521 untuk kembali mengirimkan utusan Ratu Samiam ke Malaka.
Tahun 1522, Hendrique de Leme tiba di Sunda Kelapa memimpin perutusan dari Portugis. Perundingan antara Portugis dengan Kerajaan Sunda dilakukan di kota pelabuhan Sunda Kelapa. Perjanjian berhasil disepakati dan ditandatangani pada tanggal 21 Agustus 1522.
Dari pihak Kerajaan Sunda, yang menandatangani perjanjian itu adalah Raja Samiam (Surawisesa) sendiri, dengan tiga orang pembantu utamanya. Ketiganya menurut catatan Portugis adalah Mandari Tadam (mungkin yang dimaksud adalah Mantri Dalem), Tamungo Sanque de Pate (Tumenggung Sang Adipati), dan Xabandar (Syahbandar). Orang terakhir ini mungkin sekali yang dimaksud adalah Syahbandar Sunda Kelapa.
Perjanjian antara Kerajaan Sunda dengan Portugis tersebut pada dasarnya berisi jaminan dari pihak Portugis untuk membantu Kerajaan Sunda jika sewaktu-waktu diserang oleh orang-orang Islam. Selain itu, pihak Portugis juga akan menyalurkan pelbagai barang dan bahan yang dibutuhkan Kerajaan Sunda. Sebagai imbalannya, pihak Kerajaan Sunda memperkenankan Portugis mendirikan benteng di Bandar Banten (bukan di Sunda Kelapa), dan diberi hak untuk memperoleh lada sebanyak 350 kuintal setiap tahunnya.
Dalam perjanjian ini pihak Portugis merencanakan membangun bentengnya di kota pelabuhan Banten, namun kemudian mereka mengubahnya karena menganggap kota pelabuhan Sunda Kelapa yang lebih cocok. Di tempat yang sudah mereka pilih, pihak Portugis kemudian mendirikan sebuah padrao, yang terletak di tepi timur muara Sungai Ciliwung. Padrao sebenarnya istilah Portugis untuk menyebut sebuah batu prasasti yang memuat pahatan tulisan isi perjanjian. Padrao tersebut kini disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Misteri Falatehan
Akan tetapi pembangunan loji Portugis yang direncanakan akan didirikan di muara Sungai Ciliwung itu ternyata tidak pemah berlangsung. Pihak Portugis menugaskan Fransisco de Saa, seorang ahli bangunannya, untuk melaksanakan pembangunan loji tersebut. Tetapi Fransisco de Saa yang berangkat dari Portugis baru tiba di India pada tahun 1524, dan baru tiba di Sunda Kelapa pada tahun 1527. Padahal pada masa antara 1522-1527 itu, di Sunda Kelapa telah berlangsung berbagai peristiwa sejarah besar.
Setelah berhasil menundukkan Cirebon, pasukan Kerajaan Demak pada 1526 berhasil menundukkan Banten. Setelah beberapa saat berkuasa di Banten, pada tahun 1527 tokoh Islam tersebut kemudian menyerbu dan menundukkan Sunda Kelapa.
Tokoh yang memimpin pasukan Demak itu hingga kini masih misteri. Ada sumber sejarah yang menyebutnya dengan nama Fatahillah, ada pula Fadhillah Khan, dan ada juga yang menyebutnya Falatehan. Tafsiran para ahli, tentang nama-nama ini juga beragam. Ada yang menganggap ketiga nama itu mengacu kepada satu orang yang sama, yang setelah wafat kini lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Ada juga yang membedakannya.
Dua ahli sejarah, Prof. R.A. Kern dan Prof. Husein Djajadiningrat, dalam salah satu karangannya Masa Awal Kerajaan Cirebon (Jakarta: Penerbit Bhratara, 1973) menyebutkan Falatehan adalah seorang guru agama yang berasal dari Pase (Aceh). Setelah pada tahun 1521 Pase jatuh ke tangan Portugis, Falatehan pergi ke Mekah dan dua atau tiga tahun tinggal di sana. Dari Mekkah, Dia tidak kembali ke Pase, melainkan ke Demak.
Di situ Falatehan berhasil membantu memajukan Islam. Raja Demak mengangkatnya menjadi menantu, kemudian mengirimkannya ke Banten untuk mengislamkan kerajaan Hindu tersebut. Setelah berhasil menundukkan Sunda Kelapa pada tahun 1526, ia meninggalkan Banten dan menetap di Cirebon hingga ajalnya. Setelah wafat ia dikenal sebagai Sunan Gunung Jadi.
Sedangkan Prof. TK. H. Ismail Jakub, dalam karangannya Sejarah Islam di Indonesia (Jakarta: Penerbit Widjaja, 1972) menyebutkan bahwa Ahmad Fatahillah (Falatehan) seorang mubaligh Jawa Barat yang berasal dari Samudera Pasei. Ketika Pasei jatuh ia berangkat ke Jawa bersama beberapa kawannya. Oleh Sultan Trenggono, ia dikawinkan dengan adik perempuannya.
Dengan bantuan laskar Demak, Fatahillah kemudian menundukkan Banten dan Sunda Kelapa (1527). Setelah itu Fatahillah diangkat menjadi sultan Banten sampai turun tahta tahun 1552 dan pindah ke Cirebon. Fatahillah wafat pada tahun 1570 dan dimakamkan di Gunung Jati, karena itu beliau terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati.
Menurut P.S. Sulendraningrat, seorang ulama bangsawan Cirebon, dalam buku karangannya Sejarah Cirebon dan Silsilah Sunan Gunung Jati Maulana Syarif Hidayatullah, Fadillah Khan (Falatehan) adalah putra Sultan Huda dari Paseh. Setelah Paseh jatuh ke tangan Portugis, ulama tersebut terpaksa menyingkir ke Demak. Di Demak, ia menikah dengan Ratu Pulung, salah seorang adik Sultan Trenggono (raja ketiga Demak).
Dia juga menjadi jenderal pertama pasukan Demak. Pada tahun 1524 Fadhillah Khan menikah dengan Ratu Ayu, putri dari Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah (sultan Cirebon). Ratu Ayu ini adalah janda dari Pati Unus (raja kedua Demak).
Pada tahun 1526, Fadhillah Khan atau Falatehan memimpin tentara gabungan Cirebon dan Demak berangkat untuk membantu Pangeran Hasanuddin menyerbu Banten. Pangeran Hasanuddin adalah putra Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian mengangkat Pangeran Hasanuddin menjadi sultan Banten pertama.
Pada tahun 1527, Fadhillah Khan berhasil menundukkan kota pelabuhan Sunda Kelapa. Sunan Gunung Jati lalu mengangkatnya sebagai bupati di Sunda Kelapa yang nantinya diganti menjadi Jayakarta. Sunan Gunung Jati wafat pada tahun 1568, sedangkan Fadhillah Khan atau Falatehan wafat di Cirebon pada tahun 1570. Kedua tokoh ini dimakamkan berdekatan di Gunung Jati.
Menurut Willard A. Hanna, seorang Amerika ahli Asia Tenggara, dalam bukunya Hikayat Jakarta (Jakarta: Yayasan Obor, 1988), perwira muslim yang menundukkan Sunda Kelapa itu oleh orang-orang Portugis dikenal sebagai Falatehan yang oleh penduduk Jawa kemudian disebut dengan nama Sultan Agung. Jadi ketiga nama penting ini - Fatahillah, Fadhillah Khan atau Falatehan - masih harus terus diselidiki.
Apakah ketiganya identik dengan Sunan Gunung Jati, ataukah hanya menantu Sunan Gunung Jati? Atau identik dengan Sultan Agung?
Kerajaan Sunda lenyap
Orang Portugis di bawah pimpinan Fransisco de Saa yang mendapat tugas membangu loji, ketika pada tahun 1527 tiba di Sunda Kelapa, pasti terkejut sekali menemui kenyataan bawa penguasa Sunda Kelapa bukan lagi Kerajaan Sunda yang bersahabat, melainkan pasukan Islam yang dengan serta merta mengusirnya dari Pelabuhan Sunda Kelapa.
Menurut cerita, konon bahkah penguasa Sunda Kelapa telah tewas di tangan pasukan Islam itu. Sementara itu, Raja Kerajaan Sunda Prabu Surawisesa, dengan sia-sia mengharapkan bantuan Portugis yang tidak pernah tiba. Dengan panik ia melihat jatuhnya Banten, salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda, ke tangan pasukan Demak.
Ketika pasukan Islam itu menyerbu Sunda Kelapa, dia juga terpaksa harus berjuang sendirian, dan gagal. Kitab kuno Carita Parahyangan - ditulis di sekitar akhir abad ke-16 M, memberitakan bahwa selama masa pemerintahannya Prabu Surawisesa (1521 - 1535) terus-menerus berperang. Penggantinya, Prabu Ratudewata (1535 - 1543), juga harus terus-menerus berperang melawan serbuan pasukan Islam.
Baru dalam masa pemerintahan raja berikutnya, yaitu Prabu Sang Ratu Saksi (1543 - 1551), serbuan orang Islam nampak mereda. Agaknya pada masa ini pasukan Islam sedang mengalihkan perhatiannya ke wilayah timur.
Pada tahun 1546, sejarah mencatat serbuan Demak ke Pasuruan. Raja di tahta Kerajaan Sunda berikutnya, Tohaan di Majaya (1551 -1567), kembali menerima tekanan kuat dari pasukan Islam. Kerajaan Sunda, yang sudah tidak memiliki pelabuhan lagi, hanya bisa bergerak di pedalaman. Bahkan Tohaan di Majaya, menurut Carita Parahyangan, dipaksa meninggalkan ibu kota kerajaannya karena tidak kuat menahan serbuan tentara Islam.
Raja Sunda yang terakhir, Nusiya Mulya (1567 - 1579), nampaknya sudah tidak mampu lagi menguasai keadaan kerajaannya. Satu demi satu wilayahnya berhasil dikuasai orang Islam. Hingga di sekitar tahun 1579, lenyaplah sudah Kerajaan Sunda. Lenyaplah sudah benteng terakhir Hindu - Buddha di Indonesia.
Jayakarta, Kota Kemenangan
Munculnya penguasa baru di Sunda Kelapa jelas menyulitkan orang Portugis. Peperangan pun tak terhindarkan, dan pasukan Islam berhasil mengusir orang Portugis.
Dengan demikian seluruh wilayah Sunda Kelapa jatuh ke tangan pasukan Islam gabungan dari Demak, Cirebon, dan Banten itu. Sejak itu, pimpinan pasukan Islam tersebut - Fatahillah, Fadhillah Khan,atau Falatehan - mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.
Jayakarta berarti kota kemenangan (jaya = kemenangan, karta = kota). Nama-nama kota lama di Jawa memang banyak yang mengandung "karta". Ingat saja Surakarta, Kartasura, Yogyakarta, Purwakarta, atau Purwokerto. Menurut penyelidikan Prof. Dr. Soekanto, peristiwa pergantian nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta itu terjadi pada tanggal 22 Juni 1527.
Meskipun kesimpulan tanggal ini sesungguhnya masih belum disepakati semua ahli, hingga kini tanggal itu yang secara resmi dianggap sebagai hari lahir kota Jakarta.
Fatahillah, Fadhillah Khan, atau Falatehan memerintah di Jayakarta selama tahun 1527 - 1564. Penggantinya adalah Tubagus Angke, yaitu menantu dari Sultan Banten pertama, Hasanuddin. Tubagus Angke berkuasa selama tahun 1564 - 1596, dan digantikan oleh putranya, Pangeran Jayakarta Wijayakrama (1596 - 1619). Angka-angka tahun masa pemerintahan ini hanyalah tafsiran belaka. Raja terakhir inilah yang oleh orang-orang asing kemudian dijuluki sebagai Regent van Jacatra atau Koning van Jacatra.
Wilayah kekuasaan bupati Jayakarta saat itu diperkirakan sangat luas. Di sebelah barat berbatasan dengan Sungai Cisadane. Di sebelah timur berbatasan dengan Sungai Citarum.
Di sebelah selatan berbatasan dengan daerah Bogor, bekas pusat Kerajaan Sunda Pajajaran. Beberapa pulau di teluk Jayakarta tampaknya juga termasuk dalam wilayah kekuasaannya. Kunjungan orang Belanda ke Jayakarta pada mulanya terjadi ketika Laksamana Cornelis de Houtman dan rombongannya meninggalkan Banten menuju Jayakarta.
Mereka tinggal selama lima hari di Jayakarta, antara 13 - 18 Desember 1596. Selama tinggal di Jayakarta, rombongan Belanda ini berperilaku amat sopan dan tertib, sangat berlawanan dengan ketika mereka mendarat di Banten. Setelah para pengusaha Belanda sepakat mendirikan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) pada 20 Maret 1602, tampaknya telah mulai berkembang pemikiran untuk mendirikan loji VOC di luar Banten.
Meski sudah sejak awalnya VOC memang telah mendirikan kantor dagang di Banten, namun di sana mereka sangat terikat oleh aturan-aturan penguasa Banten. Setelah melakukan pengamatan, orang Belanda nampaknya sampai pada kesimpulan bahwa daerah di muara Sungai Ciliwung merupakan tempat yang amat strategis untuk mendirikan sebuah benteng.
VOC curang!
Pada awal tahun 1610 datanglah gubernur jenderal VOC pertama, Pieter Both, di Banten. Pada November tahun itu juga Pieter Both dengan segera mengirim Kapten Jacques L'Hermite untuk berunding dengan Pangeran jayakarta Wijayakrama. Perundingan itu menghasilkan kesepakatan, Jakarta mengizinkan VOC mendirikan sebuah "rumah dari kayu dan batu" untuk pangkalan dagangnya.
Saat itu hubungan Jakarta dengan Banten memang sedang kritis. Pangeran Wijayakrama tampaknya ingin melepaskan diri dari kekuasaan Banten dan bahkan ingin memindahkan pusat perdagangan dari Banten ke Jayakarta. Dengan diizinkannya VOC mendirikan kantor dagang di Jakarta, Pangeran Wijayakrama berharap tujuan itu dapat tercapai.
Khawatir akan kemarahan dari pihak Banten, Pangeran Wijayakrama kemudian memperketat pertahanan di sekeliling keratonnya, dengan memperkuat tanggul-tanggul tanah serta pagar bambu runcing. Dia bahkan menempatkan sebuah meriam di sana. Kepada VOC, Pangeran Wijayakrama mengizinkan sebidang tanah seluas 50 x 50 depa di dekat muara di pinggir timur Sungai Ciliwung, untuk dijadikan tempat VOC mendirikan kantor dagangnya. Untuk memperoleh izin itu, VOC diharuskan membayar 1.200 ringgit. Di tempat inilah di pinggir Kampung Cina, VOC diizinkan membangun pangkalan dagang mereka.
Pada 1611, VOC sesudah mendirikan sebuah gedung yang disebutnya Nassau Huis (Rumah Nassau) dan sebuah bangunan lain yang lebih kecil. Bangunan ini kemudian dikenal dengan nama Rumah Kapten Watting, saudara menetap pertama. Tapi pembangunannya tidak berjalan mulus.
Tanah rawa di pinggir sungai sangat mempersulit pemasangan pondasi yang kokoh. Sementara dana, bahan, dan tenaga kerja sangat terbatas. Selain itu muncul pula masalah lain. Izin yang diberikan Pangeran Wijayakrama rupanya ditafsirkan orang Belanda sebagai penjualan.
Mereka menganggap telah membeli sebidang tanah tersebut. Karena itu mereka mengira dapat merencanakan dan membangun sebuah rumah menurut keinginan mereka sendiri, yaitu sebuah benteng pertahanan, dan bertindak seolah-olah bebas dari pajak. Sedangkan Pangeran Wijayakrama tetap berpendirian bahwa ia hanya mengeluarkan izin sewa.
Sesuai dengan tradisi di Jayakarta, penguasaan tanah tergantung kepads penggunaan pembayaran pajak yang berulang kali. Dia menegaskan tidak pernah mengeluarkan izin mendirikan benteng atau asrama.
Namun tentu bukan VOC jika tidak pandai berkelit. Perlahan Nassau Huis muncul sebagai sebuah bangunan, yang meski tidak bermutu tinggi--disusun dari batu, adukan semen, kayu, bambu, dan jerami--namun cukup mencolok mata.
Tembok Nassau Huis membujur di sepanjang pinggir Sungai Ciliwung sepanjang 50 langkah dan masuk ke Kampung Cina sepanjang 18 langkah. Di pulau-pulau Onrust dan Kyper, sekitar 4,5 km di lepas pantai, tanpa menghubungi Pangeran Wijayakrama, VOC mendirikan sebuah pangkalan angkatan laut kecil, dengan fasilitas gudang dan perbaikan kapal, sebuah gereja, dan sebuah rumah sakit.
Inggris ngacir, Batavia lahir
Pada tahun 1618, sebuah armada kapal Inggris di bawah pimpinan Kapten Christopher Pring tiba di Banten. Armada yang terdiri atas 5 kapal besar ini mempunyai awak sampai 500 orang. Pihak Inggris rupanya ingin unjuk gigi kepada pihak VOC. Gubernur jenderal VOC waktu itu, Jan Pieterszoon Coen, merasa tak kuasa mengimbangi kekuatan Inggris itu.
Apalagi muncul isu bahwa armada Inggris lainnya, di bawah pimpinan Sir Francis Dale, yang jauh lebih besar dari armada Pring, juga akan tiba di Banten. Perlahan-lahan dan diam-diam J.P. Coen mulai mengangkuti barang-barang dan personilnya menuju Jayakarta. Coen menempati Nassau Huis, dan tanpa izin mulai mencaplok wilayah Kampung Cina untuk dijadikan daerah kekuasaannya.
Dia bahkan mengubah bangunan Nassau Huis menjadi benteng pertahanan yang kokoh dari batu. Dia pun membangun kembarannya, Mauritius Huis, dan menghubungkan kedua gedung itu dengan sebuah tembok batu.
Di atas tembok batu itu dideretkannya beberapa buah meriam yang moncongnya diarahkan ke keraton dan pabean Pangeran Wijayakrama. Coen juga memperbesar regu penjaganya, yang tadinya 25 orang menjadi 50 orang, dan dipersenjatai dengan senapan mustef dan senapan arquebuses. Dia mulai menyusun sistem perbentengan pada jarak 3 km dari situ.
Nassau Huis dan Mauritius Huis berikut tembok penghubungnya jelas sekali merupakan embrio dari tempat persegi empat terkurung yang diperkuat, yang kemudian dikenal sebagai Kastil Jakarta.
Rada September 1618, Kapten Christopher Pring datang berkunjung ke Pangeran Wijayakrama. Pihak Inggris mendapat izin mendirikan benteng pertahanan, semata-mata untuk mengimbangi kegiatan pihak VOC. Pihak Inggris bahkan membantu memperkuat pertahanan Keraton Jayakarta. Permulaan Desember 1618, armada Sir Francis Dale tiba di Selat Sunda.
Coen yang merasa tidak akan mampu mengimbangi armada Inggris itu, pada tanggal 23 Desember 1618 mengambil tindakan untung-untungan, yaitu mengirim utusan ke pihak Inggris untuk menuntut mereka menghentikan pembangunan bentengnya. Pihak Inggris tentu saja menolak. Kemudian dengan amat tiba-tiba, pada sore hari itu juga Coen memerintahkan penyerbuan ke lokasi benteng Inggris yang sedang dibangun itu.
Orang Inggris melarikan diri dan sembunyi di Keraton Jayakarta. Sepanjang malam itu terjadi perang meriam antara keraton dengan kastil.
Pada 30 Desember 1618, armada Francis Dale tiba di lepas pantai muara Ciliwung, dengan 11 kapal besar dan 300 meriam, dengan personil 1.500 orang. Francis Dale mengirim sekoci kecil ke pantai, untuk memperingatkan pihak Belanda untuk segera menyerah. Tetapi J.P. Coen tidak tinggal diam.
Pada 3 Januari 1619, bersama 12 perwiranya, Coen berhasil naik kapal kecil dan menyelinap ke tengah laut. Dia berhasil bergabung dengan sebuah kapal besar milik Belanda yang baru tiba dari Sumatra. Dengan kapal itu Coen kemudian berlayar mencari bala bantuan ke Maluku.
Kastil Jakarta yang hanya dihuni 300-an orang, ajaib sekali, mampu mengulur-ulur waktu. Agaknya pihak Inggris dan Jayakarta sesungguhnya masing-masing tidak terlalu mempercayai rekannya, sehingga kondisi dan syarat penyerahan dari pihak Belanda terus-menerus dirundingkan kembali.
Sampai pada tanggal 2 Februari 1619 datanglah pasukan Banten yang berkekuatan 2.000 prajurit. Pasukan Banten ini menyerbu ke keraton Pangeran Wijayakrama, yang terpaksa mengungsi ke hutan. Seluruh Kota Jayakarta berhasil dikuasai pasukan Banten.
Pada tanggal 6 Februari 1619, pihak Inggris berhasil menarik diri ke kapal-kapal mereka. Kastil Jayakarta, di bawah perlindungan pasukan Banten, tetap mempertahankan posisinya dalam kastil. Pada 12 Maret 1619, Dewan Kastil di bawah pimpinan Kapten van den Raeij secara resmi menamakan kompleks Nassau-Maurits dengan Kastil Batavia (Batavia berasal dari kata Bataviereh, yakni nama bangsa Eropa yang menjadi-nenek moyang orang Belanda).
J.P. Coen tiba kembali di Jayakarta pada 28 Mei 1619, disertai armada berkekuatan 17 kapal dan 1.100 prajurit. Dua hari kemudian dengan serta-merta Kota Jayakarta diserbu dan dikuasainya. Keraton Pangeran Wijayakrama dibakarnya hingga musnah.
Beberapa hari kemudian J.P. Coen pun mengumumkan berdirinya Koninkrijk Jacatra (Kerajaan Jakatra), yang tidak ada lagi rajanya kecuali J.P. Coen. Kapten Christopher Pring, nampaknya takut dikalahkan Coen, dan setelah mendengar kedatangan Coen, langsung mengangkat sauh. Sir Francis Dale, tak kalah takutnya langsung ngacir ke India dan wafat di Sana.
Dengan demikian, runtuhlah Kerajaan Jayakarta. Kota pelabuhan jayakarta, sebenarnya oleh Coen akan diganti menjadi kota Nieuw Hoorn (Hoorn Baru), sesuai dengan nama kota kelahirannya. Akan tetapi pimpinan VOC di Belanda lebih menyukai nama yang dibuat Kapten van den Raeij, yaitu Batavia.
-------
-------
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News