Find Us On Social Media :

Sejarah Jakarta: Dari Sunda Kelapa Ke Batavia Lewat Jayakarta

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 8 Juni 2024 | 15:45 WIB

Di masa Hindu-Buddha dikenal sebagai Sunda Kelapa, masa Islam sebagai Jayakarta, dan di masa VOC dikenal sebagai Batavia. Inilah sejarah Kota Jakarta.

Sejarah Kota Jakarta sejak Batavia hingga ke masa kemerdekaan, sudah banyak ditulis orang. Namun periode ketika Sunda Kelapa dikuasai Kerajaan (Hindu - Buddha) Sunda lebih-lebih ketika kemudian berganti menjadi Kerajaan (Islam) Jayakarta, data sejarahnya minim sekali. Inilah secuil kisah tentang Sunda Kelapa dan Jayakarta, seperti dituturkan oleh Mindra Faizal Iskandar, arkeolog UI.

-------

Saat ini Intisari sudah hadir di WhatsApp Channel, follow di sini dan dapatkan artikel-artikel terbaru kami

-------

Intisari-Online.com - “Pelabuhan utama di Pulau Iava (Jawa) adalah Sunda Calapa ... Di tempat ini didapati sangat banyak lada yang bermutu lebih baik daripada lada India atau Malabar.... Juga banyak terdapat kemenyan, benicin atau bonien atau bunga pala, kamper, dan juga intan permata. Tempat ini dapat didatangi tanpa menemui kesulitan karena orang Portugis tidak sampai ke sini, karena orang Iava berbondong-bondong datang sendiri sampai ke Malaka untuk menjual barang-barang dagangannya."

Itulah kesaksian seorang pelaut Belanda, Jan Huygen van Linschoten, dalam bukunya yang kemudian menjadi terkenal, Itinerario. Buku ini ditulis pada abad ke-16, diterbitkan pada 1596 dalam edisi bahasa Belanda, dan 1598 dalam bahasa Inggris.

Namun kesaksian orang-orang Eropa tentang Kota Sunda Kelapa sebenarnya masih sangat terbatas, karena pada abad ke-16 mereka lebih banyak berkunjung ke Kota Banten, tetangga di sebelah barat Sunda Kelapa. Tentang Kota Sunda Kelapa, para pengunjung Belanda paling awal hanya menulis:

"Kota ini dibangun seperti kebanyakan kota-kota lain di Pulau Jawa, yaitu rumahnya terbuat dari kayu dan anyaman bambu. Konstruksinya buruk dan sangat kotor, dan kelihatannya seperti desa saja. Sebuah sungai indah, berair jernih dan bersih, mengalir di tengah kota. Airnya segar dan menyenangkan. Tanahnya rendah, namun indah, dan selalu terbayang-bayang dalam pikiran kita. Raja dapat mempersenjatai 4.000 orang dari penduduk kota. Istananya indah, dibangun dengan pagar bambu runcing dan mempunyai lebih dari satu gerbang masuk. Empat atau lima buah kapal raja tampak berlabuh dengan tutup di atasnya. Konstruksi kapal menyerupai kapal Jawa, yaitu tempat untuk para pengayuh di bawah dan di atas untuk prajurit. Raja sekarang hanya mampu menjual 300 kantung lada setahun, tetapi bermaksud akan meningkatkannya."

Gubuk reyot dan tanah rawa

Dahulu, Sunda Kelapa terbujur sepanjang 1 atau 2 km di atas potongan-potongan tanah sempit yang dibersihkan di kedua tepi Sungai Ciliwung yang sempit, dekat muaranya, dekat sebuah teluk yang terlindung oleh beberapa buah pulau. Sungai Ciliwung memungkinkan 10 kapal dagang masa lampau yang berkapasitas sampai 100 ton - perahu Melayu, Jepang, Cina, dan berbagai ragam kapal dari Timur - masuk dan berlabuh dengan aman.

Kapal-kapal Portugis yang agak lebih kecil, tetapi tidak termasuk galleon-galleon berkapasitas 500-1.000 ton, harus berlabuh di depan pantai. Air sungai waktu itu mengalir bebas, tidak berlumpur, dan tenang. Kapten-kapten kapal singgah untuk mengambil air segar, dan mengisi botol dan guci mereka. Pedagang pribumi menyiapkan ikan segar dan ikan asin dalam jumlah besar untuk dijual kepada mereka.