Penulis
Saat ini Intisari hadir diWhatsApp Channel, langsung follow kami di sini
Intisari-online.com - Dari tahun 1962 hingga 1966, terjadi konflik bersenjata antara Indonesia dengan Malaysia yang juga melibatkan pasukan dari Australia, Selandia Baru, dan Inggris.
Konflik ini bermula dari kecurigaan Presiden Indonesia, Sukarno, yang menganggap pembentukan Federasi Malaysia pada September 1963 sebagai strategi Inggris untuk mempertahankan pengaruh kolonialnya di Asia Tenggara.
Menurut awm.gov.au, konfrontasi ini sudah mulai terasa ketika pada Desember 1962, sekelompok pemberontak yang didukung oleh Indonesia mencoba mengambil alih kekuasaan di Brunei, tetapi gagal karena ditumpas oleh pasukan Inggris dari Singapura.
Pada awal 1963, aktivitas militer meningkat di perbatasan Kalimantan, dengan infiltrasi kecil yang dilakukan oleh orang-orang bersenjata untuk misi propaganda dan sabotase. Serangan lintas batas oleh sukarelawan Indonesia ini berlangsung sepanjang tahun 1963 dan pada tahun 1964, pasukan reguler Indonesia juga mulai terlibat.
Pasukan Australia yang terlibat dalam Konfrontasi ini bertindak sebagai bagian dari kekuatan yang lebih besar dari Inggris dan Persemakmuran, di bawah komando Inggris. Komitmen Australia dalam operasi melawan Indonesia di Kalimantan dan Malaysia Barat adalah bagian dari keanggotaan mereka dalam Cadangan Strategis Timur Jauh.
Awalnya, pemerintah Australia enggan melibatkan pasukannya dalam Konfrontasi, terutama karena kekhawatiran akan perluasan konflik ke perbatasan Papua Nugini dan Indonesia. Permintaan dari pemerintah Inggris dan Malaysia untuk penempatan pasukan Australia di Kalimantan pada 1963-64 ditolak.
Namun, pemerintah Australia setuju bahwa pasukannya dapat digunakan untuk mempertahankan Semenanjung Malaya dari serangan luar. Serangan oleh Indonesia terjadi dua kali, pada September dan Oktober 1964, dengan serangan pasukan terjun payung dan amfibi ke Labis dan Pontian di barat daya semenanjung.
Pasukan dari Batalyon ke-3, Resimen Kerajaan Australia (3 RAR), digunakan dalam operasi pembersihan. Meskipun serangan ini berhasil dipukul mundur, mereka menimbulkan risiko eskalasi konflik.
Pada Januari 1965, pemerintah Australia akhirnya menyetujui penempatan batalion di Kalimantan.
Situasi militer di Kalimantan pada waktu itu terdiri dari serangkaian pangkalan yang melindungi pusat-pusat penduduk dari serangan. Pada tahun 1965, pemerintah Inggris memberikan izin untuk tindakan yang lebih agresif, dan pasukan keamanan mulai melakukan operasi lintas batas untuk mengumpulkan intelijen dan memaksa Indonesia bertahan di wilayah mereka sendiri.
Karena tidak yakin akan serangan Persemakmuran selanjutnya, Indonesia meningkatkan pertahanan mereka dan mengurangi operasi ofensif.
Batalyon Australia pertama, 3 RAR, tiba di Kalimantan pada Maret 1965 dan bertugas di Sarawak hingga akhir Juli. Selama periode ini, mereka melakukan operasi ekstensif dan terlibat dalam beberapa pertempuran besar dengan pasukan Indonesia.
Pengganti mereka, Brigade ke-28, 4 RAR, juga bertugas di Sarawak dari April hingga Agustus 1966. Meskipun kurang aktif, Brigade ke-28 juga terlibat dalam pertempuran di perbatasan.
Dua batalyon infanteri, dua skuadron Dinas Udara Khusus, satu pasukan Sinyal Kerajaan Australia, beberapa baterai artileri, dan rombongan Insinyur Kerajaan Australia juga terlibat dalam konflik ini. Kapal-kapal Angkatan Laut Kerajaan Australia dan beberapa skuadron RAAF juga berpartisipasi.
Negosiasi antara Indonesia dan Malaysia akhirnya mengakhiri konflik, dengan penandatanganan perjanjian damai di Bangkok pada Agustus 1966. Dua puluh tiga warga Australia meninggal selama Konfrontasi, dengan tujuh di antaranya dalam operasi, dan delapan lainnya terluka.
Karena sifat rahasia dari operasi lintas batas, Konfrontasi ini tidak banyak mendapat perhatian dari media Australia.