Nasionalisme Lasmi, Si Ratu Jamu Gendong Indonesia Yang Ogah Jual Resepnya Ke Luar Negeri

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Lasmi si ratu jamu gendong Indonesia yang tak mau menjual resepnya ke luar negeri meski dibayar mahal.

Lasmi tak kenal lelah mengenalkan jamu gendong. Termasuk ke kalangan atas. Tak heran, jamu gendongnya dinikmati presiden, menteri, juga orang asing. Meski diimingi beragam fasilitas, Lasmi menolak tawaran mengajar cara pembuatan jamu di negara tetangga.

Intisari-Online.com -Lasmi mengaku sudah berjualan jamu sejak berusia 12-13 tahun. Saat kecil, dia tinggal di tinggal di Nguter, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Dia memang asli sana.

Ibunya sehari-hari berjualan jamu di Pasar Sukoharjo. Sebelum ibu, neneknya dulu yang memulainya. Jadi resepnya turun-temurun. Tradisi jualan jamunya pun turun-temurun.

Sejak umur 10 tahun, Lasmi sudah sudah membantu ibunya membuat jamu dan berjualan di pasar. Awalnya dia hanya membantu membawakan botol jamu dari rumah ke pasar. Jika di pasar habis, tugasnya adalah mengambil lagi stok jamu yang ada di rumah.

Lama-kelamaan, Lasmi ingin berjualan sendiri.

Tapi sebelum berjualan sendiri, Lasmi disuruh untuk melihat-lihat dan belajar terlebih dahulu cara menggendong tenggok alias bakul wadah jamu.Mulai dari menaikkan hingga menurunkan. “Itu yang paling susah. Saya juga disuruh latihan jalan, terus ibu pura-pura beli,” ceritanya, kepada Nova pada 2015 lalu.

Selanjutnya adalah belajar menggendong bakul di dalamnya sudah ada botol yang diisi air. Berat memang, tapi itulah yang harus dilakukan Lasmi sebelum terjun langsung berjualan jamu.

“Saya harus membantu orangtua membesarkan adik-adik saya,” kata perempuan yang merupakan anak kedua dari empat bersaudara itu.

Setelah bisa, Lasmi keliling kampung jalan kaki berjualan jamu.

Saat usianya sekitar 20 tahun, dia memutuskan pindah ke Surabaya. Di Kota Pahlawan inilah dia menikah dan melahirkan anak pertamanya. Di Surabaya, Lasmi berjualan jamu dengan menggunakan sepeda.

Selama 10 tahun di sana, tidak ada peningkatan meskipun setiap hari jamu Lasmi habis. Akhirnya dia mengikuti jejak kakak perempuan yang sudah lebih dulu pindah ke Jakarta untuk berjualan jamu di Ibu Kota.

Terkait alasannya pindah ke Jakarta, Lasmi mengaku ingin meningkatkan taraf kehidupannya. Selain itu, dia juga ingin agar jamunya lebih dikenal lagi. Tapi perjuangan di Jakarta tentu jauh dari kata mudah, dia bahkan sempat pesimis, apakah bisa kerasan tinggal di kota yang terkenal macetnya itu.

Baca Juga: Gadis Cantik Ini Tidak Malu Jualan Jamu Gendong, Bikin Warganet Terpesona

Setelah sempat pulang ke Sukoharjo, Lasmi, anak, dan suaminya berangkat ke Jakarta pada 1982. “Kata suami, tak ada salahnya mencoba. Di Jakarta, saya berjualan jamu gendong dan menumpang di rumah kaka,” tuturnya.

Awal Lasmi berjualan, kakaknya sering mengikuti dari belakang untuk mengawasi apakah dia bisa menyeberang jalan yang ramai atau tidak. Karena tidak kuat, Lasmi akhirnya memutuskan naik sepeda.

“Alhamdulillah, setiap hari habis dan penghasilannya lebih baik dibanding di Surabaya,” tambahnya. “Lama-kelamaan, kami bisa mengontrak rumah. Syukurlah, waktu itu saya tinggal di lingkungan penjual jamu gendong di daerah Mampang Prapatan, bahkan sampai sekarang.”

Kebetulan itu kemudian menginspirasi Lasmi untuk membuat paguyuban jamu gendong pada 1989. Nama paguyubannya adalah paguyuban jamu gendong Lestari dan Lasmi ditunjuk sebagai ketuanya.

“Di lingkungan saya, sederetan rumah dari ujung ke ujung penghuninya penjual jamu gendong dari Jawa semua. Saya bentuk paguyuban ini untuk menyatukan kami dan agar kami aman serta kompak saat berangkat dan pulang jualan,” jelas Lasmi.

Paguyuban ini juga menjadi wadah komunikasi bagi 30 orang anggotanya. Awalnya resepnya sendiri-sendiri, tapi lama-kelamaan resepnya satu agar rasanya sama.

Di paguyuban ini anggota ditarik iuran uang kas yang gunanya membantu sesama anggota yang mengalami kesusahan, mengadakan hajatan, dan lainnya. Semua gotong-royong. Selain itu, setelah ada paguyuban, penghasilan anggotanya meningkat bisa sampai dua kali lipat, termasuk Lasmi sendiri.

Pada 2001, Lasmi pernah mengikuti lomba jamu gendong yang diadakan oleh Martha Tilaar di Taman Mini Indonesia Indah dan berhasil juara satu. Sejak saat itu, dia rajin ikut lomba jamu gendong, termasuk lomba ratu jamu gendong yang diadakan sebuah perusahaan jamu.

“Alhamdulillah, saya juara pertama. Karena rajin ikut lomba, orang-orang jadi mengenal saya. Saya rajin ikut lomba sekadar untuk memotivasi saja,” cerita Lasmi. “Kalau kalah, saya jadi tahu kekurangannya di mana, dan kalau menang saya jadi tahu apa faktornya.”

Jakarta menjadikan jamu gendong Lasmi dikenal berbagai kalangan, dari rakyat jelata hingga presiden. Bahkan Presiden Soeharto dan Presiden Joko Widodo pernah minum jamu milik Lasmi.

“He he he. Jadi, saya, kan, ikut Gabungan Pengusaha (GP) Jamu, jaringan saya dalam dunia jamu pun semakin berkembang. Saya sering diajak tampil menyediakan jamu dalam berbagai acara yang diadakan di Jakarta, termasuk yang dihadiri presiden,” ceritanya.

“Nah, jamu saya pernah dinikmati Pak Harto dan Pak SBY ketika keduanya menjadi presiden. Saya juga diajak menyediakan jamu untuk sebuah acara Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) di Jakarta yang dihadiri Pak Jokowi, tak lama setelah beliau menjadi presiden.”

Lasmi melanjutkan ceritanya: saat itu dia baru saja meletakkan gelas berisi jamu dan belum sempat mempersilakan, ternyata Jokowi langsung mengambil dan meminumnya. Bukan rahasia lagi, Jokowi memang gemar minum jamu. Dia bahkan pernah mencanangkan, setiap kementerian harus mengadakan kegiatan minum jamu bersama.

“Saya lalu diajak untuk mempromosikan jamu gendong dari satu kantor kementerian ke kantor kementerian lain. Total ada 12 kantor kementerian,” cerita Lasmi bangga.

Kondisi itu, mau tak mau membuat usaha jamu Lasmi berkembang lebih pesat lagi. Bahkan kenaikannya mencapai 90 persen–sejak ada program minum jamu di kementerian. Karena setiap ada acara pa saja di kementerian, pasti pesan jamu milik Lasmi.

“Belum lagi, saya sering diajak ikut pameran dari berbagai kementerian,” katanya, termasuk pameran di Jakarta Convention Center selama beberapa hari.

Istimewanya jamu gendong Lasmi

Jamu gendong yang dibuat oleh Lasmi bermacam-macam jenis. Dulu ada kunyit asam, beras kencur, sambiroto, temulawak, dan sebagainya. Lalu berkembang, antara lain ditambah bir pletok (secang)dan ada juga sanapis alias sawi nanas jeruk nipis.

Ketika itu Lasmi menciptakan sanapis untuk keperluan lomba di Kementerian Pertanian. Saat ada permintaan yang banyak, misalnya 150 gendongan, Lasmi dan sesama anggota paguyuban membuatnya beramai-ramai. Jamunya dibuat langsung satu kali dalam sebuah dandang besar, agar rasanya seragam dan menghasilkan 100 botol sekali masak.

Selain banyaknya varian, ada rahasia lain yang membuat jamu Lasmi disukai banyak orang.

Di antaranya, beras kencur Lasmi warnanya agak hitam karena disangrai, agar ada ciri khas tersendiri. Jamu gendong Lasmi juga sudah mendapatkan pengakuan Bebas Kimia Obat (BKO) dari BPOM, karena memang tidak menggunakan pengawet maupun bahan kimia. Memang, tidak tahan lama. Sehari setelah dibuat sudah basi. Itu sebabnya, ketika direbus siangnya, hanya dibuat setengah matang. Jamu baru dimatangkan pada tengah malam sampai pagi. Satu lagi, jamu gendong Lasmi menggunakan air isi ulang.

“Sampai sekarang saya juga selalu pakai botol kaca. Sejak zaman nenek dulu selalu pakai botol kaca. Makanya, kalau memberi penyuluhan ke teman-teman sesama penjual jamu gendong, saya selalu mengingatkan untuk pakai botol kaca, jangan botol plastik,” katanya.

Jika ada anggota yang tak punya botol kaca, Lasmi siap memberinya cuma-cuma. Dia mengaku pernah mendapat bantuan 5.000 botol kaca dari sebuah kementerian, yang mana botol itu kemudian dibagikan dengan kerjasama BPOM dan sebuah perusahaan jamu.

Lasmi juga selalu mengajak anggotanya untuk membuat jamu yang benar-benar higienis, jangan dicampuri bahan apa pun.

Terkait kehigienisan bahan, Lasmi punya cerita menarik. Suatu ketika, ada kenalannya yang mengajarinya memakai benzoat sebagai pengawet dengan takaran tertentu. “Bolak-balik tangan saya maju-mundur di atas dandang berisi jamu yang sedang dimasak karena merasa itu bertentangan dengan nurani,” katanya.

Akhirnya, benzoat itu dia lempar ke halaman depan rumah produksi. Dan hingga saat ini, Lasmi mengaku tidak pernah menggunakan bahan kimia. Ada alasan prinsipil dan sangat masuk akal soal itu. “Kan yang mencicipi jamu selalu saya dulu. Otomatis, saya meracuni diri sendiri kalau pakai benzoat. Masak, racun mau saya berikan pada orang lain?” begitu nuraninya bertanya.

Terkait kegigihannya tidak mau menggunakan pengawet, Lasmi bukannya tidak pernah dinyinyiri. Ada temannya yang komplain, katanya kapan dia maju kalau pikirannya seperti itu. Dengan tegas Lasmi menjawab, “Saya memang mau maju tapi dengan cara alami.”

Selain tidak mau menggunakan pengawet, ada satu lagi idealisme yang selalu dipegang oleh Lasmi: dia tidak mau mengajarkan resep jamu gendongnya ke luar neger.

Suatu saat, dia pernah diminta Kementerian Kesehatan Malaysia untuk mengajar cara membuat jamu di Malaysia. Lasmi mendapat iming-iming yang tak main-main, mulai honor besar hingga fasilitas mewah.

“Saya tolak karena jamu gendong Indonesia, kan, belum dipatenkan. Saya enggak mau. Saya lebih mengejar kepuasan, bukan hal-hal seperti itu,” tegasnya. Jika pun harus ke luar negeri, “Lebih baik untuk refreshing saja, bukan menumpahkan ilmu.”

Bagaimanapun juga, wanita yang saat ini lebih banyak mengajar jamu di berbagai pelosok wilayah di Indonesia itu susah menyembunyikan resep. “Saya belum siap dan orang Indonesia masih membutuhkan saya. Kalau ilmu jamu saya tumpahkan di sana, apa enggak dijiplak lalu dipatenkan?” Lasmi khawatir. (Nova/Hasuna Daylailatu)

Artikel ini pernah tayang di Tabloid Nova edisi Januari 2015

Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News

Artikel Terkait